
Maaf Saudara, The Fed Belum Tertarik Obral Insentif ke Pasar

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Selasa (11/2/2020) ditutup menguat hanya 2 poin (0,04%) ke 5.954. Transaksi terbilang sepi dengan nilai hanya Rp 4,8 triliun, jauh lebih rendah dari rata-rata nilai harian sepekan sebelumnya yang mencapai Rp 6,8 triliun.
Di tengah masih jiper-nya pelaku pasar domestik, investor asing sudah mengambil posisi terlebih dahulu dengan membukukan beli bersih (net buy) di pasar reguler senilai Rp 228,69 miliar kemarin meski catatan di pasar non reguler (pasar negosiasi maupun tunai) masih terhitung net sell sebesar Rp 2,49 miliar.
Saham-saham yang banyak diburu asing di pasar reguler adalah PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 203,55 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia/TLKM (Rp 63,87 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 62,42 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 56,05 miliar).
Di sisi lain, rupiah juga mengakhiri perdagangan di jalur hijau dengan menguat 0,22% ke Rp 13.660 per dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Pada sesi pagi, investor sempat ragu memegang rupiah hingga kurs Mata Uang Garuda ini stagnan di level Rp 13.690/US$.
Kecuali yen Jepang, semua mata uang utama Asia menguat melawan dolar AS kemarin. Artinya, sentimen pelaku pasar membaik. Yen merupakan mata uang yang menyandang status aset aman (safe haven) yang biasanya menguat ketika sentimen pelaku pasar memburuk, begitu juga sebaliknya.
Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah bertenor 10 tahun melemah ke 6,58%, dibandingkan dengan posisi sehari sebelumnya di level 6,592%. Pelemahan yield mengindikasikan bahwa harga sedang naik karena keduanya bergerak berlawanan arah.
Gairah investor di pasar pendapatan tetap fixed income itu terlihat dari permintaan dalam lelang rutin surat berharga syariah negara (SBSN/sukuk negara) yang tembus Rp 69,57 triliun, kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, melampaui rekor tertinggi permintaan lelang sukuk pada 2019 dan 2018.
Rilis Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu menunjukkan nilai permintaan peserta lelang itu masih lebih tinggi dari rekor tertinggi lelang sukuk negara 2019 senilai Rp 40,19 triliun dan rekor tertinggi lelang SBSN 2018 senilai Rp 32,27 triliun.
Keraguan terlihat masih menghampiri benar pelaku pasar di Wall Street sehingga bursa saham Amerika Serikat (AS) tersebut ditutup mixed, merespons pidato Gubernur The Fed Jerome Powell di depan Kongres yang menyatakan mengawasi lekat perkembangan virus corona dan dampaknya terhadap perekonomian.
Indeks S&P 500 menguat 0,2% ke 3.357,75, Nasdaq tumbuh 0,1% ke 9.638,94, sedangkan Dow Jones yang sempat menguat 138 poin justru berakhir di zona merah dengan koreksi tipis 0,48% ke 29,276.34.
Investor terus memantau berita wabah corona setelah Komisi Kesehatan China pada Senin malam mengumumkan bahwa korban jiwa telah mencapai 1.018 orang, dengan 43.100 lainnya dinyatakan positif mengidap virus tersebut.
Namun kekhawatiran seputar dampak buruk virus tersebut terhadap ekonomi China dan dunia agak terkurangi oleh data Universitas Johns Hopkins yang menunjukkan angka kasus konfirmasi virus baru menyentuh titik terendah sejak Januari, memicu optimisme bahwa penyebaran wabah itu mulai menurun.
Demikian juga data positif ketenagakerjaan dan manufaktur AS yang membantu mengurangi kekhawatiran pemodal terkait efeknya terhadap perekonomian dunia.
“Tatkala pasar saham mengasumsikan tak ada dampak negatif virus tersebut dan kita terus mengangkat harga saham, ke depan bakal lebih banyak pembicaraan menyoroti kinerja emiten setelah semuanya dirilis,” tutur Peter Boockvar, Chief Investment Officer Bleakley Advisory Group, sebagaimana dikutip CNBC International.
Powell dalam kesaksiannya di depan Kongres AS mengatakan bahwa terlalu dini mengukur dampak virus corona terhadap perekonomian AS. Namun dia memastikan bahwa wabah itu merupakan ancaman baru di tengah menurunnya risiko perang dagang.
Kesaksian Gubernur The Fed Jerome Powell tadi malam memberikan afirmasi sikapnya dalam mempertahankan kebijakan moneter yang moderat, dan tak terlalu agresif, meski Presiden AS Donald Trump berulang kali mendesak pemangkasan suku bunga secara agresif.Dalam pidato testimoninya, Powell menyatakan bahwa kebijakan moneter The Fed sampai sekarang memiliki pijakan yang kuat selama outlook ekonomi ke depan masih sejalan dengan yang sudah diestimasikan. Dia menampik anggapan bahwa era suku bunga rendah bisa diaplikasikan sekarang.
"Lingkungan suku bunga rendah ini bisa membatasi kemampuan bank sentral untuk memangkas suku bunga yang cukup untuk mendukung ekonomi ketika dalam situasi pelemahan," tuturnya, sembari bilang bahwa ekonomi AS tumbuh moderat dengan fundamental ekonomi yang cukup baik guna menopang belanja rumah tangga tetap "solid."
Merespons pernyataan tersebut, pasar terlihat agak kecewa. Sempat dibuka melonjak 100 poin pada pagi, indeks S&P 500 berakhir di zona merah, meski tipis. Pasar cenderung sebarisan dengan Trump yang ingin ada "obral insentif" bagi perekonomian dan pasar berupa suku bunga rendah yang bakal memompa likuiditas ke pasar modal.
Sebagaimana diberitakan CNBC International, pelaku pasar sudah memperhitungkan akan ada pemangkasan pada September dan pemain hedge fund sudah berspekulasi akan ada pemangkasan lagi pada Desember dengan angka pertaruhan sebesar 46%.
Meski Powell tidak bikin pasar hepi, tetapi setidaknya pasar juga tidak 'kecewa amat' karena arah suku bunga setidaknya tak mengarah ke Utara. "Suku bunga tidak akan naik melewati kenaikan inflasi di bawah kebijakan dia (Powell) dan itu menjadi musik yang merdu di telinga pemodal," said Chris Rupkey, chief financial economist at MUFG Union Bank.
Melanjutkan kebijakan wait-and-see dalam suku bunga, The Fed sebenarnya terus memompa pasar keuangan dengan likuiditas melalui pasar repo overnight, di mana bankir bertemu dan mendapatkan pendanaan jangka pendek agar tak kalah kliring. Kebijakan itu terkonfirmasi akan berjalan hingga kuartal kedua hingga dinilai cukup dan tak perlu dilanjutkan.
Bagi investor dunia, termasuk di Indonesia, sikap The Fed ini mengirimkan sinyal jelas bahwa perekonomian AS masih baik-baik saja sehingga outlook ke depan semestinya masih cerah dan tak ada kejutan yang perlu diwaspadai. Semuanya masih terkontrol.
Dengan sentimen tersebut, ditambah meredanya kekhawatiran seputar tingkat penyebaran virus corona, tak ada alasan bagi bursa kawasan termasuk Indonesia untuk bergerak di jalur hijau. Asalkan, tidak ada kejutan tambahan dari dalam negeri. Berikut ini adalah rilis data ekonomi pada hari ini:
- Rilis penjualan motor di Indonesia per Januari (tentatif)
- Rilis produksi OPEC bulanan (tentatif)
- Rilis harga properti residensial Indonesia per Q4-2019 (10:00 WIB)
- Testimoni The Fed (22:00 WIB)
- Stock split PT Fastfood Indonesia Tbk (tentatif)
- RUPLSB PT Catur Sentosa Adiprana Tbk (10:00 WIB)
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q IV-2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Januari 2020 YoY) | 0,39% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2020) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -1,76% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2019) | -2,66% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2019) | -US$ 46 juta |
Cadangan devisa (Januari 2020) | US$ 131,7 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags) Next Article Sampai Kapan Investor Lakukan "Sosial Distancing" dari Saham?