Newsletter

Wall Street Overvalued, Earning Season Ibarat 'Hidup & Mati'

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
17 January 2020 06:53
Wall Street Overvalued, Earning Season Ibarat 'Hidup & Mati'
Foto: Warga berjalan di Wall St. di seberang New York Stock Exchange (NYSE) di New York, AS, 10 Januari 2019. REUTERS / Brendan McDermid
Jakarta, CNBC Indonesia - Sempat ambil jarak dari pasar, para investor di bursa saham, obligasi, hingga valuta asing akhirnya memborong aset sembari mencerna dampak penandatanganan kesepakatan dagang fase satu antara Amerika Serikat (AS) dan China terhadap perekonomian global. Tapi awas! Wall Street sudah terindikasi overvalued.

Pada pembukaan perdagangan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,12% ke 6.275,96 dan awet di zona merah hingga sesi satu berakhir. Memasuki sesi dua, IHSG beralih ke zona hijau dan akhirnya menguat tipis 0,04% ke 6.286,05.

Penguatan terjadi di tengah pergerakan variatif bursa di kawasan Asia. Indeks Nikkei terapresiasi 0,07%, Hang Seng menguat 0,38%, tetapi Shanghai Composite melemah 0,52%, indeks Straits Times naik  0,65%, Shenzen turun 0,15%, dan indeks Kospi bertambah 0,77%.

Transaksi di bursa tercatat senilai Rp 7,45 triliun, menipis jika dibandingkan transaksi Rabu kemarin. Sektor finansial menjadi pemberat utama karena investor asing (foreign) banyak menjual saham perbankan setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan rencana penaikan modal inti bank menjadi Rp 3 triliun pada akhir Januari atau awal Februari 2020.


Secara teknikal, IHSG cenderung sulit melewati level 6.300 dengan tingkat fluktuasi tinggi di rentang yang sempit. Hal ini terlihat dari pola lilin berputar (spinning candle).

Namun posisi IHSG sedikit di bawah rata-rata nilainya (moving average) dalam lima hari terakhir (MA5) pada level 6.289. Ini membuka potensi penguatan pada Jumat besok dengan potensi menguji level psikologis 6.300.


Seirama dengan IHSG, rupiah kemarin membukukan penguatan 0,26% ke Rp 13.625/US$ di sesi terakhir perdagangan. Dibuka melemah 0,11% di Rp 13.675/US$, Mata Uang Garuda berbalik menguat hingga sempat mencapai 0,33% ke Rp 13.615/US$. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 21 Februari 2018.

Mayoritas mata uang utama Asia kemarin melemah. Secara mingguan, rupiah tercatat membukukan penguatan enam pekan beruntun. Total selama periode tersebut hingga minggu ini, rupiah sudah menguat 3,44%.

Di pasar obligasi, surat utang negara (SUN) bertahan di zona hijau meski pasar SUN di negara berkembang lain melemah. Data Refinitiv menunjukkan menguatnya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield).

Seri acuan yang paling menguat adalah FR0081 yang bertenor 5 tahun dengan penurunan yield 4,6 basis poin (bps) menjadi 6,19%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup menguat hingga menyentuh level tertinggi baru pada Kamis (16/01/2020) setelah beberapa emiten melaporkan kinerja kuartal IV-2019 yang melampaui ekspektasi investor.

Indeks Dow Jones Industrial Average melompat 267,42 poin, atau 0,9% ke 29,297.64. Di sisi lain, indeks S&P 500 menembus level psikologis baru 3.300, pertama kali dalam sejarah ke 3.316,81. Indeks Nasdaq naik 1,1% ke 9.357,13 setelah saham Microsoft menyentuh rekor tertinggi baru dan kapitalisasi pasar Alphabet (induk Google) untuk pertama kali menembus US$ 1 triliun.

Bank investasi AS, Morgan Stanley membukukan pendapatan di atas ekspektasi di tiga lini bisnisnya baik manajemen investasi, pengelolaan kekayaan, dan trading. Saham perseroan pun melesat 6,5%.

Sejauh ini, musim laporan keuangan dibuka dengan awal yang solid. Data FactSet menyebutkan sekitar 7% dari emiten yang menjadi konstituen S&P 500 mencatatkan laba bersih dengan 76,5% di antaranya melampaui ekspektasi pasar.

"Kebanyakan orang, termasuk kami, menyoroti bagaimana harga saham telah menjadi mahal jika diperbandingkan secara relatif dengan laba bersih mereka," tutur CEO The Earnings Scout Nick Raich, dalam laporan risetnya, sebagaimana dikutip CNBC International.

Namun mereka yang bullish, lanjutnya, menilai kenaikan harga saham saat ini masih baik-baik saja karena laba bersih nantinya akan mengimbangi kenaikan tersebut. "Apakah mereka benar? Untuk pekan ini dan di awal 2020, mereka benar," ujar Nick. Sebelumnya, pelaku pasar mengekspektasikan laba bersih emiten S&P 500 bakal turun rata-rata 2%.

Data ekonomi juga membantu mengangkat sentimen pasar. Klaim asuransi pengangguran mingguan secara tak terduga anjlok 10.000 menjadi 204.000. padahal polling Reuters semula memprediksi angka tersebut mencapai 216.000. Di sisi lain, penjualan ritel Desember naik 0,3%.

Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri China Liu He kemarin meneken kesepakatan dagang "fase satu" di Washington. Menurut kesepakatan tersebut , China bakal diwajibkan membeli produk AS senilai US$ 200 miliar dalam 2 tahun ke depan.

Dengan begitu, ekspor AS ke China di atas kertas bakal meningkat US$ 263 miliar pada 2020 dan US$ 309 miliar pada 2021. Jika benar tercapai, maka itu akan menjadi lonjakan ekspor terbesar dari AS ke China dalam sepanjang sejarah ini.

Menepis kekhawatiran pemasok dalam negeri tak kebagian, Liu He dalam laporan CCTV pada Kamis menegaskan bahwa pembelian tersebut akan dilakukan berdasarkan pada prinsip pasar sehingga tidak mengancam.

"Sekarang pertanyaan pentingnya adalah kesepakatan fase satu apakah akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi di depan kita, dan kenyataannya belum jelas. Tak ada butir di kesepakatan fase satu yang secara spesifik mengangkat pertumbuhan ekonomi global," tutur Tom Essaye, pendiri The Sevens Report, sebagaimana dikutip CNBC International.

Tembusnya indeks S&P 500 ke level 3.300 kembali memicu pertanyaan mengenai aspek fundamental Wall Street. Apakah sudah overvalued (kenaikan harga sahamnya terlalu tinggi hingga menjauhi pertumbuhan kinerjanya secara fundamenal)?

Sebagai contoh, Bank of America menargetkan level 3.300 baru akan dicapai akhir 2020. Namun kenyataannya, level ini sudah terlewati dalam 15 hari perdagangan saja.

Dalam laporan risetnya, Bank of Amerika melaporkan bahwa PEG (price-earning to growth ratio) telah mencapai level 1,8 kali yang merupakan tertinggi sejak perhitungan tersebut dikenalkan pertama kali pada 1986. Level di atas 1 mengindikasikan bahwa sebuah saham atau indeks bursa sudah kemahalan (overvalued).

Ini menunjukkan bahwa para investor terlalu berani membayar lebih mahal untuk membeli saham dengan ekspektasi keuntungan (return) dari saham tersebut bakal melompat sebanding dengan lompatan harganya.

Tidak mengherankan, para spekulan bertaruh bahwa harga saham Apple dan Tesla bakal akan anjlok di masa mendatang, dengan melakukan transaksi short selling besar-besaran. Padahal, saat ini harga saham mereka sedang moncer. Saham Apple berada di level US$ 315 per unit, sedangkan Tesla di kisaran US$ 500 per saham.

Sepanjang enam bulan terakhir, saham Tesla meroket hingga 100%. CNBC International melaporkan bahwa pada Rabu kemarin nilai short selling atas saham yang dikendalikan Elon Musk ini mencapai US$ 14,5 miliar atau menjadi yang terbesar.

Namun pada Kamis, giliran saham Apple yang menjadi sasaran short selling dengan nilai US$ 14,3 miliar, atau lebih tinggi dari short selling Tesla senilai US$ 13,7 miliar.

Pelaku short selling meminjam saham--yang diprediksi anjlok di masa mendatang--dari broker dan menjual saham yang belum dimilikinya itu pada harga sekarang. Sesuai perjanjian, short seller tersebut di masa mendatang membelinya di harga lebih murah. Dari praktik itu, mereka bisa meraup keuntungan saat ini dari saham yang belum dimilikinya.

Dari sisi perbandingan harga terhadap laba bersih per saham (price to earning ratio/PER), bursa AS tersebut juga telah menyentuh level tertinggi sejak 2002 sebesar 18,4 kali.

Dengan kata lain, laba bersih emiten di Wall Street diekspektasikan akan melonjak. Itulah mengapa kita perlu melihat lekat kinerja emiten di bursa AS tersebut, apakah sesuai dengan ekspektasi atau meleset? Sejauh ini, FactSet memperkirakan laba bersih emiten konstituen S&P 500 bakal anjlok 2% secara tahunan pada kuartal IV-2019.

Apa jadinya jika proyeksi Factset ini terjadi, alias harga saham di AS naik terlalu tinggi melampaui kinerja fundamental sahamnya? Tunggu saja koreksi besar-besaran, yang bisa menjatuhkan bursa terbesar dunia tersebut, yang memicu efek berantai di bursa global.

Dari sisi fundamental perekonomian, pelaku pasar layak mencermati pertumbuhan ekonomi China kuartal IV-2019 yang akan dirilis hari ini. Wakil PM China Liu He sebagaimana dikutip CNBC International di Washington kemarin menyatakan optimismenya bahwa pertumbuhan ekonomi Negeri Panda bakal melewati 6%.

Di dalam negeri, bakal ada rilis indeks penjualan ritel dan data penjualan motor yang menjadi salah satu indikator kekuatan daya beli masyarakat menengah.

Berikut adalah rilis data yang akan terjadi hari ini:

  • Indeks penjualan ritel Indonesia November (tentatif)
  • Penentuan suku bunga acuan Korsel (08:00 WIB)
  • Rilis PDB China triwulan IV-2019 (09:00 WIB)
  • Laporan penjualan motor Indonesia Desember (10:00 WIB)
  • Inflasi Uni Eropa Desember (17:00 WIB)
  • Izin pembangunan rumah baru AS Desember (20:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019)

5,02% YoY

Inflasi (Desember 2019)

2,72% YoY

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Desember 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Kuartal III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Kuartal III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Desember 2019)

US$ 129,2 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(ags) Next Article Terpujilah Mereka yang Tak Panik oleh Gertakan Koboi Trump

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular