
Boleh Happy Jelang Deal Dagang AS-China Fase Satu, Tapi..

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Senin (13/01/2020) memasuki jalur hijau ketika bel pembukaan perdagangan berdentang, dan sempat jatuh ke zona merah jelang sesi siang. Namun akhirnya, IHSG menguat 0,34% ke 6.296,57 pada sesi penutupan sore.
Optimisme pelaku pasar global atas de-eskalasi dagang AS dan China akhirnya dirasakan oleh investor di Indonesia, mengikuti tren di kawasan Asia. Indeks Nikkei 225 Jepang menguat 0,47%, Shanghai Composite China naik 0,75%, sementara Hang Seng Hong Kong dan Kospi Korea Selatan melesat lebih dari 1%.
Transaksi saham di BEI terbilang ramai dengan nilai Rp 6,71 triliun, atau lebih tinggi jika dibandingkan transaksi Jumat lalu (10/1) yang mencatatkan angka Rp 6,31 triliun. Kenaikan transaksi tersebut menandakan gairah pelaku pasar yang mulai meningkat.
Secara teknikal, IHSG memiliki kecenderungan menguat karena mulai bergerak di atas rata-rata nilai pergerakannya (moving average) selama lima hari terakhir (MA-5) di level 6.279.
Sepanjang Januari, IHSG masih berada di zona merah, meski tipis yakni -0,03%. Jika tren penguatan tersebut berlangsung konsisten, maka kita bisa melihat fenomena January Effect. Berkaca dari sejarah, dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), IHSG hanya dua kali membukukan imbal hasil bulanan negatif pada Januari, yakni pada tahun 2011 dan 2017.
Investor asing kembali masuk pasar dan mencatatkan beli bersih (net buy) senilai Rp 380,41 miliar di pasar reguler, dan Rp 251,66 miliar di semua pasar. Net buy ini sejalan dengan pasar uang di mana rupiah menguat terhadap dolar AS, dengan menguat 0,65% ke level Rp 13.665/US$, dan berada di level terkuat sejak Februari 2018.
Mata Uang Garuda tersebut terhitung telah menguat selama 6 pekan berturut-turut, dengan akumulasi penguatan sebesar 2,45%. Penguatan terjadi bersamaan dengan terus masuknya investor asing ke pasar obligasi.
Harga obligasi rupiah pemerintah ditutup menguat pada Senin (13/01/2020) dan memperpanjang reli penguatan yang terjadi 4 hari sejak 8 Januari dengan sentimen utama prospek damai dagang Amerika Serikat (AS)-China.
Seri acuan yang paling menguat adalah FR0082 yang bertenor 10 tahun dengan penurunan imbal hasil (yield) sebesar 6,2 basis poin (bps) menjadi 6,86%. Besaran 100 bps setara dengan 1%. Penurunan yield mengindikasikan harga sedang naik karena aksi beli investor.
Bursa AS kemarin ditutup di jalur hijau jelang rembug dagang dengan China. Indeks Dow Jones Industrial Average naik 83,3 poin (0,3%) pada penutupan perdagangan Senin (13/01/2022), sedangkan Indeks Nasdaq tumbuh 95,1 poin (1%) ke 9.273,93 dan S&P 500 bertambah 22,8 poin (0,7%) ke 3.288,13.
Saham Goldman Sachs dan Cisco Systems melonjak masing-masing di atas 1%, menjadi pendorong penguatan Wall Street. Saham sektor teknologi, properti dan industri dasar menjadi pendongkrak indeks S&P 500 dengan kenaikan masing-masing sekitar 1,3%.
Delegasi Beijing berada di Washington pada Senin untuk penandatanganan kesepakatan dagang yang dijadwalkan berlangsung pada Rabu. Salah satu poin kesepakatan itu adalah diskon tarif AS atas beberapa produk China, dengan imbalan kenaikan pembelian produk pertanian AS.
Kemarin, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengumumkan bahwa pihaknya telah mengeluarkan China dari daftar negara 'pemanipulasi kurs'. Keputusan ini diambil setelah Mei tahun lalu AS tiba-tiba memasukkan Negeri Panda itu ke daftar hitam tersebut. China kini bersama 9 negara lain berada di 'daftar pengawasan ' bersama Jepang, Jerman, dan Italia.
Keputusan ini tentu saja merupakan pemanis untuk membuat Beijing senang dan tak mengubah sikapnya atas kesepakatan dagang fase satu yang disebut Mnuchin sebagai "sangat-sangat ekstensif."
Wajar saja, The South China Morning Post (SCMP) melaporkan bahwa pemerintah China pada Senin masih membuka peluang untuk "terus berperang" dengan mengatakan bahwa perang dagang "belum akan berakhir," menambahkan bahwa penandatanganan kesepakatan pada Rabu hanyalah "putaran pertama permainan."
Dalam kesepakatan dagang fase I, Presiden Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu.
Sementara dari pihak China, Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk asal AS yang jika ditotal nilainya akan mencapai US$ 200 miliar, terutama pertanian (US$75 miliar). Menurut laporan CNBC International, China juga telah menyatakan siap untuk mengubah aturan investasi mengenai kewajiban transfer teknologi.
Hanya saja, kita harus ingat betul bahwa kesepakatan fase satu ini pada hakikatnya bukanlah perdamaian dagang. Tarif tinggi masih akan berlaku untuk produk kedua negara, meski sudah "didiskon." Jika dibandingkan dengan situasi sebelum Trump menggelorakan perang dagang, kondisi supply-chain kedua negara masih terpapar tarif yang lebih tinggi.
Sebagaimana diberitakan oleh SMCP, China juga masih belum sepenuhnya legawa untuk tunduk pada kemauan AS, dengan menyatakan bahwa fase satu adalah akhir ronde pertama pertarungan dagang, dan mereka tidak takut jika harus melihat perang dagang masih akan terus berlanjut.
Situs Taoran Notes, blog yang dioperasikan oleh media penerbitan milik pemerintah China Economic Daily, juga menggaris bawahi itu dalam posting pertamanya pada hari Minggu kemarin, setelah dua bulan hiatus.
"Kita harus camkan bahwa perang dagang belum akan berakhir. AS belum akan mencabut semua tarif baru yang diberlakukan pada produk impor China dan China masih mengenakan bea masuk balasan terhadap AS... Masih ada banyak ketidakpastian menunggu di depan," demikian tulis blog tersebut, sebagaimana dikutip CNBC International.
Karena itu, silahkan ikut eforia perang dagang pada hari ini. Beli saham-saham yang masih tertinggal kenaikannya terutama di sektor perbankan, agrikultur, energi dan manufaktur yang akan mendapat berkah tidak langsung dari perbaikan supply-chain dunia jika kedua negara berperekonomian terbesar dunia itu akur.
Namun, jangan berlama-lama di pasar jika tidak ada sentimen positif tambahan di luar eforia kesepakatan dagang fase pertama. China, masih berpeluang menghindari tekanan AS dengan memperpanjang negosiasi (sembari mendiskon tarif baru AS atas produknya), dengan menunggu Trump jatuh dalam pemakzulan, atau kalah dalam pemilu November nanti.
Mengasumsikan perang dagang terus berjalan, Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) Oktober lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3% di tahun 2019, dibandingkan proyeksi yang diberikan pada bulan Juli sebesar 3,2%. Proyeksi tersebut merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir.
Berikut adalah rilis data yang akan terjadi hari ini:
- Pembicaraan Dagang AS & China
- Neraca perdagangan China Desember (10:00 WIB)
- Produksi industri China November (14:00 WIB)
- Rilis utang China Desember (16:00 WIB)
- Data inflasi AS (20:30 WIB)
Berikut ini agenda emiten yang patur dicermati:
- Listing PT Triniti Land Tbk (08:30 WIB)
- RUPSLB PT Marga Abhinaya Abadi Tbk (10:00)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019) | 5,02% YoY |
Inflasi (Desember 2019) | 2,72% YoY |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Desember 2019) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Kuartal III-2019) | -2,66% PDB |
Neraca pembayaran (Kuartal III-2019) | -US$ 46 juta |
Cadangan devisa (Desember 2019) | US$ 129,2 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA(ags/ags) Next Article Wall Street Merana, Akankah September Menjadi Bulan Terburuk?