
Newsletter
IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global, Tapi...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 January 2020 05:25

Hari ini bursa saham AS tutup memperingati Hari Martin Luther King Jr. Oleh karena itu, sentimen pergerakan Wall Street tidak akan mempengaruhi pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Namun bukan berarti investor bisa berleha-leha, karena tetap ada sentimen yang perlu dicermati. Pertama adalah rilis proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF).
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 adalah 2,9%, dan akan meningkat menjadi 3,3% pada 2020 dan 3,4% pada 2021. Sedikit melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3% pada 2019, 3,4% pada 2020, dan 3,6% pada 2021.
"Revisi ke bawah tersebut sebagian besar disebabkan oleh India. Secara umum, perkiraan pemulihan pertumbuhan ekonomi global masih tidak pasti. Pemulihan ekonomi akan bergantung kepada negara-negara berkembang, sementara pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju sepertinya masih akan stabil di level yang sekarang," kata Gita Gopinath, Direktur Departemen Riset IMF, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Pertumbuhan ekonomi global hingga 2021 masih belum pulih sepenuhnya, masih di bawah pencapaian 2018 yaitu 3,6%. Akan tetapi, ada pertanda bahwa perlambatan ekonomi sudah menyentuh titik nadir dan siap untuk bangkit (bottoming out).
"Ada sinyal awal bahwa perlambatan di sisi manufaktur dan perdagangan mungkin akan bottoming out. Kesepakatan damai dagang AS-China Fase I, jika bertahan lama, akan mengurangi tensi perdagangan. Dampak perang dagang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia akan berkurang dari 0,8% menjadi 0,5% pada akhir 2020," papar Gopinath.
Oleh karena itu, lanjut Gopoinath, secara umum risiko perekonomian menurun pada 2020. Namun bukan berarti kewaspadaan bisa dikendurkan.
Menurut Gopinath, friksi dagang masih bisa terjadi antara AS dan Uni Eropa. Bahkan risiko perang dagang AS-China pun belum hilang sepenuhnya, karena kedua negara baru sampai di kesepakatan Fase I. Ditambah lagi ada risiko geopolitik dan konflik sosial yang meningkat, seperti di Timur Tengah.
"Hal yang perlu diperhatikan adalah, meski risiko pada 2020 mungkin menurun tetapi opsi kebijakan yang bisa ditempuh pun terbatas. Jadi, sangat penting bagi para pengambil kebijakan agar tidak menambah ketidakpastian," tegas Gopoinath.
Walau memberi wanti-wanti, tetapi IMF sebenarnya menyampaikan kabar gembira. Rasanya 2019 yang penuh nestapa itu adalah titik penderitaan terendah, dan 2020 ekonomi dunia bakal bangkit meski tidak sebaik perkiraan semula.
Proyeksi IMF ini bisa menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan Asia. Investor kini boleh semakin optimistis menghadapi 2020.
Namun bukan berarti investor bisa berleha-leha, karena tetap ada sentimen yang perlu dicermati. Pertama adalah rilis proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF).
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 adalah 2,9%, dan akan meningkat menjadi 3,3% pada 2020 dan 3,4% pada 2021. Sedikit melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3% pada 2019, 3,4% pada 2020, dan 3,6% pada 2021.
"Revisi ke bawah tersebut sebagian besar disebabkan oleh India. Secara umum, perkiraan pemulihan pertumbuhan ekonomi global masih tidak pasti. Pemulihan ekonomi akan bergantung kepada negara-negara berkembang, sementara pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju sepertinya masih akan stabil di level yang sekarang," kata Gita Gopinath, Direktur Departemen Riset IMF, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
![]() |
Pertumbuhan ekonomi global hingga 2021 masih belum pulih sepenuhnya, masih di bawah pencapaian 2018 yaitu 3,6%. Akan tetapi, ada pertanda bahwa perlambatan ekonomi sudah menyentuh titik nadir dan siap untuk bangkit (bottoming out).
"Ada sinyal awal bahwa perlambatan di sisi manufaktur dan perdagangan mungkin akan bottoming out. Kesepakatan damai dagang AS-China Fase I, jika bertahan lama, akan mengurangi tensi perdagangan. Dampak perang dagang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia akan berkurang dari 0,8% menjadi 0,5% pada akhir 2020," papar Gopinath.
Oleh karena itu, lanjut Gopoinath, secara umum risiko perekonomian menurun pada 2020. Namun bukan berarti kewaspadaan bisa dikendurkan.
Menurut Gopinath, friksi dagang masih bisa terjadi antara AS dan Uni Eropa. Bahkan risiko perang dagang AS-China pun belum hilang sepenuhnya, karena kedua negara baru sampai di kesepakatan Fase I. Ditambah lagi ada risiko geopolitik dan konflik sosial yang meningkat, seperti di Timur Tengah.
"Hal yang perlu diperhatikan adalah, meski risiko pada 2020 mungkin menurun tetapi opsi kebijakan yang bisa ditempuh pun terbatas. Jadi, sangat penting bagi para pengambil kebijakan agar tidak menambah ketidakpastian," tegas Gopoinath.
Walau memberi wanti-wanti, tetapi IMF sebenarnya menyampaikan kabar gembira. Rasanya 2019 yang penuh nestapa itu adalah titik penderitaan terendah, dan 2020 ekonomi dunia bakal bangkit meski tidak sebaik perkiraan semula.
Proyeksi IMF ini bisa menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan Asia. Investor kini boleh semakin optimistis menghadapi 2020.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular