
Newsletter
Wall Street Overvalued, Earning Season Ibarat 'Hidup & Mati'
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
17 January 2020 06:53

Tembusnya indeks S&P 500 ke level 3.300 kembali memicu pertanyaan mengenai aspek fundamental Wall Street. Apakah sudah overvalued (kenaikan harga sahamnya terlalu tinggi hingga menjauhi pertumbuhan kinerjanya secara fundamenal)?
Sebagai contoh, Bank of America menargetkan level 3.300 baru akan dicapai akhir 2020. Namun kenyataannya, level ini sudah terlewati dalam 15 hari perdagangan saja.
Dalam laporan risetnya, Bank of Amerika melaporkan bahwa PEG (price-earning to growth ratio) telah mencapai level 1,8 kali yang merupakan tertinggi sejak perhitungan tersebut dikenalkan pertama kali pada 1986. Level di atas 1 mengindikasikan bahwa sebuah saham atau indeks bursa sudah kemahalan (overvalued).
Ini menunjukkan bahwa para investor terlalu berani membayar lebih mahal untuk membeli saham dengan ekspektasi keuntungan (return) dari saham tersebut bakal melompat sebanding dengan lompatan harganya.
Tidak mengherankan, para spekulan bertaruh bahwa harga saham Apple dan Tesla bakal akan anjlok di masa mendatang, dengan melakukan transaksi short selling besar-besaran. Padahal, saat ini harga saham mereka sedang moncer. Saham Apple berada di level US$ 315 per unit, sedangkan Tesla di kisaran US$ 500 per saham.
Sepanjang enam bulan terakhir, saham Tesla meroket hingga 100%. CNBC International melaporkan bahwa pada Rabu kemarin nilai short selling atas saham yang dikendalikan Elon Musk ini mencapai US$ 14,5 miliar atau menjadi yang terbesar.
Namun pada Kamis, giliran saham Apple yang menjadi sasaran short selling dengan nilai US$ 14,3 miliar, atau lebih tinggi dari short selling Tesla senilai US$ 13,7 miliar.
Pelaku short selling meminjam saham--yang diprediksi anjlok di masa mendatang--dari broker dan menjual saham yang belum dimilikinya itu pada harga sekarang. Sesuai perjanjian, short seller tersebut di masa mendatang membelinya di harga lebih murah. Dari praktik itu, mereka bisa meraup keuntungan saat ini dari saham yang belum dimilikinya.
Dari sisi perbandingan harga terhadap laba bersih per saham (price to earning ratio/PER), bursa AS tersebut juga telah menyentuh level tertinggi sejak 2002 sebesar 18,4 kali.
Dengan kata lain, laba bersih emiten di Wall Street diekspektasikan akan melonjak. Itulah mengapa kita perlu melihat lekat kinerja emiten di bursa AS tersebut, apakah sesuai dengan ekspektasi atau meleset? Sejauh ini, FactSet memperkirakan laba bersih emiten konstituen S&P 500 bakal anjlok 2% secara tahunan pada kuartal IV-2019.
Apa jadinya jika proyeksi Factset ini terjadi, alias harga saham di AS naik terlalu tinggi melampaui kinerja fundamental sahamnya? Tunggu saja koreksi besar-besaran, yang bisa menjatuhkan bursa terbesar dunia tersebut, yang memicu efek berantai di bursa global.
Dari sisi fundamental perekonomian, pelaku pasar layak mencermati pertumbuhan ekonomi China kuartal IV-2019 yang akan dirilis hari ini. Wakil PM China Liu He sebagaimana dikutip CNBC International di Washington kemarin menyatakan optimismenya bahwa pertumbuhan ekonomi Negeri Panda bakal melewati 6%.
Sebagai contoh, Bank of America menargetkan level 3.300 baru akan dicapai akhir 2020. Namun kenyataannya, level ini sudah terlewati dalam 15 hari perdagangan saja.
Dalam laporan risetnya, Bank of Amerika melaporkan bahwa PEG (price-earning to growth ratio) telah mencapai level 1,8 kali yang merupakan tertinggi sejak perhitungan tersebut dikenalkan pertama kali pada 1986. Level di atas 1 mengindikasikan bahwa sebuah saham atau indeks bursa sudah kemahalan (overvalued).
Ini menunjukkan bahwa para investor terlalu berani membayar lebih mahal untuk membeli saham dengan ekspektasi keuntungan (return) dari saham tersebut bakal melompat sebanding dengan lompatan harganya.
Tidak mengherankan, para spekulan bertaruh bahwa harga saham Apple dan Tesla bakal akan anjlok di masa mendatang, dengan melakukan transaksi short selling besar-besaran. Padahal, saat ini harga saham mereka sedang moncer. Saham Apple berada di level US$ 315 per unit, sedangkan Tesla di kisaran US$ 500 per saham.
Sepanjang enam bulan terakhir, saham Tesla meroket hingga 100%. CNBC International melaporkan bahwa pada Rabu kemarin nilai short selling atas saham yang dikendalikan Elon Musk ini mencapai US$ 14,5 miliar atau menjadi yang terbesar.
Namun pada Kamis, giliran saham Apple yang menjadi sasaran short selling dengan nilai US$ 14,3 miliar, atau lebih tinggi dari short selling Tesla senilai US$ 13,7 miliar.
Pelaku short selling meminjam saham--yang diprediksi anjlok di masa mendatang--dari broker dan menjual saham yang belum dimilikinya itu pada harga sekarang. Sesuai perjanjian, short seller tersebut di masa mendatang membelinya di harga lebih murah. Dari praktik itu, mereka bisa meraup keuntungan saat ini dari saham yang belum dimilikinya.
Dari sisi perbandingan harga terhadap laba bersih per saham (price to earning ratio/PER), bursa AS tersebut juga telah menyentuh level tertinggi sejak 2002 sebesar 18,4 kali.
Dengan kata lain, laba bersih emiten di Wall Street diekspektasikan akan melonjak. Itulah mengapa kita perlu melihat lekat kinerja emiten di bursa AS tersebut, apakah sesuai dengan ekspektasi atau meleset? Sejauh ini, FactSet memperkirakan laba bersih emiten konstituen S&P 500 bakal anjlok 2% secara tahunan pada kuartal IV-2019.
Apa jadinya jika proyeksi Factset ini terjadi, alias harga saham di AS naik terlalu tinggi melampaui kinerja fundamental sahamnya? Tunggu saja koreksi besar-besaran, yang bisa menjatuhkan bursa terbesar dunia tersebut, yang memicu efek berantai di bursa global.
Dari sisi fundamental perekonomian, pelaku pasar layak mencermati pertumbuhan ekonomi China kuartal IV-2019 yang akan dirilis hari ini. Wakil PM China Liu He sebagaimana dikutip CNBC International di Washington kemarin menyatakan optimismenya bahwa pertumbuhan ekonomi Negeri Panda bakal melewati 6%.
Di dalam negeri, bakal ada rilis indeks penjualan ritel dan data penjualan motor yang menjadi salah satu indikator kekuatan daya beli masyarakat menengah.
(ags)
Next Page
Simak Agenda dan Data Hari Ini
Pages
Most Popular