Newsletter

Lantas, AS-China Jadi Ketemuan Gak Nih?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 August 2019 06:59
Lantas, AS-China Jadi Ketemuan Gak Nih?
Foto: Pertemuan G-20 Trump-Xi (REUTERS/Kevin Lamarque)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan bervariasi pada perdagangan kemarin (29/8/2019): Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,12% ke level 6.289,12, rupiah menguat 0,11% di pasar spot ke level Rp 14.235/dolar AS, sementara imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun naik 2,2 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

IHSG berhasil menguat kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia justru berguguran: indeks Nikkei turun 0,09%, indeks Shanghai jatuh 0,1%, dan indeks Kospi berkurang 0,4%.

Pelaku pasar saham Benua Kuning dibuat grogi lantaran hubungan AS-China di bidang perdagangan akan segera kembali memanas. Pasalnya, kita semakin dekat ke tanggal 1 September yang merupakan tanggal penerapan bea masuk baru oleh AS dan China terhadap produk impor dari masing-masing negara.

Sekedar mengingatkan, menjelang akhir pekan kemarin China mengumumkan bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.

AS pun merespons dengan mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

Sebelumnya, hubungan kedua negara sudah memanas kala China berang dengan klaim sepihak yang dilakukan oleh Presiden AS Donald Trump.

Berbicara di hadapan reporter di sela-sela pertemuan dengan para pimpinan negara-negara Group of Seven (G-7) di Prancis, Trump menyebut bahwa kedua negara akan mulai berbincang dengan sangat serius.

"China menelepon delegasi tingkat tinggi kami di bidang perdagangan tadi malam dan mengatakan 'mari kembali ke meja perundingan' sehingga kami akan melakukannya dan saya rasa mereka ingin melakukan sesuatu. Mereka telah sangat tersakiti namun mereka sadar bahwa inilah langkah yang tepat untuk dilakukan dan saya memiliki rasa hormat yang besar untuk itu. Ini adalah perkembangan yang sangat positif untuk dunia," kata Trump, dilansir dari CNBC International.

Namun kemudian, pihak China membantah bahwa pembicaraan via sambungan telepon itu dilakukan. Pada Selasa (27/8/2019) malam waktu setempat, China kembali buka suara. China kembali menegaskan bahwa perbincangan melalui sambungan telepon yang dibangga-banggakan oleh Trump tersebut tidak pernah terjadi.

"Saya belum mendengar kejadian terkait dua sambungan telepon yang disebut oleh pihak AS pada akhir pekan," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Kepala China Masih Dingin, Wall Street Tancap Gas

Beralih ke AS, Wall Street mencetak apresiasi pada perdagangan kemarin: indeks Dow Jones melesat 1,25%, indeks S&P 500 menguat 1,27%, dan indeks Nasdaq Composite naik 1,48%.

Peluang digelarnya negosiasi dagang AS-China secara tatap muka membuat aksi beli dilakukan oleh pelaku pasar saham Negeri Paman Sam.

Kemarin, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa AS dan China sedang mendiskusikan pertemuan tatap muka yang dijadwalkan untuk bulan September.

Jadi-tidaknya negosiasi dagang tatap muka tersebut akan ditentukan oleh apakah AS bisa menciptakan kondisi yang baik untuk negosiasi dagang tatap muka tersebut, seperti dilansir dari Reuters. Kementerian Perdagangan China tak memberi informasi lebih lanjut terkait dengan kondisi yang mereka maksud tersebut.

“Hal yang terpenting pada saat ini adalah untuk menciptakan kondisi yang baik untuk kedua belah pihak melanjutkan negosiasi,” kata Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng, dilansir dari Reuters.

Gao juga menyebut bahwa China ingin untuk menyelesaikan sengketa dagang kedua negara dengan ketenangan dan bahwa pihaknya tidak menginginkan eskalasi tensi AS-China lebih lanjut, dilansir dari CNBC International.

“Kami dengan tegas menolak eskalasi perang dagang dan ingin bernegosiasi dan berkolaborasi untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan sikap yang tenang,” kata Gao, sembari menambahkan bahwa delegasi China dan AS telah menjaga komunikasi yang efektif.

Pernyataan dari pihak China tersebut membuat pelaku pasar lega lantaran sebelumnya ada kekhawatiran bahwa AS dan China akan sama-sama all-in dalam menghadapi perang dagang yang sudah berlangsung selama lebih dari satu setengah tahun tersebut. Apalagi, sebelumnya Trump sempat memerintahkan perusahaan-perusahaan asal AS untuk meninggalkan China.

"Perusahaan-perusahaan hebat asal AS dengan ini diperintahkan untuk segera mulai mencari alternatif atas China, termasuk membawa perusahaan-perusahaan Anda pulang dan membuat produk-produk Anda di AS," cetus Trump melalui akun Twitter beberapa waktu yang lalu.

Lebih lanjut, rilis angka pertumbuhan ekonomi AS yang relatif menggembirakan ikut memantik aksi beli di bursa saham AS. Kemarin, pembacaan kedua atas angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal-II 2019 diumumkan di level 2% (QoQ annualized). Memang, ada pelemahan jika dibandingkan dengan pembacaan awal yang sebesar 2,1%, namun sesuai dengan ekspektasi dari para ekonom, seperti dilansir dari Forex Factory.

Walaupun ada perang dagang dengan China yang membuat harga-harga di AS menjadi lebih mahal, ternyata konsumsi masyarakat AS masih kuat. Pada kuartal II-2019, konsumsi rumah tangga membukukan pertumbuhan tertinggi dalam empat setengah tahun, yakni sebesar 4,7%.

Pada kuartal III-2019, konsumsi masyarakat AS tampak masih akan tumbuh pesat. Sebelumnya pada hari Selasa, indeks keyakinan konsumen AS periode Agustus 2019 diumumkan di level 135,1 oleh The Conference Board, jauh mengalahkan ekspektasi yang sebesar 129,3, seperti dilansir dari Forex Factory.

Tingginya angka IKK menunjukkan bahwa masyarakat AS memandang dengan sangat positif perekonomian di sana, serta mengindikasikan bahwa mereka akan mengeluarkan uang dalam jumlah yang lebih besar untuk aktivitas konsumsi.

Mengingat lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga, tentu tingginya indeks keyakinan konsumen menjadi kabar baik bagi perekonomian Negeri Paman Sam, sekaligus perekonomian dunia. 

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, tentunya kinerja Wall Street yang oke pada perdagangan kemarin. Mengingat posisi Wall Street selaku kiblat dari pasar saham dunia, patut diharapkan bahwa apresiasi yang dibukukan di sana akan menjalar ke kawasan Asia, termasuk Indonesia.

Kedua, pelaku pasar patut mencermati dinamika yang mewarnai perang dagang AS-China. Walaupun ada perkembangan yang positif, pelaku pasar tetap harus berhati-hati.

Pasalnya, walau tak menyebut secara gamblang, kemungkinan kondisi yang diinginkan China untuk kembali ke meja perundingan adalah AS membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal Negeri Panda.

Agaknya, sulit untuk mengharapkan AS melunak seperti yang diinginkan China sehingga negosiasi dagang tatap muka kedua belah pihak besar kemungkinan akan batal digelar. Sejauh ini, belum ada tanda-tanda bahwa AS akan melunak terkait masalah ini.

Sejauh ini, AS masih berencana untuk mengenakan bea masuk senilai 15% atas produk impor senilai US$ 112 miliar yang meninggalkan China mulai tanggal 1 September. Produk-produk yang akan terpengaruh dengan kebijakan ini di antaranya adalah pakaian, sepatu, dan televisi.

Jika AS tetap kekeh untuk mengeksekusi bea masuk baru bagi produk-produk impor asal China pada awal bulan depan, yang ada justru pihak China pada akhirnya bisa terpancing untuk kembali meluncurkan balasan. 

Jika ini yang terjadi, dipastikan laju perekonomian kedua negara akan semakin tertekan. Pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

Masuk ke sentimen ketiga yang harus dicermati pelaku pasar, bukan tak mungkin perekonomian AS akan masuk ke jurang resesi. Setidaknya, itulah yang saat ini sedang dikhawatirkan pelaku pasar. 

Lima hari beruntun sudah imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun, berdasarkan data dari Refinitiv. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.


Sentimen keempat yang harus dicermati pelaku pasar menjelang akhir pekan adalah terkait keperkasaan dolar AS. Hingga berita ini diturunkan, indeks dolar AS membukukan penguatan sebesar 0,24%.

Agak memudarnya ekspektasi terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang sangat signifikan oleh The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS menjadi bensin yang memotori penguatan greenback.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 29 Agustus 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps di sisa tahun ini turun menjadi 30,1%, dari posisi sehari sebelumnya yang sebesar 35,1%. 

Rilis pembacaan kedua atas angka pertumbuhan ekonomi AS yang mampu menyamai ekspektasi para ekonom, walaupun memang ada perlambatan jika dibandingkan pembacaan pertama, membuat pelaku pasar meyakini bahwa sejatinya tak dibutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang kelewat signifikan dari The Fed guna menopang laju perekonomian.

Jika dolar AS terus perkasa pada hari ini, tentu rupiah menjadi rawan untuk digoyang. Ketika ini yang terjadi, investor asing bisa melego saham dan obligasi di tanah air guna menghindari yang namanya kerugian kurs.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Simak Data dan Agenda Berikut

Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:

  • Rilis data tingkat pengangguran Jepang periode Juli 2019 (06:30 WIB)
  • Rilis pembacaan awal atas data pertumbuhan produksi industri Jepang periode Juli 2019 (06:50 WIB)
  • Rilis data pertumbuhan penjualan barang-barang ritel Jepang periode Juli 2019 (06:50 WIB)
  • Rilis angka tingkat suku bunga acuan Korea Selatan (08:00 WIB)
  • Rilis data pertumbuhan penjualan barang-barang ritel Hong Kong periode Juli 2019 (15:30 WIB)
  • Rilis data pertumbuhan belanja konsumen AS (consumer spending) periode Juli 2019 (19:30 WIB)
  • Rilis data Core Personal Consumption Expenditures (PCE) Price Index AS periode Juli 2019 (19:30 WIB)


Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

Perusahaan

Jenis Kegiatan

Waktu

PT Century Textile Industry Tbk (CNTB)

RUPSLB

09:30 WIB

PT Asuransi Ramayana Tbk (ASRM)

RUPSLB

14:00 WIB

PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI)

RUPSLB

14:00 WIB

PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS)

RUPSLB

14:00 WIB

 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019)

5,05% YoY

Inflasi (Juli 2019)

3,32% YoY

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019)

5,5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q II-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q II-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Juli 2019)

US$ 125,9 miliar

 TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular