Newsletter

Perjanjian Renville Lebih Kongkrit dari Deal Fase 1 AS-China!

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
15 January 2020 06:34
Perjanjian Renville Lebih Kongkrit dari Deal Fase 1 AS-China!
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham nasional konsisten bergerak di jalur hijau sepanjang perdagangan Selasa (14/01/2020) berkat optimisme kesepakatan dagang fase satu yang akan diteken malam nanti. Namun, pelaku pasar di Amerika Serikat (AS) justru berjaga-jaga, tak banyak memborong belanjaan saham tadi malam.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memulai perdagangan dengan penguatan 0,2% pada level 6.308. Indeks bursa saham nasional tersebut sempat tertekan pada sesi kedua meski tidak sampai masuk ke teritori negatif, hingga kemudian ditutup menguat 0,46% ke level 6.325.

Investor asing di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) terlihat optimistis menggerakkan pasar dengan mencatatkan pembelian bersih (net buy) senilai Rp 1,01 triliun di pasar reguler, dan Rp 966 miliar di semua pasar.

Secara teknikal, IHSG hari ini bakal menguji level psikologis 6.350. Peluang tersebut masih terbuka, mengacu pada indikator teknikal Relative Strength Index (RSI) yang menunjukkan level titik jenuh belinya (overbought) belum tercapai. 


Sementara itu, nilai tukar rupiah berakhir stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) setelah Greenback menekuk semua mata uang kawasan Asia, kecuali yuan China yang justru menguat 0,1%. Dengan begitu, rupiah berada di posisi runner up setelah China di kawasan.

Sejak dibuka pagi kemarin, rupiah langsung menguat 0,11% ke Rp 13.650/US$. Dalam perjalanannya, penguatan rupiah bertambah menjadi 0,26% menjadi Rp 13.630/US$. Level tersebut menjadi yang terkuat bagi rupiah pada hari ini, juga yang terkuat sejak Februari 2018.

Sempat berkurang penguatannya karena dolar AS terus merangsek jelang penandatanganan kesepakatan dagang fase satu antara AS dan China, rupiah akhirnya mengakhiri perdagangan di level Rp 13.665/US$, stagnan alias sama dengan penutupan perdagangan kemarin.


Di pasar surat utang, pelaku pasar menyerbu lelang surat berharga syariah negara (SBSN/sukuk negara) perdana kemarin dengan permintaan Rp 59,14 triliun, atau 148,61% dari rerata permintaan lelang sukuk 2019 yang hanya Rp 23,78 triliun.

Angka permintaan yang besar tersebut mencerminkan animo peserta dalam lelang perdana mengingat kondisi global dan pasar keuangan domestik yang semakin positif, terutama dengan penguatan nilai tukar rupiah beberapa hari terakhir hingga ke level Rp 13.665/dolar AS hari ini.

Seri acuan yang paling menguat adalah FR0081 dan FR0082 yang bertenor 5 tahun dan 10 tahun dengan penurunan imbal hasil (yield) 1,1 basis poin (bps) menjadi 6,19% dan 6,85%. Penurunan yield mengindikasikan bahwa harga sedang menguat karena aksi beli para pemodal.

[Gambas:Video CNBC]



Namun tatkala bursa Asia menghijau karena optimisme kesepakatan dagang fase pertama, bursa saham AS tidak terlalu impresif dengan posisi penutupan variatif pada Selasa. Indeks Dow Jones hanya naik 32,62 poin, atau 0,1% ke 28.939,67. Indeks S&P 500 malah tertekan 0,1% ke 3.283,15 sedangkan Nasdaq tergelincir 0,2% ke 9.251.33.

"Dari tahun ke tahun, angka [kinerja emiten] memang bagus, tapi jangan lupa bahwa pada kuartal empat 2018 buruk sekali," tutur JJ Kinahan, chief market strategist TD Ameritrade, sebagaimana dikutip CNBC International.

J.P. Morgan Chase membukukan kinerja kuartal IV-2019 yang melampaui ekspektasi analis sehingga sahamnya ditutup menguat 1,2%. Laba bersih tahunan perseroan mencapai level US$ 36,4 miliar. Laba bersih Citigroup juga menguat, sebesar 1,6%, merespons kuatnya transaksi obligasi dengan pendapatan dari bisnis tersebut yang melonjak 49%.

Delta Air Lines juga melaporkan laba bersih yang melampaui ekspektasi, didorong oleh beban bahan bakar yang menurun dan pesatnya aktivitas perjalanan. Karenanya, harga saham maskapai tersebut melonjak 3,3% pada pembukaan.

Meski ketiga emiten tersebut membukukan kinerja yang positif, FactSet memperkirakan laba bersih emiten konstituen S&P 500 anjlok 2% secara tahunan pada kuartal keempat.

"Pasar terus berada dalam kondisi jenuh beli yang ekstrim, mengindikasikan bahwa penguatan baru-baru ini bisa berbalik, tetapi latar belakang fundamental berdasarkan telaah inti dan EPS mengarah pada aksi beli ketika melemah," tutur Tony Dwyer, Chief Market Strategist Canaccord Genuity, dalam laporan risetnya sebagaimana dikutip CNBC International.

AS pada Senin waktu setempat telah mengeluarkan China dari daftar negara manipulator mata uang. Pengumuman itu dikeluarkan jelang pertemuan kedua belah pihak di Washington untuk meneken kesepakatan dagang fase pertama.

The South China Morning Post melaporkan bahwa pemerintah China mengatakan bahwa perang dagang "belum akan berakhir," menambahkan bahwa penandatanganan kesepakatan pada Rabu hanyalah "ronde pertama permainan."

Hari ini, selera transaksi pemodal berpeluang menurun jika mengacu pada perkembangan damai dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, AS dan China. Beberapa media memberitakan bahwa kesepakatan yang bakal diteken tak banyak signifikan menyasar inti persoalan.

Bloomberg melaporkan bahwa AS dan China akan menelaah dan kemungkinan memangkas tarif yang ada paling cepat 10 bulan setelah 15 Januari. Mengutip sumber di Gedung Putih, CNBC International juga melaporkan bahwa tidak ada kesepakatan mengenai jalur teknis pemangkasan tarif.

Artinya, perjanjian yang diteken belum akan membawa perdamaian. Bisa dibilang, perjanjian Renville yang diteken Indonesia dan Belanda yang hanya berisikan tiga butir, terhitung lebih kongkrit isinya untuk mendamaikan konflik yang terjadi saat itu. Ada detil teknis mengenai wilayah de facto republik Indonesia dan penarikan pasukan.

Merespons perkembangan ini, Peter Boockvar, Kepala Divisi Investasi Bleakley Advisory Group, menilai tidak ada yang baru dari pemberitaan seputar perjanjian dagang fase satu sehingga Wall Street bergerak berfluktuasi.

"Ini tidak mengagetkan. Tak ada cetak biru untuk membatalkan tarif. Kami mencium gelagat itu ketika pengumuman pemangkasan tipis beberapa tarif produk dari 15% menjadi 7,5% sementara tarif semua produk lainnya tak berubah," tuturnya sebagaimana dikutip CNBC International.

Di sisi lain, Trump sudah bilang bahwa tak akan ada kesepakatan fase dua hingga pemilu November nanti. Ini memberikan nafas bagi China untuk bertaruh semua mimpi buruk ini berakhir jika Trump kandas di pemilihan.

Imbasnya, tarif tinggi masih akan berlangsung nyaris sepanjang tahun ini. Diskon tarif sebesar separuhnya menjadi 7,5% hanya dagelan semata karena pada 2017 sebelum genderang perang dagang ditabuh tarif setinggi 7,5% itu tak pernah ada.

Dengan kesepakatan yang kurang kongkrit, dan bahkan lebih kongkrit perjanjian Renville 73 tahun yang lalu, proyeksi Bank Dunia serta Dana Moneter Internasional (IMF) mengenai perlambatan global pada tahun 2020 pun tidak terelakkan.

Kemarin China memang melaporkan ekspor Desember (dalam dolar AS) tumbuh 7,6% secara tahunan, jauh di atas konsensus Trading Economics yang memperkirakan angka 3,2% saja. Impor juga melejit, hingga 16,3%, juga jauh di atas konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 9,6% saja.

Namun, kenaikan angka tersebut terjadi dalam kondisi tidak biasa yakni pengenaan tarif tinggi oleh AS, yang merupakan mitra dagang utamanya. Trader kemungkinan sedang melakukan aksi borong barang untuk menghindari tarif baru Trump yang--belakangan dibatalkan--sedianya dijadwalkan efektif pada 2020.

Di tengah situasi demikian, pelaku pasar nasional akan mencari alasan untuk memborong atau melego saham-saham unggulan berdasarkan sentimen dalam negeri, yakni rilis data neraca perdagangan. Jika datanya positif, maka ada harapan IHSG bisa bertahan di jalur hijau.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia sejauh ini memperkirakan bahwa ekspor masih akan mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 1,9% secara year-on-year (YoY). Sementara impor juga terkontraksi 4,4% YoY dan neraca perdagangan defisit US$ 456,5 juta.

Berikut adalah rilis data yang akan terjadi hari ini:

  • Pembicaraan Dagang AS & China
  • Neraca perdagangan China Desember (10:00 WIB)
  • Produksi industri China November (14:00 WIB)
  • Rilis neraca dagang Indonesia Desember (11:00 WIB)
  • Data inflasi Inggris Desember (16:30 WIB)
  • Kredit bank China November (15:00 WIB)

Berikut ini agenda emiten yang patur dicermati:

  • Listing PT Triniti Land Tbk (08:30 WIB)
  • RUPSLB PT Marga Abhinaya Abadi Tbk (10:00)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019)

5,02% YoY

Inflasi (Desember 2019)

2,72% YoY

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Desember 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Kuartal III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Kuartal III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Desember 2019)

US$ 129,2 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags) Next Article Angin Ribut Mulai Reda, tapi Cermati Koreksi 'Saham Baterai'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular