
AS vs Uni Eropa Panaskan Suasana, Bursa Saham Asia Berguguran
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 October 2019 17:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia menutup perdagangan hari ini, Kamis (3/10/2019), di zona merah: indeks Nikkei turun 2,01%, indeks Straits Times melemah 0,5%, sementara indeks Hang Seng menguat 0,26%.
Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham China diliburkan guna memperingati 70 tahun lahirnya Republik Rakyat China, sementara perdagangan di bursa saham Korea Selatan diliburkan guna memperingati National Foundation Day.
Perang dagang AS-Uni Eropa menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Belum juga perang dagang AS-China beres, kini AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia malah memanaskan hubungan dagang dengan blok ekonomi terbesar di dunia.
Kemarin (2/10/2019), Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan tambahan bea masuk. Tambahan bea masuk tersebut terbagi dalam dua level, yakni 10% dan 25%. Pesawat terbang, kopi, daging babi, hingga mentega termasuk ke dalam daftar produk yang disasar AS.
Daftar produk tersebut dirilis pasca AS memenangkan gugatan di World Trade Organization (WTO). AS menggugat Uni Eropa ke WTO lantaran Uni Eropa dianggap telah memberikan subsidi secara ilegal kepada Airbus, pabrikan pesawat terbang asal Benua Biru. Dampak dari subsidi ilegal tersebut adalah pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.
WTO memberikan hak kepada pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 7,5 miliar. Melansir CNBC International, hingga kini belum jelas berapa nilai dari produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan bea masuk tambahan oleh AS, apakah itu US$ 7,5 miliar atau kurang dari itu.
Berang dengan keputusan AS, Uni Eropa membuka ruang untuk membebankan bea masuk balasan terhadap produk impor asal AS.
Wajar jika perang dagang AS-Uni Eropa menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku pasar. Pasalnya, Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar dari AS. Pada tahun 2018, AS mengekspor barang senilai US$ 319 miliar ke negara-negara Uni Eropa. Sementara itu, AS diketahui mengimpor barang dari Uni Eropa senilai US$ 488 miliar pada tahun 2018, menjadikan Uni Eropa penyuplai barang terbesar kedua bagi AS.
Dengan langkah pemerintah AS yang galak terhadap Uni Eropa, peluang terjadinya resesi di AS tentu bertambah besar. Sebelumnya, kekhawatiran bahwa AS akan masuk ke jurang resesi telah sangat terasa seiring dengan rilis data ekonominya yang begitu mengecewakan.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Mengingat AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi, pastilah resesi di sana (jika benar terjadi) akan membawa dampak yang sangat signifikan bagi perekonomian dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Dihadapkan Pada Perang Dagang AS-Uni Eropa, Bursa Asia Keok!
Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham China diliburkan guna memperingati 70 tahun lahirnya Republik Rakyat China, sementara perdagangan di bursa saham Korea Selatan diliburkan guna memperingati National Foundation Day.
Perang dagang AS-Uni Eropa menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Belum juga perang dagang AS-China beres, kini AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia malah memanaskan hubungan dagang dengan blok ekonomi terbesar di dunia.
Daftar produk tersebut dirilis pasca AS memenangkan gugatan di World Trade Organization (WTO). AS menggugat Uni Eropa ke WTO lantaran Uni Eropa dianggap telah memberikan subsidi secara ilegal kepada Airbus, pabrikan pesawat terbang asal Benua Biru. Dampak dari subsidi ilegal tersebut adalah pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.
WTO memberikan hak kepada pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 7,5 miliar. Melansir CNBC International, hingga kini belum jelas berapa nilai dari produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan bea masuk tambahan oleh AS, apakah itu US$ 7,5 miliar atau kurang dari itu.
Berang dengan keputusan AS, Uni Eropa membuka ruang untuk membebankan bea masuk balasan terhadap produk impor asal AS.
Wajar jika perang dagang AS-Uni Eropa menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku pasar. Pasalnya, Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar dari AS. Pada tahun 2018, AS mengekspor barang senilai US$ 319 miliar ke negara-negara Uni Eropa. Sementara itu, AS diketahui mengimpor barang dari Uni Eropa senilai US$ 488 miliar pada tahun 2018, menjadikan Uni Eropa penyuplai barang terbesar kedua bagi AS.
Dengan langkah pemerintah AS yang galak terhadap Uni Eropa, peluang terjadinya resesi di AS tentu bertambah besar. Sebelumnya, kekhawatiran bahwa AS akan masuk ke jurang resesi telah sangat terasa seiring dengan rilis data ekonominya yang begitu mengecewakan.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Mengingat AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi, pastilah resesi di sana (jika benar terjadi) akan membawa dampak yang sangat signifikan bagi perekonomian dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Dihadapkan Pada Perang Dagang AS-Uni Eropa, Bursa Asia Keok!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular