
Newsletter
Ironi Propaganda Trump dan Doktrin Perang Dagangnya
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
03 December 2019 06:06

Pada hari ini, tidak banyak yang bisa diharapkan dari data ekonomi di dalam negeri. Sentimen penggerak kebanyakan akan berasal dari luar negeri seperti misalnya pertumbuhan ekonomi Korea Selatan, yang menurut Trading Economics bakal melambat secara kuartalan menjadi 0,4% pada kuartal III-2019.
Namun secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Negeri K-Pop tersebut diprediksi bertumbuh 2% atau tidak berubah dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu. Sebagai salah satu pendorong ekonomi Kawasan, PDB Korsel ini menjadi indikator bahwa ekonomi di kawasan Asia masih bakal menantang.
Setelah saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) kemarin meroket menyentuh level tertinggi barunya jelang pembagian dividen, patut diperhatikan saham-saham dengan latar-belakang serupa terutama PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang bakal membagikan dividen Rp 430 per saham, atau setara Rp 3,28 triliun secara total.
Kemarin, saham blue chip sektor konsumer tersebut menguat 2,51% atau Rp 1.050 per unit, ke Rp 42.850 per saham. Artinya, jika anda memegang saham UNVR sebanyak 1.000 unit, maka dalam sehari anda meraup keuntungan Rp 1 juta. Cash keras.
Demi melihat gelagat window dressing yang biasa terjadi pada bulan ke-12, aksi beli saham UNVR tersebut kemungkinan masih terbuka pada hari ini meski dengan besaran kenaikan yang lebih terbatas karena pelaku pasar cenderung bermain jangka pendek akhir-akhir ini.
Saham sektor konsumer mestinya diuntungkan oleh catatan inflasi November yang lebih baik dari ekspektasi. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) naik 0,14% (bulanan) dan 3% (tahunan). Inflasi inti (core inflation) mencapai 3,08% (year on year).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi November adalah 0,2% (bulanan) dan 3,065% (tahunan). Sementara, inflasi inti diramal 3,16% (YoY). Dengan kata lain, laju inflasi tidak setinggi yang diperkirakan.
Ini menjadi kabar baik bagi perekonomian, karena mengindikasikan bahwa laju kenaikan harga-harga barang terkendali, sehingga membantu menjaga daya beli masyarakat. Pada akhirnya, konsumsi berpeluang terbantu. Ingat, kita belum seperti negara maju yang saat ini menghadapi problem inflasi letoy dan berharap-harap akan ada pertumbuhan inflasi.
Jujur, inflasi di Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, inflasi Malaysia di kisaran 1%, Vietnam dan Kamboja kisaran 2%, Thailand dan Filipina di bawah 1%.
Kita sederajat dengan Laos yang tingkat inflasinya adalah kepala tiga. Bangga? Jangan dong. Inflasi tinggi membuat imbal hasil (yield) investasi menjadi kurang menarik, sehingga investor meminta tingkat pengembalian (return) lebih tinggi.
Contoh saja di pasar obligasi, di mana yield acuannya (obligasi negara bertenor 10 tahun) berada di kisaran 7%, lebih tinggi dari Malaysia yang hanya kisaran 3%. Artinya, ongkos yang harus dipikul pengusaha Indonesia ketika menggali dana dengan menerbitkan surat utang baru jauh lebih besar ketimbang yang dihadapi pengusaha Malaysia.
Dengan inflasi yang terjaga lebih rendah, tekanan ekonomi pun berkurang. Ini semestinya memberikan alasan untuk mengoleksi saham-saham konsumer, ritel, properti, dan juga perbankan yang sensitif dengan suku bunga dan daya beli masyarakat. (ags/ags)
Namun secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Negeri K-Pop tersebut diprediksi bertumbuh 2% atau tidak berubah dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu. Sebagai salah satu pendorong ekonomi Kawasan, PDB Korsel ini menjadi indikator bahwa ekonomi di kawasan Asia masih bakal menantang.
Setelah saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) kemarin meroket menyentuh level tertinggi barunya jelang pembagian dividen, patut diperhatikan saham-saham dengan latar-belakang serupa terutama PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang bakal membagikan dividen Rp 430 per saham, atau setara Rp 3,28 triliun secara total.
Kemarin, saham blue chip sektor konsumer tersebut menguat 2,51% atau Rp 1.050 per unit, ke Rp 42.850 per saham. Artinya, jika anda memegang saham UNVR sebanyak 1.000 unit, maka dalam sehari anda meraup keuntungan Rp 1 juta. Cash keras.
Demi melihat gelagat window dressing yang biasa terjadi pada bulan ke-12, aksi beli saham UNVR tersebut kemungkinan masih terbuka pada hari ini meski dengan besaran kenaikan yang lebih terbatas karena pelaku pasar cenderung bermain jangka pendek akhir-akhir ini.
Saham sektor konsumer mestinya diuntungkan oleh catatan inflasi November yang lebih baik dari ekspektasi. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) naik 0,14% (bulanan) dan 3% (tahunan). Inflasi inti (core inflation) mencapai 3,08% (year on year).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi November adalah 0,2% (bulanan) dan 3,065% (tahunan). Sementara, inflasi inti diramal 3,16% (YoY). Dengan kata lain, laju inflasi tidak setinggi yang diperkirakan.
Ini menjadi kabar baik bagi perekonomian, karena mengindikasikan bahwa laju kenaikan harga-harga barang terkendali, sehingga membantu menjaga daya beli masyarakat. Pada akhirnya, konsumsi berpeluang terbantu. Ingat, kita belum seperti negara maju yang saat ini menghadapi problem inflasi letoy dan berharap-harap akan ada pertumbuhan inflasi.
Jujur, inflasi di Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, inflasi Malaysia di kisaran 1%, Vietnam dan Kamboja kisaran 2%, Thailand dan Filipina di bawah 1%.
Kita sederajat dengan Laos yang tingkat inflasinya adalah kepala tiga. Bangga? Jangan dong. Inflasi tinggi membuat imbal hasil (yield) investasi menjadi kurang menarik, sehingga investor meminta tingkat pengembalian (return) lebih tinggi.
Contoh saja di pasar obligasi, di mana yield acuannya (obligasi negara bertenor 10 tahun) berada di kisaran 7%, lebih tinggi dari Malaysia yang hanya kisaran 3%. Artinya, ongkos yang harus dipikul pengusaha Indonesia ketika menggali dana dengan menerbitkan surat utang baru jauh lebih besar ketimbang yang dihadapi pengusaha Malaysia.
Dengan inflasi yang terjaga lebih rendah, tekanan ekonomi pun berkurang. Ini semestinya memberikan alasan untuk mengoleksi saham-saham konsumer, ritel, properti, dan juga perbankan yang sensitif dengan suku bunga dan daya beli masyarakat. (ags/ags)
Pages
Most Popular