
Newsletter
Awas, Dolar Bakal Beringas!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 November 2019 06:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Minimnya sentimen domestik membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cs terombang-ambing di tengah ketidakpastian global.
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,05%. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi 0,07% di perdagangan pasar spot.
Kemudian imbal hasll (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 1,3 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun akibat tekanan jual.
Rupiah dkk dibuat tidak tenang akibat dinamika hubungan AS-China. Pasar sudah mengetahui bahwa AS-China bakal menandatangani perjanjian damai dagang Fase I. Namun kapan waktunya belum jelas. Selama itu pula berbagai spekulasi berseliweran.
Presiden AS Donald Trump mengungkapkan, Washington dan Beijing sudah dekat untuk mencapai perjanjian dagang. Bahkan Trump sesumbar kesepakatan tersebut akan sangat signifikan, salah satu yang terbesar dalam sejarah.
"Kami sedang dalam putaran terakhir dalam pembahasan kesepakatan yang sangat penting. Bahkan saya rasa ini akan menjadi salah satu kesepakatan dagang terbesar dalam sejarah. Semua berjalan baik, tetapi pada saat yang sama kami ingin ada perbaikan di Hong Kong," kata Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.
Trump menambahkan, Presiden China Xi Jinping tentu akan mewujudkan kedamaian dan ketertiban di Hong Kong yang dilanda aksi unjuk rasa selama berbulan-bulan. Trump yakin China akan merespons positif hasil pemilihan Dewan Distrik di Hong Kong di mana kubu pro-demokrasi menang telak.
"Saya rasa Presiden Xi bisa melakukan itu. Saya kenal beliau, dan beliau akan mewujudkannya," ujar Trump.
Namun sejatinya kabar itu masih sangat menggantung, tidak ada sesuatu yang benar-benar baru. Belum ada kejelasan kapan dan apa saja poin-pon dalam kesepakatan damai dagang. Ini yang membuat investor masih ragu untuk bermain agresif dengan mengoleksi aset-aset berisiko di negara berkembang.
"Apakah (pernyataan Trump) memberi tahu sesuatu yang baru? Apakah ada sesuatu yang belum kita ketahui dari enam atau tujuh pekan lalu?" tegas Neil Wilson, Chief Market Analyst di markets.com, seperti dikutip dari Reuters.
Penguatan Wall Street ditopang oleh rilis data pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang direvisi ke atas menjadi 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Lebih baik ketimbang pembacaan pertama yaitu 1,9% dan kuartal sebelumnya yang sebesar 2%.
Revisi ke atas cukup mengejutkan, dan membuat pelaku pasar lebih optimistis menghadapi kuartal IV-2019. "Kuartal IV sepertinya lebih baik," ujar Michael Feroli, Ekonom JP Morgan yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Atlanta pun mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 dari 0,4% menjadi menjadi 1,7%. "Setelah rilis data hari ini, perkiraan untuk pertumbuhan konsumsi dan investasi berubah dari 1,7% dan -3% menjadi 2% dan -1,7%. Sementara kontribusi net ekspor ke pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) naik dari -0,2 poin persentase menjadi 0,39 poin persentase," sebut The Fed Atlanta dalam keterangan tertulis.
Akan tetapi, kenaikan Wall Street dibatasi oleh investor menahan diri jelang musim liburan di AS. Kamis pekan ini waktu setempat, AS akan memulai musim liburan dengan perayaan Thanksgiving. Sehari setelahnya akan ada event diskon besar-besaran yang akrab disebut Black Friday.
Dalam laporan lain, Kementerian Perdagangan AS menyebutkan belanja konsumen pada Oktober naik 0,3% month-on-month (MoM). Membaik dibandingkan pertumbuhan September yaitu 0,2%.
"Pertumbuhan konsumsi memang lambat, tetapi bukan berarti kolaps," tegas Tim Quinlan, Ekonom Wells Fargo Securities yang berbasis di North Carolina, seperti diberitakan Reuters.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu menyimak sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan positif di Wall Street, yang berlum berhenti mencetak rekor. Semoga optimisme dari New York bisa menular ke Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua, investor juga patut terus memonitor perkembangan negosiasi dagang AS-China. Kedua negara sedang di ambang mencapai kesepakatan damai dagang Fase I, tetapi belum ada kejelasan kapan bakal diteken.
Kellyanne Conway, Penasihat Gedung Putih, menyebutkan AS dan China sudah sangat dekat dengan kesepakatan damai dagang Fase I. Dia menambahkan Presiden Trump memang ingin kesepakatan dagang dibuat secara bertahap karena mencakup hal-hal yang sangat besar.
"Kami terus bernegosiasi. Namun dengan isu seperti pemaksaan transfer teknologi, pencurian hak atas kekayaan intelektual, dan ketidakseimbangan perdagangan yang mencapai setengah triliun dolar, ini tidak masuk akal. Bapak Presiden ingin ada kesepakatan, tetapi haruslah kesepakatan terbaik," kata Conway, seperti diwartakan Reuters.
Tahun lalu, AS membukukan defisit US$ 419,53 miliar kala berdagang dengan China. Pada Januari-September 2019, defisit perdagangan AS dengan China tercatat US$ 263,19 miliar.
Jadi sebelum AS-China benar-benar menandatangani perjanjian damai damai, kabar dan spekulasi akan terus berdatangan. Kerap kali kabar dan spekulasi itu menjadi sentimen utama yang menggerakkan pasar.
Sentimen ketiga, investor harus waspada dengan potensi penguatan dolar AS. pada pukul 03:33 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) naik 0,14%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini terangkat 0,64%.
Penguatan dolar AS didukung oleh data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Belum lagi pemesanan produk tahan lama (durable goods) buatan AS naik 0,6% MoM pada Oktober. Membaik dibandingkan September yang turun 1,4%.
Data ini mendukung perkiraan pasar bahwa The Fed akan menghentikan siklus penurunan suku bunga acuan untuk sementara waktu. Mengutip CME Fedwatch, kans Federal Funds Rate bertahan di 1,5-1,75% dalam rapat The Fed 11 Desember mencapai 94,8%. Naik dari sehari sebelumnya yaitu 94,1%.
"Sudah sangat jelas, kekuatan dolar AS ditopang oleh data-data yang ada. The Fed sudah memberi sinyal bahwa siklus penurunan suku bunga sudah selesai untuk tahun ini, dan data-data yang positif memberi validasi ke arah sana," kata Alfonso Esparza, Senior Currency Analyst di OANDA yang berbasis di Toronto (Kanada), seperti dikutip dari Reuters.
Tanpa penurunan suku bunga, setidaknya dalam waktu dekat, berinvestasi di dolar AS (terutama di aset-aset berpendapatan tetap seperti obligasi) masih akan menguntungkan. Permintaan dolar AS meningkat dan nilainya pun menguat.
Jika situasi ini bertahan, maka rupiah kemungkinan bakal melemah lagi. Plus, kebutuhan valas korporasi sedang tinggi jelang akhir bulan karena ada kewajiban pembayaran utang, impor, dan sebagainya. Tekanan terhadap rupiah akan datang dari dalam dan luar negeri sehingga investor patut mawas diri.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, ada kemungkinan investor menahan diri menunggu kabar dari Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) yang dulu dikenal dengan sebutan Bankers Dinner. Acara ini akan digelar setelah penutupan pasar, tepatnya selepas makan malam.
Dalam acara yang rencananya dihadiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut, Gubernur BI Perry Warijyo akan memaparkan prospek perekonomian dan arah kebijakan moneter 2020. Tentu menarik untuk mengetahui apa yang akan dilakukan BI tahun depan. Apakah MH Thamrin masih akan menerapkan kebijakan akomodatif seperti tahun ini? Atau mulai bias ketat karena perkiraan perbaikan kondisi ekonomi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menemukan jawaban malam ini. Selagi pelaku pasar menebak-nebak, ada potensi bermain aman yang membuat pasar keuangan domestik kurang bergairah.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data penjualan ritel Jepang periode Oktober 2019 (06:50 WIB).
2. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Eterindo Wahanatama Tbk (09:30 WIB).
3. Rilis data kepercayaan bisnis Uni Eropa periode November 2019 (17:00 WIB).
4. Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2019 (19:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
(aji/aji) Next Article Kalau IHSG dan Rupiah Melemah, Itu Gara-gara Jerome Powell
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,05%. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi 0,07% di perdagangan pasar spot.
Kemudian imbal hasll (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 1,3 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun akibat tekanan jual.
Rupiah dkk dibuat tidak tenang akibat dinamika hubungan AS-China. Pasar sudah mengetahui bahwa AS-China bakal menandatangani perjanjian damai dagang Fase I. Namun kapan waktunya belum jelas. Selama itu pula berbagai spekulasi berseliweran.
Presiden AS Donald Trump mengungkapkan, Washington dan Beijing sudah dekat untuk mencapai perjanjian dagang. Bahkan Trump sesumbar kesepakatan tersebut akan sangat signifikan, salah satu yang terbesar dalam sejarah.
"Kami sedang dalam putaran terakhir dalam pembahasan kesepakatan yang sangat penting. Bahkan saya rasa ini akan menjadi salah satu kesepakatan dagang terbesar dalam sejarah. Semua berjalan baik, tetapi pada saat yang sama kami ingin ada perbaikan di Hong Kong," kata Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.
Trump menambahkan, Presiden China Xi Jinping tentu akan mewujudkan kedamaian dan ketertiban di Hong Kong yang dilanda aksi unjuk rasa selama berbulan-bulan. Trump yakin China akan merespons positif hasil pemilihan Dewan Distrik di Hong Kong di mana kubu pro-demokrasi menang telak.
"Saya rasa Presiden Xi bisa melakukan itu. Saya kenal beliau, dan beliau akan mewujudkannya," ujar Trump.
Namun sejatinya kabar itu masih sangat menggantung, tidak ada sesuatu yang benar-benar baru. Belum ada kejelasan kapan dan apa saja poin-pon dalam kesepakatan damai dagang. Ini yang membuat investor masih ragu untuk bermain agresif dengan mengoleksi aset-aset berisiko di negara berkembang.
"Apakah (pernyataan Trump) memberi tahu sesuatu yang baru? Apakah ada sesuatu yang belum kita ketahui dari enam atau tujuh pekan lalu?" tegas Neil Wilson, Chief Market Analyst di markets.com, seperti dikutip dari Reuters.
Dari Wall Street, tiga indeks utama kembali finis di jalur hijau. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,15%, S&P 500 menguat 0,42%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,66%. Ketiganya kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah.
![]() |
Penguatan Wall Street ditopang oleh rilis data pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang direvisi ke atas menjadi 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Lebih baik ketimbang pembacaan pertama yaitu 1,9% dan kuartal sebelumnya yang sebesar 2%.
Revisi ke atas cukup mengejutkan, dan membuat pelaku pasar lebih optimistis menghadapi kuartal IV-2019. "Kuartal IV sepertinya lebih baik," ujar Michael Feroli, Ekonom JP Morgan yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Atlanta pun mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 dari 0,4% menjadi menjadi 1,7%. "Setelah rilis data hari ini, perkiraan untuk pertumbuhan konsumsi dan investasi berubah dari 1,7% dan -3% menjadi 2% dan -1,7%. Sementara kontribusi net ekspor ke pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) naik dari -0,2 poin persentase menjadi 0,39 poin persentase," sebut The Fed Atlanta dalam keterangan tertulis.
Akan tetapi, kenaikan Wall Street dibatasi oleh investor menahan diri jelang musim liburan di AS. Kamis pekan ini waktu setempat, AS akan memulai musim liburan dengan perayaan Thanksgiving. Sehari setelahnya akan ada event diskon besar-besaran yang akrab disebut Black Friday.
Dalam laporan lain, Kementerian Perdagangan AS menyebutkan belanja konsumen pada Oktober naik 0,3% month-on-month (MoM). Membaik dibandingkan pertumbuhan September yaitu 0,2%.
"Pertumbuhan konsumsi memang lambat, tetapi bukan berarti kolaps," tegas Tim Quinlan, Ekonom Wells Fargo Securities yang berbasis di North Carolina, seperti diberitakan Reuters.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu menyimak sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan positif di Wall Street, yang berlum berhenti mencetak rekor. Semoga optimisme dari New York bisa menular ke Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua, investor juga patut terus memonitor perkembangan negosiasi dagang AS-China. Kedua negara sedang di ambang mencapai kesepakatan damai dagang Fase I, tetapi belum ada kejelasan kapan bakal diteken.
Kellyanne Conway, Penasihat Gedung Putih, menyebutkan AS dan China sudah sangat dekat dengan kesepakatan damai dagang Fase I. Dia menambahkan Presiden Trump memang ingin kesepakatan dagang dibuat secara bertahap karena mencakup hal-hal yang sangat besar.
"Kami terus bernegosiasi. Namun dengan isu seperti pemaksaan transfer teknologi, pencurian hak atas kekayaan intelektual, dan ketidakseimbangan perdagangan yang mencapai setengah triliun dolar, ini tidak masuk akal. Bapak Presiden ingin ada kesepakatan, tetapi haruslah kesepakatan terbaik," kata Conway, seperti diwartakan Reuters.
Tahun lalu, AS membukukan defisit US$ 419,53 miliar kala berdagang dengan China. Pada Januari-September 2019, defisit perdagangan AS dengan China tercatat US$ 263,19 miliar.
Jadi sebelum AS-China benar-benar menandatangani perjanjian damai damai, kabar dan spekulasi akan terus berdatangan. Kerap kali kabar dan spekulasi itu menjadi sentimen utama yang menggerakkan pasar.
Sentimen ketiga, investor harus waspada dengan potensi penguatan dolar AS. pada pukul 03:33 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) naik 0,14%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini terangkat 0,64%.
Penguatan dolar AS didukung oleh data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Belum lagi pemesanan produk tahan lama (durable goods) buatan AS naik 0,6% MoM pada Oktober. Membaik dibandingkan September yang turun 1,4%.
Data ini mendukung perkiraan pasar bahwa The Fed akan menghentikan siklus penurunan suku bunga acuan untuk sementara waktu. Mengutip CME Fedwatch, kans Federal Funds Rate bertahan di 1,5-1,75% dalam rapat The Fed 11 Desember mencapai 94,8%. Naik dari sehari sebelumnya yaitu 94,1%.
"Sudah sangat jelas, kekuatan dolar AS ditopang oleh data-data yang ada. The Fed sudah memberi sinyal bahwa siklus penurunan suku bunga sudah selesai untuk tahun ini, dan data-data yang positif memberi validasi ke arah sana," kata Alfonso Esparza, Senior Currency Analyst di OANDA yang berbasis di Toronto (Kanada), seperti dikutip dari Reuters.
Tanpa penurunan suku bunga, setidaknya dalam waktu dekat, berinvestasi di dolar AS (terutama di aset-aset berpendapatan tetap seperti obligasi) masih akan menguntungkan. Permintaan dolar AS meningkat dan nilainya pun menguat.
Jika situasi ini bertahan, maka rupiah kemungkinan bakal melemah lagi. Plus, kebutuhan valas korporasi sedang tinggi jelang akhir bulan karena ada kewajiban pembayaran utang, impor, dan sebagainya. Tekanan terhadap rupiah akan datang dari dalam dan luar negeri sehingga investor patut mawas diri.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, ada kemungkinan investor menahan diri menunggu kabar dari Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) yang dulu dikenal dengan sebutan Bankers Dinner. Acara ini akan digelar setelah penutupan pasar, tepatnya selepas makan malam.
Dalam acara yang rencananya dihadiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut, Gubernur BI Perry Warijyo akan memaparkan prospek perekonomian dan arah kebijakan moneter 2020. Tentu menarik untuk mengetahui apa yang akan dilakukan BI tahun depan. Apakah MH Thamrin masih akan menerapkan kebijakan akomodatif seperti tahun ini? Atau mulai bias ketat karena perkiraan perbaikan kondisi ekonomi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menemukan jawaban malam ini. Selagi pelaku pasar menebak-nebak, ada potensi bermain aman yang membuat pasar keuangan domestik kurang bergairah.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data penjualan ritel Jepang periode Oktober 2019 (06:50 WIB).
2. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Eterindo Wahanatama Tbk (09:30 WIB).
3. Rilis data kepercayaan bisnis Uni Eropa periode November 2019 (17:00 WIB).
4. Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2019 (19:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Oktober 2019 YoY) | 3,13% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2019) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2019) | -2,66% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2019) | -US$ 46 juta |
Cadangan devisa (Oktober 2019) | US$ 126,69 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau IHSG dan Rupiah Melemah, Itu Gara-gara Jerome Powell
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular