
Peta Permainan Berubah, BI Diramal Turunkan Bunga Acuan!

- Menambah proyeksi dari BNI Sekuritas
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih mempertahankan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini. Sepertinya inflasi domestik yang rendah belum menggoda MH Thamrin untuk kembali menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate.
Hari ini, BI akan memulai RDG edisi April 2020 dan suku bunga acuan akan diumumkan besok. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia awalnya memperkirakan bank sentral masih menahan BI 7 Day Reverse Repo Rate di 4,5%.
Namun seiring perjalanan, sejumlah suara baru bermunculan dan hasilnya kini berbalik. Median survei menunjukkan angka 4,25%, yang berarti BI akan menurunkan suku bunga acian 25 basis poin (bps).
Institusi | BI 7 Day Reverse Repo Rate (%) |
ING | 4.5 |
CIMB Niaga | 4.25 |
Barclays | 4 |
Citi | 4.25 |
Trimegah Sekuritas | 4.5 |
Bank Permata | 4.5 |
Bank Danamon | 4.5 |
Bank Mandiri | 4.5 |
UOB | 4.25 |
Maybank Indonesia | 4.25 |
ANZ | 4.25 |
Mirae Asset | 4.25 |
Standard Chartered | 4.25 |
BCA | 4.5 |
BNI Sekuritas | 4.25 |
MEDIAN | 4.25 |
"Kami memperkirakan BI akan menurunkan suku bunga acuan di tengah perkiraan risiko ke bawah (downside risk) terhadap pertumbuhan ekonomi," sebut riset Citi, yang memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate turun 25 bps ke 4,25%.
Dalam keterangan pers Perkembangan Ekonomi Terkini pada 9 April lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan skenario proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini adalah 2,3%. Rinciannya adalah 4,7% pada kuartal-I, 1,1% pada kuartal II, 1,3% pada kuartal III, dan 2,4% pada kuartal IV.
Baca: Bos BI Sebut PDB RI Anjlok ke 1,1% di Kuartal II-2020
Inflasi domestik yang rendah juga membuat BI punya ruang untuk menurunkan suku bunga acuan. "Dengan inflasi yang kemungkinan besar berada di kisaran target, BI akan maju ke depan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Terutama ketika proyeksi pertumbuhan ekonomi diturunkan signifikan," kata Rini Sen, Ekonom ANZ.
Antony Kevin, Ekonom Mirae Asset, menyatakan bahwa meski BI sudah menurunkan suku bunga acuan 150 bps sejak awal tahun tetapi masih kalah agresif ketimbang bank sentral Amerika Serkat (AS) The Federal Reserve/The Fed yang sudah memotong 225 bps. Perbedaan suku bunga yang masih tinggi memberi ruang tambahan untuk penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate lebih lanjut.
"Tekanan terhadap rupiah belakangan sudah mulai berkurang karena likuiditas dolar AS yang relatif memadai dengan adanya penerbitan global bonds senilai US$ 4,3 miliar dan fasilitas repo line dari The Fed US$ 60 miliar. Saya perkirakan BI masih akan memangkas suku bunga lagi sehingga akhir tahun berada di 4%," jelas Kevin.
Akan tetapi, sebelumnya Perry juga memberi petunjuk bahwa BI akan berhati-hati soal suku bunga acuan. Perry menyatakan bahwa memang ada ruang untuk menurunkan suku bunga, tetapi itu akan dimanfaatkan dengan penuh pertimbangan.
Ruang untuk menurunkan suku bunga acuan datang dari laju inflasi yang rendah dan terkendali. Hingga pekan kedua April, BI memperkirakan inflasi ada di 0,2% month-on-month (MoM) dan 2,08% year-on-year (YoY). Jika terjadi, maka secara YoY akan lebih rendah ketimbang Maret yang sebesar 2,96% dan menjadi yang terendah sejak Juni 2000 atau nyaris 20 tahun.
"BI akan sangat hati-hati karena pertimbangan nilai tukar rupiah dan pasar global yang mengandung volatilitas. Prioritas kami adalah adalah stabilitas nilai tukar, meski kami punya ruang," ungkap Perry dalam keterangan pers pada 7 April.
Baca: Ramalan BI: Inflasi April Rendah, Cuma 0,2%
Selain itu, Perry juga menyiratkan bahwa BI akan menunggu terlebih dulu dampak dari pelonggaran moneter dan kebijakan lainnya terhadap perekonomian. Saat ini, likuiditas yang beredar dinilai sudah lebih dari cukup sehingga belum perlu penerapan kebijakan akomodatif.
"BI sudah melakukan quantitative easing, tahun ini mendekati Rp 300 triliun. Bagaimana likuiditas yang lebih dari cukup ini bisa dimanfaatkan sektor riil, di sinilah stimulus fiskal mendorong ekonomi riil, meningkatkan pendapatan masyarakat," sebut Perry.
Kalau melihat kebijakan suku bunga di beberapa bank sentral akhir-akhir ini, pelonggaran juga sudah mulai dihentikan. Misalnya bank sentral Korea Selatan (BoK) yang mempertahankan suku bunga acuan di 0,75% dalam rapat bulan ini.
Saat ini memang otoritas fiskal yang sedang menjadi 'bintang lapangan'. Stimulus fiskal diharapkan menjadi penopang ekonomi di sektor riil yang terpukul akibat dampak pandemi virus corona (Coronavirus Desease 2019/Covid-19). Anggaran kesehatan, bantuan sosial, dan sebagainya, memang lebih terasa langsung ketimbang suku bunga.
"Kita belum tahu seberapa jauh dampak virus corona terhadap perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, menjaga 'amunisi' berupa suku bunga acuan menjadi berguna untuk masa depan, tidak perlu dikeluarkan sekarang," kata Wisnu Wardana, Ekonom Bank Danamon.
Untuk saat ini, keputusan paling bijak memang sebaiknya BI jangan dulu menghambur-hamburkan 'peluru'. Sebab penurunan suku bunga tidak akan banyak membantu dalam situasi yang tidak normal seperti sekarang.
Percuma suku bunga rendah kalau aktivitas masyarakat sedang sangat terbatas (atau dibatasi). Laju ekonomi memang sengaja direm untuk mencegah penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut. Buat apa suku bunga rendah dalam kondisi macam begini?
Penurunan suku bunga acuan baru akan terasa ketika ekonomi sudah mulai pulih dari pukulan virus corona. Proses pemulihan akan sangat terbantu dengan suku bunga rendah.
Namun saat pandemi masih ganas seperti sekarang, lebih baik panggung lebih banyak diberikan kepada otoritas fiskal. Dampak stimulus fiskal akan lebih langsung dirasakan dalam meringankan beban tenaga medis, pekerja, UMKM, dan dunia usaha. Ini yang lebih dibutuhkan ketimbang suku bunga rendah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Pasar Tak Kompak, Bunga Acuan BI Tetap atau Turun Nih?
