
Wall Street Overvalued, Earning Season Ibarat 'Hidup & Mati'

Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup menguat hingga menyentuh level tertinggi baru pada Kamis (16/01/2020) setelah beberapa emiten melaporkan kinerja kuartal IV-2019 yang melampaui ekspektasi investor.
Indeks Dow Jones Industrial Average melompat 267,42 poin, atau 0,9% ke 29,297.64. Di sisi lain, indeks S&P 500 menembus level psikologis baru 3.300, pertama kali dalam sejarah ke 3.316,81. Indeks Nasdaq naik 1,1% ke 9.357,13 setelah saham Microsoft menyentuh rekor tertinggi baru dan kapitalisasi pasar Alphabet (induk Google) untuk pertama kali menembus US$ 1 triliun.
Bank investasi AS, Morgan Stanley membukukan pendapatan di atas ekspektasi di tiga lini bisnisnya baik manajemen investasi, pengelolaan kekayaan, dan trading. Saham perseroan pun melesat 6,5%.
Sejauh ini, musim laporan keuangan dibuka dengan awal yang solid. Data FactSet menyebutkan sekitar 7% dari emiten yang menjadi konstituen S&P 500 mencatatkan laba bersih dengan 76,5% di antaranya melampaui ekspektasi pasar.
"Kebanyakan orang, termasuk kami, menyoroti bagaimana harga saham telah menjadi mahal jika diperbandingkan secara relatif dengan laba bersih mereka," tutur CEO The Earnings Scout Nick Raich, dalam laporan risetnya, sebagaimana dikutip CNBC International.
Namun mereka yang bullish, lanjutnya, menilai kenaikan harga saham saat ini masih baik-baik saja karena laba bersih nantinya akan mengimbangi kenaikan tersebut. "Apakah mereka benar? Untuk pekan ini dan di awal 2020, mereka benar," ujar Nick. Sebelumnya, pelaku pasar mengekspektasikan laba bersih emiten S&P 500 bakal turun rata-rata 2%.
Data ekonomi juga membantu mengangkat sentimen pasar. Klaim asuransi pengangguran mingguan secara tak terduga anjlok 10.000 menjadi 204.000. padahal polling Reuters semula memprediksi angka tersebut mencapai 216.000. Di sisi lain, penjualan ritel Desember naik 0,3%.
Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri China Liu He kemarin meneken kesepakatan dagang "fase satu" di Washington. Menurut kesepakatan tersebut , China bakal diwajibkan membeli produk AS senilai US$ 200 miliar dalam 2 tahun ke depan.
Dengan begitu, ekspor AS ke China di atas kertas bakal meningkat US$ 263 miliar pada 2020 dan US$ 309 miliar pada 2021. Jika benar tercapai, maka itu akan menjadi lonjakan ekspor terbesar dari AS ke China dalam sepanjang sejarah ini.
Menepis kekhawatiran pemasok dalam negeri tak kebagian, Liu He dalam laporan CCTV pada Kamis menegaskan bahwa pembelian tersebut akan dilakukan berdasarkan pada prinsip pasar sehingga tidak mengancam.
"Sekarang pertanyaan pentingnya adalah kesepakatan fase satu apakah akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi di depan kita, dan kenyataannya belum jelas. Tak ada butir di kesepakatan fase satu yang secara spesifik mengangkat pertumbuhan ekonomi global," tutur Tom Essaye, pendiri The Sevens Report, sebagaimana dikutip CNBC International.
(ags)