
Newsletter
Resesi dan Perang Dagang di Depan Mata, Siapkan Payung Ya...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 October 2019 04:33

Namun, sepertinya hari ini pasar keuangan Asia akan memulai hari dengan mood yang jelek karena ada kabar buruk dari Wall Street. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,86%, S&P 500 amblas 1,79%, dan Nasdaq Composite ambrol 1,56%.
Seperti kemarin, bursa saham New York masih mencemaskan aktivitas manufaktur AS yang menyentuh titik terlemah dalam 10 tahun terakhir. Bayang-bayang resesi semakin besar dan membuat pelaku pasar panik.
Saat ini pasar sudah menilai sektor manufaktur AS memasuki resesi. Meski ekonomi secara keseluruhan masih tumbuh positif, tetapi PMI adalah salah satu leading indicator utama yang menunjukkan arah perekonomian ke depan. Artinya, risiko resesi di AS memang boleh dibilang semakin nyata.
Investor juga menantikan rilis data lanjutan dari ISM yaitu PMI sektor jasa yang akan keluar besok. Namun biasanya sektor jasa bergerak searah dengan manufaktur, dan kalau itu terjadi maka prospek ekonomi Negeri Adidaya bakal semakin suram.
"(PMI manufaktur) membuat kita berada dalam situasi bahwa data besok menjadi sesuatu yang sangat dinanti. Kalau (PMI jasa) tidak mendukung, maka kita akan melihat sell-off (penjualan besar-besaran)," tegas Phil Blancanto, CEO di Ladenburg Thalmann Asset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi yang mungkin berujung kepada resesi dipertegas oleh rilis data ketenagakerjaan dari ADP. Ini menjadi gambaran awal terhadap data ketenagakerjaan resmi yang akan dirilis pemerintah AS akhir pekan ini.
ADP melihat penciptaan lapangan kerja di Negeri Paman Sam pada September adalah 135.000. Turun dibandingkan posisi Agustus yang sebanyak 157.000 dan berada di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 140.000.
"Pasar sudah memperkirakan kondisi bearish. Data-data seperti dari ADP meningkatkan risiko ke bawah (downside risk)," ujar Tom Plumb, Chief Investment Officer di Plumb Funds yang berbasis di Wisconsin, seperti diberitakan Reuters.
Situasi diperparah dengan potensi perang dagang. Kali ini bukan AS vs China, tetapi AS vs Uni Eropa. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing.
Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun. Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar.
Jadi, bersiap lah untuk drama perang dagang edisi terbaru. Kali ini lakonnya bukan AS vs China, melainkan AS vs Eropa...
Baca: Perang Dagang AS vs Uni Eropa di Depan Mata, Kok Bisa?
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Seperti kemarin, bursa saham New York masih mencemaskan aktivitas manufaktur AS yang menyentuh titik terlemah dalam 10 tahun terakhir. Bayang-bayang resesi semakin besar dan membuat pelaku pasar panik.
Saat ini pasar sudah menilai sektor manufaktur AS memasuki resesi. Meski ekonomi secara keseluruhan masih tumbuh positif, tetapi PMI adalah salah satu leading indicator utama yang menunjukkan arah perekonomian ke depan. Artinya, risiko resesi di AS memang boleh dibilang semakin nyata.
Investor juga menantikan rilis data lanjutan dari ISM yaitu PMI sektor jasa yang akan keluar besok. Namun biasanya sektor jasa bergerak searah dengan manufaktur, dan kalau itu terjadi maka prospek ekonomi Negeri Adidaya bakal semakin suram.
"(PMI manufaktur) membuat kita berada dalam situasi bahwa data besok menjadi sesuatu yang sangat dinanti. Kalau (PMI jasa) tidak mendukung, maka kita akan melihat sell-off (penjualan besar-besaran)," tegas Phil Blancanto, CEO di Ladenburg Thalmann Asset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi yang mungkin berujung kepada resesi dipertegas oleh rilis data ketenagakerjaan dari ADP. Ini menjadi gambaran awal terhadap data ketenagakerjaan resmi yang akan dirilis pemerintah AS akhir pekan ini.
ADP melihat penciptaan lapangan kerja di Negeri Paman Sam pada September adalah 135.000. Turun dibandingkan posisi Agustus yang sebanyak 157.000 dan berada di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 140.000.
"Pasar sudah memperkirakan kondisi bearish. Data-data seperti dari ADP meningkatkan risiko ke bawah (downside risk)," ujar Tom Plumb, Chief Investment Officer di Plumb Funds yang berbasis di Wisconsin, seperti diberitakan Reuters.
Situasi diperparah dengan potensi perang dagang. Kali ini bukan AS vs China, tetapi AS vs Uni Eropa. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing.
Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun. Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar.
Jadi, bersiap lah untuk drama perang dagang edisi terbaru. Kali ini lakonnya bukan AS vs China, melainkan AS vs Eropa...
Baca: Perang Dagang AS vs Uni Eropa di Depan Mata, Kok Bisa?
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular