
Newsletter
Duet Maut Perang Dagang dan Resesi Masih Menghantui
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 October 2019 05:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia lagi-lagi bergerak berlawanan arah pada perdagangan kemarin. Hal serupa pun terjadi di Asia.
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) finis di jalur merah dengan koreksi 0,28%. Hampir seluruh bursa saham utama Asia melemah, hanya Hang Seng yang selamat.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) malah menguat 0,14%. Kebalikan dari bursa saham, hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning menguat dan tinggal menyisakan yuan China yang masih terdepresiasi.
Pasar saham merespons berbagai sentimen negatif yang beredar kemarin. Pertama, masih ada kekhawatiran soal ancaman resesi di AS setelah rilis data aktivitas manufaktur yang mengecewakan.
Pada September, angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS versi Institute for Supply Management (ISM) adalah 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.
Angka PMI di bawah 50 menunjukkan industriawan tidak melakukan ekspansi. Selain itu, skor 47,8 adalah yang terendah sejak Juni 2009.
Kedua, investor mencemaskan risiko perang dagang AS vs Uni Eropa. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing.
Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun. Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar.
Aktivitas manufaktur yang terkontraksi plus perang dagang dengan Uni Eropa sangat berisiko membuat perekonomian AS melambat, bahkan bukan tidak mungkin jatuh ke jurang resesi. Oleh karena itu, pelaku pasar semakin yakin bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) bakal terus menerapkan kebijakan moneter longgar dengan menurunkan suku bunga acuan.
Mengutip CME Fedwatch, kans penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1.5-1,75% pada bulan ini mencapai 90,3%. Padahal sepekan lalu kemungkinannya tidak sampai 50%, tepatnya 49,2%.
Penurunan suku bunga acuan yang hampir pasti terjadi membuat dolar AS semakin tidak seksi. Imbalan investasi di dolar AS, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi, menjadi semakin tipis.
Akibatnya, obligasi di negara-negara berkembang Asia yang menjanjikan cuan lebih besar menjadi buruan investor, salah satunya Indonesia. Kemarin, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun turun 1,5 bps. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Jadi walau aliran modal di pasar saham sedang mampet, di mana kemarin investor asing mencatatkan jual bersih Rp 795,59 miliar, tetapi di pasar obligasi masih deras. Ini membuat rupiah masih punya modal untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama berhasil bangkit setelah kemarin melemah cukup dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,47%, S&P 500 menguat 0,8%, dan Nasdaq Composite melonjak 1,12%.
Ada sejumlah faktor yang mendorong penguatan bursa saham New York. Pertama jelas technical rebound setelah kemarin anjlok lumayan parah. Bahkan dalam sepekan terakhir, DJIA masih melemah 2,31%, S&P 500 minus 1,73%, dan Nasdaq terkoreksi 0,85%. Artinya saham-saham di sana sudah relatif murah sehingga mendorong hasrat investor untuk melakukan aksi borong.
Kedua, bursa saham merespons probabilitas pemangkasan suku bunga acuan yang semakin tinggi. Penurunan suku bunga acuan memang berdampak negatif terhadap pasar obligasi AS, tetapi tidak pasar saham. Sebab penurunan suku bunga acuan akan menurunkan biaya dana dan investasi emiten-emiten di bursa, sehingga ada harapan laba bakal menggemuk.
Bahkan pasar memperkirakan Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega bisa saja menurunkan suku bunga acuan dua kali lagi hingga akhir tahun. Selain bulan ini, penurunan suku bunga diperkirakan kembali terjadi pada Desember dengan peluang 52%, menurut CME Fedwatch.
"Kita sedang dalam situasi genting. Ekonomi global melambat terutama karena ketidakpastian perdagangan. Namun pasar suka uang gampang (easy money), jadi ketika peluang ke arah sana semakin besar, maka pasar akan naik," kata Ben Phillips, Chief Investment Officer di EventShares, seperti diberitakan Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sentimen kedua, investor tetap harus waspada karena perekonomian AS jauh dari kata baik-baik saja. ISM melaporkan bahwa PMI jasa AS pada September berada di 52,6. Masih di atas 50, tetapi angka itu adalah yang terendah sejak Agustus 2016.
Sektor jasa mewakili lebih dari dua pertiga ekonomi AS. Jika sektor ini melambat, maka perekonomian AS juga terancam kehilangan lajunya bahkan bukan tidak mungkin sampai terkontraksi alias tumbuh negatif.
Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan bahwa klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 28 September naik 4.000 menjadi 219.000. Artinya, pasar tenaga kerja pun sudah mulai 'batuk-batuk'.
Oleh karena itu, risiko resesi di AS menjadi sesuatu yang tidak boleh disepelekan. The Fed New York memperkirakan probabilitas resesi terjadi pada Agustus 2020 adalah 37,93%. Kemungkinan itu adalah yang tertinggi sejak Maret 2008.
Kalau AS benar-benar sampai resesi, maka perekonomian dunia pasti akan terpukul. Bukan apa-apa, AS adalah perekonomian nomor satu dunia, konsumen terbesar di planet bumi. Saat permintaan di sana melambat, maka negara-negara lain jangan berharap ekspor dan investasi bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sentimen kedua, investor kemungkinan bakal wait and see karena ada rilis data penting di AS pada malam hari ini waktu Indonesia yaitu data ketenagakerjaan. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan ekonomi AS menciptakan 145.000 lapangan kerja pada September, membaik dibandingkan Agustus yaitu 130.000.
Data ini menjadi penting karena menjadi salah satu penentu dalam perumusan kebijakan moneter. Kalau penciptaan lapangan kerja membaik dan angka pengangguran turun, maka bisa jadi The Fed akan pikir-pikir dulu untuk menurunkan suku bunga acuan.
Namun jika sebaliknya, maka The Fed semakin yakin untuk menurunkan suku bunga acuan. Bahkan mungkin bisa dua kali lagi sampai akhir tahun ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
"Akhirnya setelah proses litigasi selama 15 tahun, WTO memutuskan AS berhak untuk menerapkan langkah balasan atas Uni Eropa. Kami bersiap untuk melakukan negosiasi dengan Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah ini dalam kerangka kepentingan terbaik bagi para pekerja di AS," kata Robert Lighthizer, Kepala Kantor Perwakilan Dagang AS, dalam keterangan tertulis.
AS menegaskan Uni Eropa tidak boleh membalas dengan ikut-ikutan menerapkan bea masuk. Sebab apa yang dilakukan AS sudah sesuai dengan putusan WTO.
"Tidak ada saling balas di sini. Sesuai dengan aturan WTO, yang kami patuhi, kami berhak melakukan ini dan mereka tidak boleh membalas," tegas Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.
Namun sudah pasti Eropa tidak akan tinggal diam. Kalau balas mengenakan bea masuk tidak diperbolehkan, maka Eropa akan mencari cara lain untuk 'mengerjai' AS.
"Apabila pemerintah AS menolak tangan yang sudah diulurkan Prancis dan Uni Eropa, maka kami akan menyiapkan sanksi," ungkap Bruno Le Maire, Menteri Keuangan Prancis, seperti diberitakan Reuters.
Perang dagang AS-China belum selesai, sekarang ada AS-Uni Eropa. Kalau semakin banyak negara yang saling hambat, maka arus perdagangan dunia akan macet.
Bank Dunia mencatat pertumbuhan perdagangan global pada kuartal II-2019 terkontraksi alias minus 1,4% year-on-year (YoY). Ini adalah yang terparah sejak krisis ekonomi 2008-2009.
"Belum terlihat adanya momentum positif pada paruh kedua 2019, perlambatan terjadi di mana-mana. Namun yang paling merasakannya adalah negara-negara di Asia Timur dan Pasifik, termasuk China," sebut laporan bulanan Bank Dunia edisi September.
Pertumbuhan ekonomi global sedang dipertaruhkan. Pada kuartal II-2019, Bank Dunia memperkirakan ekonomi global tumbuh 2,4% YoY, jauh di bawah puncak yang terjadi pada kuartal III-2017 yang sebesar 3,5%.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) September. Bank Indonesia (BI) mencatat IKK terus turun dalam tiga bulan terakhir. Bahkan pada Agustus, IKK yang sebesar 123,1 adalah yang terendah sejak November tahun lalu.
Jika IKK melemah lagi, maka bisa menjadi pertanda bahwa optimisme konsumen kian tergerus. Apabila penurunan optimisme ini disertai dengan menahan konsumsi, maka perlambatan ekonomi tidak dapat dihindari.
Sebelumnya, dunia usaha juga sudah terlihat menahan diri. Angka PMI manufaktur Indonesia pada September berada di 49,1. Sudah tiga bulan beruntun PMI manufaktur di bawah 50.
Ketika konsumen dan dunia usaha kompak tidak melakukan ekspansi, maka pertumbuhan ekonomi mustahil digenjot lebih kencang. Pertumbuhan ekonomi 5,3% seperti asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 hampir pasti tidak tercapai.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data penjualan ritel Australia periode September (08:30 WIB).
2. Pengumuman suku bunga acuan India (13:30 WIB).
3. Rilis data IKK Indonesia periode September (tentatif).
4. Rilis data ketenagakerjaan AS (19:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) finis di jalur merah dengan koreksi 0,28%. Hampir seluruh bursa saham utama Asia melemah, hanya Hang Seng yang selamat.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) malah menguat 0,14%. Kebalikan dari bursa saham, hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning menguat dan tinggal menyisakan yuan China yang masih terdepresiasi.
Pasar saham merespons berbagai sentimen negatif yang beredar kemarin. Pertama, masih ada kekhawatiran soal ancaman resesi di AS setelah rilis data aktivitas manufaktur yang mengecewakan.
Pada September, angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS versi Institute for Supply Management (ISM) adalah 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.
Angka PMI di bawah 50 menunjukkan industriawan tidak melakukan ekspansi. Selain itu, skor 47,8 adalah yang terendah sejak Juni 2009.
Kedua, investor mencemaskan risiko perang dagang AS vs Uni Eropa. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing.
Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun. Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar.
Aktivitas manufaktur yang terkontraksi plus perang dagang dengan Uni Eropa sangat berisiko membuat perekonomian AS melambat, bahkan bukan tidak mungkin jatuh ke jurang resesi. Oleh karena itu, pelaku pasar semakin yakin bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) bakal terus menerapkan kebijakan moneter longgar dengan menurunkan suku bunga acuan.
Mengutip CME Fedwatch, kans penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1.5-1,75% pada bulan ini mencapai 90,3%. Padahal sepekan lalu kemungkinannya tidak sampai 50%, tepatnya 49,2%.
Penurunan suku bunga acuan yang hampir pasti terjadi membuat dolar AS semakin tidak seksi. Imbalan investasi di dolar AS, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi, menjadi semakin tipis.
Akibatnya, obligasi di negara-negara berkembang Asia yang menjanjikan cuan lebih besar menjadi buruan investor, salah satunya Indonesia. Kemarin, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun turun 1,5 bps. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Jadi walau aliran modal di pasar saham sedang mampet, di mana kemarin investor asing mencatatkan jual bersih Rp 795,59 miliar, tetapi di pasar obligasi masih deras. Ini membuat rupiah masih punya modal untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama berhasil bangkit setelah kemarin melemah cukup dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,47%, S&P 500 menguat 0,8%, dan Nasdaq Composite melonjak 1,12%.
Ada sejumlah faktor yang mendorong penguatan bursa saham New York. Pertama jelas technical rebound setelah kemarin anjlok lumayan parah. Bahkan dalam sepekan terakhir, DJIA masih melemah 2,31%, S&P 500 minus 1,73%, dan Nasdaq terkoreksi 0,85%. Artinya saham-saham di sana sudah relatif murah sehingga mendorong hasrat investor untuk melakukan aksi borong.
Kedua, bursa saham merespons probabilitas pemangkasan suku bunga acuan yang semakin tinggi. Penurunan suku bunga acuan memang berdampak negatif terhadap pasar obligasi AS, tetapi tidak pasar saham. Sebab penurunan suku bunga acuan akan menurunkan biaya dana dan investasi emiten-emiten di bursa, sehingga ada harapan laba bakal menggemuk.
Bahkan pasar memperkirakan Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega bisa saja menurunkan suku bunga acuan dua kali lagi hingga akhir tahun. Selain bulan ini, penurunan suku bunga diperkirakan kembali terjadi pada Desember dengan peluang 52%, menurut CME Fedwatch.
"Kita sedang dalam situasi genting. Ekonomi global melambat terutama karena ketidakpastian perdagangan. Namun pasar suka uang gampang (easy money), jadi ketika peluang ke arah sana semakin besar, maka pasar akan naik," kata Ben Phillips, Chief Investment Officer di EventShares, seperti diberitakan Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan di Wall Street yang melegakan. Optimisme di New York diharapkan bisa menyeberang sampai ke Asia.
Sentimen kedua, investor tetap harus waspada karena perekonomian AS jauh dari kata baik-baik saja. ISM melaporkan bahwa PMI jasa AS pada September berada di 52,6. Masih di atas 50, tetapi angka itu adalah yang terendah sejak Agustus 2016.
Sektor jasa mewakili lebih dari dua pertiga ekonomi AS. Jika sektor ini melambat, maka perekonomian AS juga terancam kehilangan lajunya bahkan bukan tidak mungkin sampai terkontraksi alias tumbuh negatif.
Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan bahwa klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 28 September naik 4.000 menjadi 219.000. Artinya, pasar tenaga kerja pun sudah mulai 'batuk-batuk'.
Oleh karena itu, risiko resesi di AS menjadi sesuatu yang tidak boleh disepelekan. The Fed New York memperkirakan probabilitas resesi terjadi pada Agustus 2020 adalah 37,93%. Kemungkinan itu adalah yang tertinggi sejak Maret 2008.
Kalau AS benar-benar sampai resesi, maka perekonomian dunia pasti akan terpukul. Bukan apa-apa, AS adalah perekonomian nomor satu dunia, konsumen terbesar di planet bumi. Saat permintaan di sana melambat, maka negara-negara lain jangan berharap ekspor dan investasi bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sentimen kedua, investor kemungkinan bakal wait and see karena ada rilis data penting di AS pada malam hari ini waktu Indonesia yaitu data ketenagakerjaan. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan ekonomi AS menciptakan 145.000 lapangan kerja pada September, membaik dibandingkan Agustus yaitu 130.000.
Data ini menjadi penting karena menjadi salah satu penentu dalam perumusan kebijakan moneter. Kalau penciptaan lapangan kerja membaik dan angka pengangguran turun, maka bisa jadi The Fed akan pikir-pikir dulu untuk menurunkan suku bunga acuan.
Namun jika sebaliknya, maka The Fed semakin yakin untuk menurunkan suku bunga acuan. Bahkan mungkin bisa dua kali lagi sampai akhir tahun ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen ketiga adalah perkembangan perang dagang AS vs Uni Eropa. Washington akan mulai menerapkan bea masuk 10% untuk pesawat Airbus dan 25% untuk produk-produk seperti anggur (wine), scotch, wiski, serta keju dari Benua Biru. Bea masuk ini berlaku 18 Oktober.
"Akhirnya setelah proses litigasi selama 15 tahun, WTO memutuskan AS berhak untuk menerapkan langkah balasan atas Uni Eropa. Kami bersiap untuk melakukan negosiasi dengan Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah ini dalam kerangka kepentingan terbaik bagi para pekerja di AS," kata Robert Lighthizer, Kepala Kantor Perwakilan Dagang AS, dalam keterangan tertulis.
AS menegaskan Uni Eropa tidak boleh membalas dengan ikut-ikutan menerapkan bea masuk. Sebab apa yang dilakukan AS sudah sesuai dengan putusan WTO.
"Tidak ada saling balas di sini. Sesuai dengan aturan WTO, yang kami patuhi, kami berhak melakukan ini dan mereka tidak boleh membalas," tegas Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.
Namun sudah pasti Eropa tidak akan tinggal diam. Kalau balas mengenakan bea masuk tidak diperbolehkan, maka Eropa akan mencari cara lain untuk 'mengerjai' AS.
"Apabila pemerintah AS menolak tangan yang sudah diulurkan Prancis dan Uni Eropa, maka kami akan menyiapkan sanksi," ungkap Bruno Le Maire, Menteri Keuangan Prancis, seperti diberitakan Reuters.
Perang dagang AS-China belum selesai, sekarang ada AS-Uni Eropa. Kalau semakin banyak negara yang saling hambat, maka arus perdagangan dunia akan macet.
Bank Dunia mencatat pertumbuhan perdagangan global pada kuartal II-2019 terkontraksi alias minus 1,4% year-on-year (YoY). Ini adalah yang terparah sejak krisis ekonomi 2008-2009.
"Belum terlihat adanya momentum positif pada paruh kedua 2019, perlambatan terjadi di mana-mana. Namun yang paling merasakannya adalah negara-negara di Asia Timur dan Pasifik, termasuk China," sebut laporan bulanan Bank Dunia edisi September.
Pertumbuhan ekonomi global sedang dipertaruhkan. Pada kuartal II-2019, Bank Dunia memperkirakan ekonomi global tumbuh 2,4% YoY, jauh di bawah puncak yang terjadi pada kuartal III-2017 yang sebesar 3,5%.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) September. Bank Indonesia (BI) mencatat IKK terus turun dalam tiga bulan terakhir. Bahkan pada Agustus, IKK yang sebesar 123,1 adalah yang terendah sejak November tahun lalu.
Jika IKK melemah lagi, maka bisa menjadi pertanda bahwa optimisme konsumen kian tergerus. Apabila penurunan optimisme ini disertai dengan menahan konsumsi, maka perlambatan ekonomi tidak dapat dihindari.
Sebelumnya, dunia usaha juga sudah terlihat menahan diri. Angka PMI manufaktur Indonesia pada September berada di 49,1. Sudah tiga bulan beruntun PMI manufaktur di bawah 50.
Ketika konsumen dan dunia usaha kompak tidak melakukan ekspansi, maka pertumbuhan ekonomi mustahil digenjot lebih kencang. Pertumbuhan ekonomi 5,3% seperti asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 hampir pasti tidak tercapai.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data penjualan ritel Australia periode September (08:30 WIB).
2. Pengumuman suku bunga acuan India (13:30 WIB).
3. Rilis data IKK Indonesia periode September (tentatif).
4. Rilis data ketenagakerjaan AS (19:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019 YoY) | 5,05% |
Inflasi (September 2019 YoY) | 3,39 |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2019) | 5,25% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q II-2019) | -3,04% PDB |
Neraca pembayaran (Q II-2019) | -US$ 1,98 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2019) | US$ 126,44 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular