
Newsletter
Aksi Jual 'Misterius' Pukul Wall Street, Waspada Koreksi IHSG
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 February 2020 06:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri sekali lagi bergerak kurang kompak, Indeks Harga Saham Gabungan dan obligasi kembali menguat, sementara rupiah melemah.
IHSG melanjutkan tren positif dengan membukukan penguatan empat hari beruntun Kamis (20/2/2020) kemarin. IHSG mengakhiri perdagangan di level 5.942,487, menguat 0,23%. Total selama empat hari tercatat penguatannya sebesar 1,28%.
Dari pasar obligasi, yield harga surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun turun 1,1 basis poin (bps) ke 6,516%. SUN tenor 10 tahun juga sudah menguat 4 hari beruntun dengan total penurunan yield 5,8 bps.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Gelontoran stimulus dari bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) serta pemangkasan suku bunga dari Bank Indonesia memberikan sentimen positif ke pasar keuangan dalam negeri.
PBoC Kamis kemarin menurunkan suku bunga acuan kredit perbankan (Loan Prime Rate/LPR). Untuk LPR tenor setahun turun dari 4,15% menjadi 4,05%, sementara lima tahun turun dari 4,8% menjadi 4,75%.
Di awal pekan PBoC juga menurunkan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Bukan di pekan ini saja China bertindak, di awal bulan lalu PBoC sudah menurunkan suku bunga reverse repo tenor 7 hari menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55%. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Stimulus yang diberikan PBoC diharapkan mampu meredam dampak wabah virus corona atau COVID-19 ke perekonomian. Virus yang sudah menewaskan lebih dari 2.000 orang di China tersebut diprediksi akan memangkas pertumbuhan ekonomi negeri Tiongkok tahun ini.
Hasil riset S&P memprediksi produk domestic bruto (PDB) Negeri Tiongkok akan terpangkas hingga 1,2%. Kemudian, Reuters melakukan jajak pendapat terhadap 40 ekonom yang hasilnya pertumbuhan ekonomi China kuartal I-2019 diperkirakan sebesar 4,5%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 6%. Untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020, proyeksinya adalah 5,5%. Juga jauh melambat dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 6,1%.
Bank Dunia mengatakan pelambatan ekonomi China sebesar 1% dapat membuat ekonomi Indonesia melambat 0,3%. Itu artinya, perekonomian Indonesia bisa melambat lebih dari 0,3% di kuartal I-2020.
Sementara itu dari dalam negeri, setelah melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama dua hari, BI memutuskan memangkas suku bunga 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Februari 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (20/2/2020).
Dengan pemangkasan suku bunga tersebut, diharapkan roda perekonomian dalam negeri lebih terpacu untuk meredam efek pelambatan ekonomi China.
BI juga memberikan update proyeksi pertumbuhan ekonomi dua tahun ke depan, meski proyeksi dipangkas tetapi BI masih optimistis pertumbuhan ekonomi akan di atas 5%.
Untuk tahun ini, BI menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 5%-5,4% dari sebelumnya 5,1%-5,5%. Sementara untuk tahun 2021, pertumbuhan ekonomi diprediksi lebih tinggi 5,2%-5,6%.
Sayangnya pengumuman kebijakan moneter BI belum mampu membawa rupiah ke zona hijau, hanya mampu memangkas pelemahan.
Sebelum BI mengumumkan suku bunga, rupiah sempat melemah 0,66% ke Rp 13.770/US$ dan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia. Setelah BI memangkas suku bunga, rupiah turut memangkas pelemahan menjadi 0,15% dan mengakhiri perdagangan di level Rp 13.700/US$.
Dolar AS memang sedang perkasa berkat serangkaian data ekonomi dari Negeri Paman Sam yang bagus membuat indeks dolar menguat nyaris ke level tertinggi 3 tahun. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini mencapai level 99,85 Kamis kemarin, yang menjadi titik tertinggi sejak 11 Mei 2017.
Sejak awal bulan ini data ekonomi AS memang dirilis cukup bagus yang membuat dolar AS perkasa. Pada pekan lalu Institute for Supply Management (ISM) melaporkan purchasing managers' index (ISM) bulan Januari naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 47,2. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawah berarti kontraksi.
Rilis data tersebut terbilang mengejutkan mengingat polling Reuters memprediksi kenaikan hanya ke 48,5 atau masih berkontraksi. Sementara itu dari sektor non manufaktur, ISM melaporkan peningkatan ekspansi menjadi 55,5, dari sebelumnya 55.
Kemudian Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang Januari ekonomi AS menyerap 225.000 tenaga kerja, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 147.000 tenaga kerja. Tingkat tenaga kerja naik menjadi 3,6% naik dari bulan Desember 3,5%. Selain itu rata-rata upah per jam tumbuh 0,2% di bulan Januari dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,1%.
Data terbaru menunjukkan indeks harga produsen naik 0,5% month-on-month (MoM) di bulan Januari, jauh lebih tinggi dari kenaikan bulan sebelumnya 0,1% dan prediksi Reuters sebesar 0,1%, Sementara itu indeks harga produsen inti, yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan, juga naik 0,5% MoM, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,1% dan prediksi Reuters 0,2%.
Rilis tersebut memberikan gambaran inflasi yang dilihat dari indeks harga konsumen akan berpeluang naik. Data tersebut melengkapi serangkaian data cukup bagus yang dirilis sejak awal bulan.
Serangkaian data tersebut tentunya memperkuat sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk tidak lagi menurunkan suku bunga di tahun ini, dolar pun menjadi perkasa.
IHSG melanjutkan tren positif dengan membukukan penguatan empat hari beruntun Kamis (20/2/2020) kemarin. IHSG mengakhiri perdagangan di level 5.942,487, menguat 0,23%. Total selama empat hari tercatat penguatannya sebesar 1,28%.
Dari pasar obligasi, yield harga surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun turun 1,1 basis poin (bps) ke 6,516%. SUN tenor 10 tahun juga sudah menguat 4 hari beruntun dengan total penurunan yield 5,8 bps.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Gelontoran stimulus dari bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) serta pemangkasan suku bunga dari Bank Indonesia memberikan sentimen positif ke pasar keuangan dalam negeri.
PBoC Kamis kemarin menurunkan suku bunga acuan kredit perbankan (Loan Prime Rate/LPR). Untuk LPR tenor setahun turun dari 4,15% menjadi 4,05%, sementara lima tahun turun dari 4,8% menjadi 4,75%.
Di awal pekan PBoC juga menurunkan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Bukan di pekan ini saja China bertindak, di awal bulan lalu PBoC sudah menurunkan suku bunga reverse repo tenor 7 hari menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55%. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Stimulus yang diberikan PBoC diharapkan mampu meredam dampak wabah virus corona atau COVID-19 ke perekonomian. Virus yang sudah menewaskan lebih dari 2.000 orang di China tersebut diprediksi akan memangkas pertumbuhan ekonomi negeri Tiongkok tahun ini.
Hasil riset S&P memprediksi produk domestic bruto (PDB) Negeri Tiongkok akan terpangkas hingga 1,2%. Kemudian, Reuters melakukan jajak pendapat terhadap 40 ekonom yang hasilnya pertumbuhan ekonomi China kuartal I-2019 diperkirakan sebesar 4,5%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 6%. Untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020, proyeksinya adalah 5,5%. Juga jauh melambat dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 6,1%.
Bank Dunia mengatakan pelambatan ekonomi China sebesar 1% dapat membuat ekonomi Indonesia melambat 0,3%. Itu artinya, perekonomian Indonesia bisa melambat lebih dari 0,3% di kuartal I-2020.
Sementara itu dari dalam negeri, setelah melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama dua hari, BI memutuskan memangkas suku bunga 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Februari 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (20/2/2020).
Dengan pemangkasan suku bunga tersebut, diharapkan roda perekonomian dalam negeri lebih terpacu untuk meredam efek pelambatan ekonomi China.
BI juga memberikan update proyeksi pertumbuhan ekonomi dua tahun ke depan, meski proyeksi dipangkas tetapi BI masih optimistis pertumbuhan ekonomi akan di atas 5%.
Untuk tahun ini, BI menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 5%-5,4% dari sebelumnya 5,1%-5,5%. Sementara untuk tahun 2021, pertumbuhan ekonomi diprediksi lebih tinggi 5,2%-5,6%.
Sayangnya pengumuman kebijakan moneter BI belum mampu membawa rupiah ke zona hijau, hanya mampu memangkas pelemahan.
Sebelum BI mengumumkan suku bunga, rupiah sempat melemah 0,66% ke Rp 13.770/US$ dan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia. Setelah BI memangkas suku bunga, rupiah turut memangkas pelemahan menjadi 0,15% dan mengakhiri perdagangan di level Rp 13.700/US$.
Dolar AS memang sedang perkasa berkat serangkaian data ekonomi dari Negeri Paman Sam yang bagus membuat indeks dolar menguat nyaris ke level tertinggi 3 tahun. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini mencapai level 99,85 Kamis kemarin, yang menjadi titik tertinggi sejak 11 Mei 2017.
Sejak awal bulan ini data ekonomi AS memang dirilis cukup bagus yang membuat dolar AS perkasa. Pada pekan lalu Institute for Supply Management (ISM) melaporkan purchasing managers' index (ISM) bulan Januari naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 47,2. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawah berarti kontraksi.
Rilis data tersebut terbilang mengejutkan mengingat polling Reuters memprediksi kenaikan hanya ke 48,5 atau masih berkontraksi. Sementara itu dari sektor non manufaktur, ISM melaporkan peningkatan ekspansi menjadi 55,5, dari sebelumnya 55.
Kemudian Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang Januari ekonomi AS menyerap 225.000 tenaga kerja, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 147.000 tenaga kerja. Tingkat tenaga kerja naik menjadi 3,6% naik dari bulan Desember 3,5%. Selain itu rata-rata upah per jam tumbuh 0,2% di bulan Januari dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,1%.
Data terbaru menunjukkan indeks harga produsen naik 0,5% month-on-month (MoM) di bulan Januari, jauh lebih tinggi dari kenaikan bulan sebelumnya 0,1% dan prediksi Reuters sebesar 0,1%, Sementara itu indeks harga produsen inti, yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan, juga naik 0,5% MoM, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,1% dan prediksi Reuters 0,2%.
Rilis tersebut memberikan gambaran inflasi yang dilihat dari indeks harga konsumen akan berpeluang naik. Data tersebut melengkapi serangkaian data cukup bagus yang dirilis sejak awal bulan.
Serangkaian data tersebut tentunya memperkuat sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk tidak lagi menurunkan suku bunga di tahun ini, dolar pun menjadi perkasa.
Pages
Most Popular