
Polling CNBC Indonesia
Konsensus: Bunga Acuan BI Diramal Tetap 5%
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 December 2019 06:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) terakhir pada 2019 pekan ini. Setelah suku bunga acuan turun empat kali, apakah BI tergoda untuk menurunkannya lagi?
RDG BI edisi Desember 2019 akan berlangsung pada Rabu-Kamis pekan ini. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 5%.
Setelah tahun lalu BI begitu agresif dengan menaikkan suku bunga acuan enam kali, tahun ini MH Thamrin bersikap sebaliknya. Suku bunga acuan diturunkan empat kali, laju penurunan paling agresif sejak 2016.
Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, menilai posisi (stance) kebijakan bank sentral sudah bergeser. Sejak tahun lalu sampai semester I-2019, kebijakan moneter memang cenderung ketat.
"Namun mulai semester II-2019 sudah menuju ke akomodatif. Ini yang membuat stimulus BI sudah full, tinggal harapannya disambut oleh sektor riil dan perbankan," kata Dody kala berbincang dengan awak Detik Network di Gedung Transmedia, Jakarta, belum lama ini.
Apakah dengan begitu masih ada ruang untuk pelonggaran lebih lanjut? "Masih ada room," ungkap Dody.
Namun, eksekusi pelonggaran moneter akan sangat tergantung kepada data (data dependent). Menurut Dody, BI sudah beralih dari forward guidance ke data dependent dalam sekitar dua bulan terakhir, mengingat perkembangan perekonomian global dan domestik yang begitu dinamis.
"Room ada tetapi data dependent. Sejak dua RDG (Rapat Dewan Gubernur) terakhir, tergantung perkembangan," sebutnya.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, mengatakan memang ada godaan bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Misalnya, inflasi domestik yang relatif rendah.
Pada November, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi domestik sebesar 3% year-on-year (YoY). BI memperkirakan inflasi sepanjang 2019 berada di kisaran 3,1%.
"Bagi BI, godaan untuk menurunkan suku bunga acuan juga bisa datang dari keinginan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi ada perkembangan positif, di mana terjadi deeskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China," sebut Satria dalam risetnya.
Akan tetapi, lanjut Satria, ada risiko kalau BI menuruti godaan tersebut. Pasalnya, ada kemungkinan inflasi 2020 bakal terakselerasi. Sebagai informasi, tahun depan pemerintah mulai menaikkan sejumlah tarif mulai dari cukai rokok, jalan tol, sampai iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJPS) Kesehatan. Hasilnya, akan ada tekanan inflasi terutama di sisi harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices).
"Oleh karena itu, kami memperkirakan BI akan menunggu sampai dampak dari penurunan suku bunga acuan dan Giro Wajib Minimum (GWM) benar-benar terasa di perekonomian sebelum kembli mengeksekusi penurunan suku bunga acuan tahun depan," sebut Satria.
Katrina Ell, Ekonom Moody's Analytics, juga memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan pada RDG bulan ini. Apalagi BI juga sudah memutuskan untuk menurunkan GWM sebesar 50 basis poin (bps) pada 2 Januari 2020. Stimulus dari BI sudah lengkap, tinggal menunggu respons dari pelaku ekonomi khususnya perbankan.
"BI punya tugas berat untuk menyeimbangkan antara mendorong permintaan domestik dengan menjaga stabilitas eksternal, khususnya nilai tukar rupiah. Penurunan GWM adalah cara untuk meningkatkan likuiditas domestik tanpa risiko menyebabkan arus modal keluar (capital outflows) seperti penurunan suku bunga acuan," sebut Ell.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Pasar Tak Kompak, Bunga Acuan BI Tetap atau Turun Nih?
RDG BI edisi Desember 2019 akan berlangsung pada Rabu-Kamis pekan ini. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 5%.
Institusi | BI 7 Day Reverse Repo Rate (%) |
Bank Danamon | 5 |
Danareksa Research Institute | 5 |
Barclays | 5 |
Maybank Indonesia | 5 |
Citi | 5 |
Moody's Analytics | 5 |
BCA | 5 |
Standard Chartered | 5 |
Bahana Sekuritas | 5 |
ANZ | 5 |
Trimegah Sekuritas | 5 |
MEDIAN | 5 |
Setelah tahun lalu BI begitu agresif dengan menaikkan suku bunga acuan enam kali, tahun ini MH Thamrin bersikap sebaliknya. Suku bunga acuan diturunkan empat kali, laju penurunan paling agresif sejak 2016.
Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, menilai posisi (stance) kebijakan bank sentral sudah bergeser. Sejak tahun lalu sampai semester I-2019, kebijakan moneter memang cenderung ketat.
"Namun mulai semester II-2019 sudah menuju ke akomodatif. Ini yang membuat stimulus BI sudah full, tinggal harapannya disambut oleh sektor riil dan perbankan," kata Dody kala berbincang dengan awak Detik Network di Gedung Transmedia, Jakarta, belum lama ini.
Apakah dengan begitu masih ada ruang untuk pelonggaran lebih lanjut? "Masih ada room," ungkap Dody.
Namun, eksekusi pelonggaran moneter akan sangat tergantung kepada data (data dependent). Menurut Dody, BI sudah beralih dari forward guidance ke data dependent dalam sekitar dua bulan terakhir, mengingat perkembangan perekonomian global dan domestik yang begitu dinamis.
"Room ada tetapi data dependent. Sejak dua RDG (Rapat Dewan Gubernur) terakhir, tergantung perkembangan," sebutnya.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, mengatakan memang ada godaan bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Misalnya, inflasi domestik yang relatif rendah.
Pada November, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi domestik sebesar 3% year-on-year (YoY). BI memperkirakan inflasi sepanjang 2019 berada di kisaran 3,1%.
"Bagi BI, godaan untuk menurunkan suku bunga acuan juga bisa datang dari keinginan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi ada perkembangan positif, di mana terjadi deeskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China," sebut Satria dalam risetnya.
Akan tetapi, lanjut Satria, ada risiko kalau BI menuruti godaan tersebut. Pasalnya, ada kemungkinan inflasi 2020 bakal terakselerasi. Sebagai informasi, tahun depan pemerintah mulai menaikkan sejumlah tarif mulai dari cukai rokok, jalan tol, sampai iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJPS) Kesehatan. Hasilnya, akan ada tekanan inflasi terutama di sisi harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices).
"Oleh karena itu, kami memperkirakan BI akan menunggu sampai dampak dari penurunan suku bunga acuan dan Giro Wajib Minimum (GWM) benar-benar terasa di perekonomian sebelum kembli mengeksekusi penurunan suku bunga acuan tahun depan," sebut Satria.
Katrina Ell, Ekonom Moody's Analytics, juga memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan pada RDG bulan ini. Apalagi BI juga sudah memutuskan untuk menurunkan GWM sebesar 50 basis poin (bps) pada 2 Januari 2020. Stimulus dari BI sudah lengkap, tinggal menunggu respons dari pelaku ekonomi khususnya perbankan.
"BI punya tugas berat untuk menyeimbangkan antara mendorong permintaan domestik dengan menjaga stabilitas eksternal, khususnya nilai tukar rupiah. Penurunan GWM adalah cara untuk meningkatkan likuiditas domestik tanpa risiko menyebabkan arus modal keluar (capital outflows) seperti penurunan suku bunga acuan," sebut Ell.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Pasar Tak Kompak, Bunga Acuan BI Tetap atau Turun Nih?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular