Newsletter

Hati-Hati! AS-China Buntu Lagi, Jerman Masuk Resesi Hari Ini?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 November 2019 07:02
Hati-Hati! AS-China Buntu Lagi, Jerman Masuk Resesi Hari Ini?
Foto: Infografis/ Kronologi perang dagang AS-China belum temukan titik terang/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri memerah pada perdagangan Rabu (13/11/19), sentimen pelaku pasar di pasar Asia memburuk merespon pidato Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump hari Selasa waktu setempat.

Pidato Trump tersebut sebenarnya masih direspon bagus di pasar AS, sentimen pelaku pasar masih baik terbukti dari bursa saham AS yang mampu kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Namun hal yang berbeda terjadi di pasar Asia, pidato tersebut membuat sentimen pelaku pasar memburuk, aset-aset berisiko berguguran, dan rupiah terkena imbas negatif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,62% ke level 6.142,5, rupiah juga melemah 0,19% ke Rp 14.077/US$.



Tidak ketinggalan obligasi Indonesia juga berakhir di zona merah dalam tiga hari beruntun. Yield surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun naik 1,8 basis poin ke level 7,068%.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Presiden Trump dalam pidatonya di acara Economic Club of New York menyebut China "curang" dalam kesepakatan dagang di era presiden-presiden AS sebelumnya.

"Sejak China masuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2001, tidak ada negara yang memanipulasi atau memanfaatkan Amerika Serikat sebaik China. Saya tidak akan mengatakan "curang", tapi tidak ada yang lebih curang dari China, saya akan mengatakan itu" kata Trump dalam acara Economic Club of New York, sebagaimana dilansir CNBC International.



Meski memberikan pernyataan keras, tetapi Trump tidak menyalahkan China, ia justru menyalahkan presiden-presiden sebelumnya yang melakukan negosiasi perdagangan dan membiarkan AS dimanipulasi.

Selain menyentil China, dalam kesempatan kali ini Trump juga menyerang Uni Eropa.

"Banyak negara mengenakan kita bea masuk yang sangat tinggi atau menciptakan hambatan dalam perdagangan. Dan saya akan jujur, Uni Eropa, sangat, sangat sulit. Hambatan perdagangan yang mereka buat sangat mengerikan, dalam banyak hal mereka lebih buruk dari China" ujar Trump.



Serangan terhadap Uni Eropa terjadi beberapa saat setelah adanya kabar yang menyebutkan Trump akan menunda kenaikan bea masuk otomotif dari Benua Biru selama enam bulan. Kini kabar tersebut kembali diragukan dan AS bisa jadi akan menaikkan bea masuk otomotif dari Uni Eropa yang tentunya bisa memicu babak baru perang dagang.

Sentimen dari dalam negeri diperburuk dengan adanya bom di Medan yang membuat kondisi dalam negeri terlihat kurang kondusif bagi investor.
Rabu pagi tadi, terjadi ledakan di Polrestabes Medan. Ledakan tersebut diduga berasal dari bom bunuh diri.

"Kita sedang cek TKP," kata Wakapolda Sumatera Utara Brigjen Mardiaz Kusin, Rabu (13/11/2019). Kejadian itu disebut terjadi pukul 08.45 WIB. Pelaku diduga mengenakan atribut ojek online. Demikian dilansir detikcom.

Bursa saham AS (Wall Street) menghijau lagi pada perdagangan Rabu kemari, ketika indeks utama silih berganti mencetak rekor tertinggi. Terus menguatnya Wall Street mengabaikan fakta hubungan AS dengan China yang kembali merenggang. 

Kali ini giliran Dow Jones dan S&P 500 yang mencetak rekor tertinggi, kedua indeks tersebut menguat 0,3% dan 0,1% ke 27.783,59 dan 3.094,04. Sementara indeks Nasdaq melemah tipis 0,05% ke level 8.482,1. 

Kinerja apik emiten menjadi pemicu penguatan Dow Jones, saham Disney melesat 7,35% setelah mengumumkan layanan streaming terbarunya, Disney telah mencapai 10 juta subscriber sejak dirilis Selasa lalu. Berkat kenaikan 7,35% tersebut, kapitalisasi pasar Disney bertambah lebih dari US$ 13 miliar menjadi US$ 268 miliar. 



Penguatan Wall Street bisa lebih tinggi lagi seandainya perundingan kesepakatan dagang AS-China berjalan mulus. Sejak Presiden AS menyebut China "curang" dalam pidatonya Selasa waktu setempat, berbagai kabar menyebutkan jika perundingan dagang kedua negara ternyata mengalami kebuntuan.

"Kita dapat melihat pasar bergerak naik, tapi kini akan tergantung dari perundingan kesepakatan dagang. Tidak mengejutkan jika kita mendapat kabar negatif kenaikan akan terhenti. Banyak tekanan dalam kesepakatan dagang, jika mereka gagal menandatangani kesepakatan fase satu, maka dampaknya akan cukup negatif" kata James Ragan, direktur riset wealth management di D.A Davidson, sebagaimana dilansir CNBC International



Selain itu, testimoni ketua The Fed, Jerome Powell, di hadapan Kongres AS juga menjadi perhatian para investor. Sesuai dengan perkiraan, Powell menegaskan tidak lagi memangkas suku bunga kecuali perekonomian AS memburuk. 

The Fed sudah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di tahun ini, masing-masing sebesar 25 basis poin hingga menjadi 1,5-1,75%. Pemangkasan suku bunga tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat Wall Street terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Dalam satu bulan terakhir, indeks Dow Jones menguat 3,6%, S&P 500 4,2%, dan Nasdaq memimpin sebesar 5,3%.


Ketiga indeks utama Wall Street silih berganti mencetak rekor tertinggi sejak Jumat lalu, tetapi gagal mengirim hawa positif ke pasar Asia. Wall Street menguat sendirian di saat bursa saham Asia dan Eropa melemah. 

Terus menguatnya Wall Street bisa jadi memotivasi pasar Asia untuk bangkit pada perdagangan hari ini, Kamis (14/11/19). Tetapi tantangannya cukup berat, hubungan AS-China terlihat merenggang, dan penandatanganan kesepakatan dagang fase satu sepertinya masih belum akan terjadi dalam waktu dekat. 

CNBC International melaporkan AS sedang berusaha mendapatkan konsesi yang lebih kuat dari China untuk membuat regulasi kekayaan intelektual dan menghentikan praktik transfer paksa teknologi, sebagai gantinya AS akan membatalkan bea masuk yang seharusnya berlaku mulai 15 Desember nanti.

Di sisi lain, China kini dikabarkan ragu untuk membeli produk pertanian AS, padahal pada bulan lalu Presiden Trump mengklaim Negeri Tiongkok akan membeli produk pertanian Paman Sam senilai US$ 50 miliar sebagai bagian dari kesepakatan dagang fase satu. 

Dalam pidatonya Selasa lalu, Trump mengatakan akan ada penandatangan kesepakatan dagang dalam waktu dekat. Tetapi ia juga mengatakan sedang mempersiapkan tekanan bagi China jika kedua negara gagal mencapai kesepakatan. 

"Jika kita gagal mencapai kesepakatan, akan akan menaikkan bea masuk secara substansial, bea masuk akan dinaikkan sangat substansial" kata Trump saat berbicara di Economic Club of New York. 

Kabar terbaru tersebut tentunya membuat investor semakin berhati-hati untuk masuk ke aset-aset berisiko, peluang gagalnya perundingan kesepakatan dagang terlihat membesar lagi. 



Sementara itu ketua The Fed, Jerome Powell sesuai prediksi mempertahankan sikapnya untuk menghentikan periode pemangkasan suku bunga, kecuali kondisi ekonomi AS memburuk.

Powell sekali lagi membuktikan independensinya saat memberikan testimoni di hadapan Kongres AS. Padahal sehari sebelumnya ia kembali diserang oleh Presiden Trump. 

Trump berpendapat The Fed seharusnya terus memangkas suku bunga agar AS bisa kompetitif di pasar global. 

"Kita secara aktif berkompetisi dengan negara-negara yang terbuka memangkas suku bunga sehingga banyak yang dibayar ketika melunasi pinjaman mereka, atau yang dikenal dengan suku bunga negatif" kata Trump sebagaimana dilansir CNBC International. "Siapa yang pernah mendengar hal tersebut?" tanya Trump kepada audience di Economic Club of New York.

"Berikan saya itu. Berikan saya uang itu. Saya ingin uang itu. Bank sentral kita tidak mengijinkan kami melakukan itu" kata Trump.



Powell yang kukuh dengan sikapnya tersebut membuat dolar AS kokoh, indeks yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam tersebut masih berada di level 98,32, dekat level terkuat satu bulan. 

Sementara itu, Eropa kemungkinan mengirim kabar buruk pada hari ini. Motor penggerak perekonomian Benua Biru, Jerman, diprediksi akan mengalami resesi. 

Pada kuartal II-2019, perekonomian Jerman berkontraksi 0,1% quarter-on-quarter (QoQ). Sementara untuk data kuartal III-2019 yang akan dirilis hari ini, hasil survei Reuters menunjukkan pertumbuhan ekonomi Jerman diprediksi berkontraksi 0,1% atau sama dengan kontraksi yang dialami kuartal sebelumnya. 



Jika prediksi tersebut benar, maka Jerman akan mengalami resesi untuk pertama kalinya sejak tahun 2013. Resesi yang dialami raksasa ekonomi Eropa tentunya bukan kabar bagus, ketika sang raksasa lesu, tentunya rantai perdagangan dari dan ke Eropa menjadi tersendat.

Pertumbuhan ekonomi Eropa pun diramal akan menurun drastis. Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) memprediksi perekonomian Eropa hanya tumbuh 1,4% di tahun ini, turun jauh dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 2,3%. 

Berbagai sentimen terbaru tersebut membuat pasar finansial dalam negeri mendapat tantangan yang berat untuk bisa menguat pada perdagangan hari ini. 


Berikut adalah beberapa data ekonomi dari berbagai negara yang akan dirilis hari ini 
  • Data Tingkat Keyakinan Bisnis Australia (pukul 7:30 WIB)
  • Data Penjualan Sepeda Motor Indonesia (pukul 12:00 WIB)
  • Data Penjualan Eceran Singapura (pukul 12:00 WIB)
  • Data Tenaga Kerja Inggris (pukul 16:30 WIB)
  • Data Tingkat Keyakinan Ekonomi Jerman dan Zona Euro (pukul 17:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (3Q-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Oktober 2019 YoY)

3,13%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (2Q-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (2Q-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Oktober 2019)

US$ 126,7 miliar



TIM RISET CNBC INDONESIA 
(pap/dru) Next Article FYI, Fed Umumkan Suku Bunga Pekan Ini! Rupiah ke 14.700/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular