
Newsletter
Gawat, China Sudah Ngegas Lagi & Gaung Resesi Kian Terdengar!
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 August 2019 06:43

Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, tentunya kinerja Wall Street yang mengecewakan pada perdagangan kemarin. Mengingat posisi Wall Street selaku kiblat dari pasar saham dunia, patut diduga bahwa koreksi yang dibukukan di sana akan menjalar ke kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Kedua, pelaku pasar patut mencermati dinamika yang mewarnai perang dagang AS-China. Seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, China membantah klaim dari Trump dengan menegaskan bahwa perbincangan melalui sambungan telepon yang dibangga-banggakan oleh Trump tidak pernah terjadi.
China justru mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan AS yang kembali menetapkan bea masuk yang lebih tinggi bagi importasi produk asal China. Menurut Beijing, langkah AS tersebut sama sekali tak konstruktif.
“Sangat disayangkan bahwa AS telah lebih lanjut menaikkan bea masuk bagi produk ekspor China ke AS. Tekanan yang ekstrim ini benar-benar berbahaya bagi kedua belah pihak dan sama sekali tidak konstruktif,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.
Bisa jadi, dalam waktu dekat perang dagang kedua negara akan kembali tereskalasi dan membuat laju perekonomian kedua negara, berikut dunia, mengalami yang namanya hard landing.
Pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,331%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,871% saja.
Bahkan, eskalasi perang dagang AS-China bisa membawa perekonomian AS jatuh ke jurang resesi. Berbicara mengenai resesi, kita masuk ke sentimen ketiga yang harus dicermati pelaku pasar.
Dalam beberapa waktu terakhir, yield obligasi AS tenor 2 tahun sempat beberapa kali bergerak melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.
Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
CNBC International mencatat, pada perdagangan kemarin inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Pada satu titik, yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 5 bps, menandai inversi terparah sejak tahun 2007.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Simak Data dan Agenda Berikut (ank)
Kedua, pelaku pasar patut mencermati dinamika yang mewarnai perang dagang AS-China. Seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, China membantah klaim dari Trump dengan menegaskan bahwa perbincangan melalui sambungan telepon yang dibangga-banggakan oleh Trump tidak pernah terjadi.
China justru mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan AS yang kembali menetapkan bea masuk yang lebih tinggi bagi importasi produk asal China. Menurut Beijing, langkah AS tersebut sama sekali tak konstruktif.
“Sangat disayangkan bahwa AS telah lebih lanjut menaikkan bea masuk bagi produk ekspor China ke AS. Tekanan yang ekstrim ini benar-benar berbahaya bagi kedua belah pihak dan sama sekali tidak konstruktif,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.
Bisa jadi, dalam waktu dekat perang dagang kedua negara akan kembali tereskalasi dan membuat laju perekonomian kedua negara, berikut dunia, mengalami yang namanya hard landing.
Pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,331%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,871% saja.
Bahkan, eskalasi perang dagang AS-China bisa membawa perekonomian AS jatuh ke jurang resesi. Berbicara mengenai resesi, kita masuk ke sentimen ketiga yang harus dicermati pelaku pasar.
Dalam beberapa waktu terakhir, yield obligasi AS tenor 2 tahun sempat beberapa kali bergerak melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.
Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
CNBC International mencatat, pada perdagangan kemarin inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Pada satu titik, yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 5 bps, menandai inversi terparah sejak tahun 2007.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Simak Data dan Agenda Berikut (ank)
Next Page
Simak Data dan Agenda Berikut
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular