Newsletter

Lantas, AS-China Jadi Ketemuan Gak Nih?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 August 2019 06:59
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, tentunya kinerja Wall Street yang oke pada perdagangan kemarin. Mengingat posisi Wall Street selaku kiblat dari pasar saham dunia, patut diharapkan bahwa apresiasi yang dibukukan di sana akan menjalar ke kawasan Asia, termasuk Indonesia.

Kedua, pelaku pasar patut mencermati dinamika yang mewarnai perang dagang AS-China. Walaupun ada perkembangan yang positif, pelaku pasar tetap harus berhati-hati.

Pasalnya, walau tak menyebut secara gamblang, kemungkinan kondisi yang diinginkan China untuk kembali ke meja perundingan adalah AS membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal Negeri Panda.

Agaknya, sulit untuk mengharapkan AS melunak seperti yang diinginkan China sehingga negosiasi dagang tatap muka kedua belah pihak besar kemungkinan akan batal digelar. Sejauh ini, belum ada tanda-tanda bahwa AS akan melunak terkait masalah ini.

Sejauh ini, AS masih berencana untuk mengenakan bea masuk senilai 15% atas produk impor senilai US$ 112 miliar yang meninggalkan China mulai tanggal 1 September. Produk-produk yang akan terpengaruh dengan kebijakan ini di antaranya adalah pakaian, sepatu, dan televisi.

Jika AS tetap kekeh untuk mengeksekusi bea masuk baru bagi produk-produk impor asal China pada awal bulan depan, yang ada justru pihak China pada akhirnya bisa terpancing untuk kembali meluncurkan balasan. 

Jika ini yang terjadi, dipastikan laju perekonomian kedua negara akan semakin tertekan. Pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

Masuk ke sentimen ketiga yang harus dicermati pelaku pasar, bukan tak mungkin perekonomian AS akan masuk ke jurang resesi. Setidaknya, itulah yang saat ini sedang dikhawatirkan pelaku pasar. 

Lima hari beruntun sudah imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun, berdasarkan data dari Refinitiv. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.


Sentimen keempat yang harus dicermati pelaku pasar menjelang akhir pekan adalah terkait keperkasaan dolar AS. Hingga berita ini diturunkan, indeks dolar AS membukukan penguatan sebesar 0,24%.

Agak memudarnya ekspektasi terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang sangat signifikan oleh The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS menjadi bensin yang memotori penguatan greenback.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 29 Agustus 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps di sisa tahun ini turun menjadi 30,1%, dari posisi sehari sebelumnya yang sebesar 35,1%. 

Rilis pembacaan kedua atas angka pertumbuhan ekonomi AS yang mampu menyamai ekspektasi para ekonom, walaupun memang ada perlambatan jika dibandingkan pembacaan pertama, membuat pelaku pasar meyakini bahwa sejatinya tak dibutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang kelewat signifikan dari The Fed guna menopang laju perekonomian.

Jika dolar AS terus perkasa pada hari ini, tentu rupiah menjadi rawan untuk digoyang. Ketika ini yang terjadi, investor asing bisa melego saham dan obligasi di tanah air guna menghindari yang namanya kerugian kurs.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Simak Data dan Agenda Berikut

(ank)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular