
Newsletter
Sudah Siap Hadapi Rilis Pertumbuhan Ekonomi RI Q2-2019?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
05 August 2019 06:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia melemah pada perdagangan akhir pekan lalu (2/8/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,65% ke level 6.340,18, kurs rupiah terhadap dolar AS terkoreksi 0,46% menjadi Rp 14.175/US$, sementara imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) tenor acuan 10 tahun naik 6,4 basis poin (bps) menjadi 7,54%.
Sebagai informasi, pergerakan yield dan harga di pasar obligasi berbanding terbalik. Kala yield naik, artinya pasar sedang diterpa aksi jual akibat sepi peminat. Berlaku pula sebaliknya. Yield juga lebih sering digunakan sebagai acuan transaksi obligasi karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Penyebab utama pelemahan di pasar keuangan dalam negeri adalah eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China yang sudah di depan mata. Pada hari Kamis (1/8/2019) Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk sebesar 10% atas produk impor asal China senilai US$ 300 miliar. Produk-produk tersebut sebelumnya bukan objek dari perang dagang.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," tulis Trump melalui akun Twitter pribadinya.
Atas keputusan Trump tersebut, sebagian pelaku pasar agak terkejut. Pasalnya, tim negosiator kedua negara baru saja selesai melakukan diskusi tatap muka yang dimulai sejak awal pekan di Shanghai. Kedua belah pihak juga sempat mendeskripsikan bahwa negosiasi dagang yang berlangsung selama dua hari tersebut berlangsung konstruktif, meskipun sama-sama tidak mengumumkan langkah konkret apapun.
Namun ada pula pelaku pasar yang sudah mencium aroma tak sedap dari perundingan tersebut, ditandai dengan berakhirnya perundingan lebih cepat dari jadwal yang direncanakan. Selain itu ada pula pernyataan dari kedua pihak yang saling bertolak belakang.
Pihak AS sempat menyebut bahwa China kembali menyatakan komitmennya untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang lebih besar, sementara pihak China hanya menyebut bahwa delegasi kedua negara mendiskusikan hal tersebut tanpa menyebut adanya komitmen apapun.
Namun tetap saja, cuitan Trump membuat pasar keuangan geger. Seluruh bursa saham utama kawasan Asia menutup perdagangan hari di zona merah pada hari Jumat (2/8/2019). Indeks Nikkei anjlok 2,11%, indeks Shanghai ambruk 1,41%, indeks Hang Seng jatuh 2,35%, indeks Straits Times turun 0,93%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,95%.
Kini, China tengah bersiap untuk melakukan 'serangan balasan'. Beijing menyebut bahwa pihaknya tak akan tinggal diam menghadapi "pemerasan" yang dilakukan AS.
"Jika AS benar mengeksekusi bea masuk tersebut maka China harus meluncurkan kebijakan balasan yang diperlukan guna melindungi kepentingan-kepentingan kami yang mendasar," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, dilansir dari Reuters.
Meski demikian, dalam sepekan IHSG masih mampu menguat 0,26%. Sementara nilai tukar rupiah melemah 1,26% dan yield SUN tenor acuan 10 tahun naik 32,8 basis poin.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>> Senada dengan pasar keuangan Benua Kuning, tiga indeks utama Wall Street juga semerah darah pada perdagangan akhir pekan lalu (2/8/2019). Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,37%, S&P 500 terkoreksi 0,73%, dan Nasdaq Composite anjlok 1,32%.
Pelemahan tersebut mengantarkan DJIA ke level terendah sejak akhir Juni. Sementara S&P 500 dan Nasdaq Composite tercatat melemah selama lima hari berturut-turut.
Sama halnya dengan kondisi pasar keuangan di hampir seluruh dunia, bursa saham AS juga terpapar sentimen negatif dari eskalasi perang dagang AS-China yang telah disebutkan sebelumnya. Trump sudah mengancam akan mengenakan tarif baru per 1 September. Kecuali China berhasil meneken kesepakatan dengan AS, eskalasi perang dagang sulit untuk dihindari.
Namun tampaknya kecil kemungkinan kedua negara untuk mencapai kesepakatan sebelum 1 September. Karena berdasarkan rencana awal, perundingan baru akan dilakukan pada bulan September.
Bila sampai benar kejadian (eskalasi), analis memperkirakan risiko resesi ekonomi AS akan semakin besar. "Jika dia [Trump] menindaklanjuti ancaman tersebut, maka ancaman resesi akan meningkat," ujar Mark Zandi, kepala ekonom Moody's Analytics. Resesi merupakan kondisi di mana pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi alias negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
Risiko yang membesar itu membuat investor global memburu US Treasury, nama lain obligasi pemerintah AS, karena dianggap sebagai aset yang lebih aman (safe haven instrument) dibanding aset di pasar keuangan yang lain terutama pasar saham. Data Refinitiv menunjukkan yield US Treasury seri acuan 10 tahun turun 3,7 basis poin pada hari Jumat (2/8/2019) ke level 1,85% yang merupakan posisi terendah sejak 9 November 2016.
Penurunan yield obligasi pemerintah AS menunjukkan bahwa kekhawatiran investor akan kondisi ekonomi ke depan semakin membuncah.
Namun di lain pihak, eskalasi perang dagang juga dapat mendorong Bank Sentral AS, The Federal Reserves (The Fed) untuk lebih agresif dalam menurunkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR).
Sebelumnya, pelaku pasar sudah dibuat kecewa dan terkejut oleh sikap yang diambil oleh The Fed. Pasalnya ada hari Rabu (31/7/2019) Gubernur The Fed, Jerome Powell, mengumumkan penurunan target suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi ke kisaran 2-2,25% sambil berpidato dengan nada-nada yang tidak lagi kalem (dovish).
"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif," kata Powell, dilansir dari CNBC International.
"Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat."
Kini pelaku pasar masih mencermati arah kebijakan yang akan bisa diambil oleh The Fed ke depan. Boleh jadi Powell dan kawan-kawan jadi lebih berani untuk mengambil langkah tegas untuk melonggarkan kebijakan moneter.
Mengutip CME Fedwatch pada akhir perdagangan Jumat (2/8/2019) kemungkinan The Fed menurunkan suku bunga ke kisaran 1,5-1,75% (turun 50 basis poin dari posisi sekarang) hingga akhir tahun 2019 mencapai 50,2% atau melesat dari posisi sehari sebelumnya yang hanya 36,9%.
Akan tetapi jika pada keberjalanannya Powell tetap memasang sikap yang agak galak (hawkish), boleh jadi perekonomian AS akan terpukul cukup keras.
BERLANJUT KE HALAMAN 3>>> Untuk perdagangan awal pekan ini (5/8/2019), investor patut mencermati sejumlah sentimen yang berpotensi menjadi penentu arah gerak pasar.
Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 pada pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi Tanah Air tumbuh 5,05% year-on-year (YoY). Konsensus pasar versi Reuters pun menghasilkan angka serupa.
Jika terwujud, maka ekonomi kuartal II-2019 sedikit melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 5,07%.
Sementara pada kuartal I-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh di level 5,07% secara tahunan, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19%.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk investor di pasar keuangan. Pasalnya pertumbuhan ekonomi sedikit banyak akan menentukan kinerja para emiten yang ujungnya berdampak pada keuntungan investor.
Apabila Indonesia semakin menampakkan perlambatan ekonominya, maka sulit bagi investor untuk tetap mempertahankan portofolio investasi di Indonesia. Mereka akan mencari 'inang' baru yang lebih menguntungkan.
Kedua, investor juga perlu untuk mencermati perkembangan dari perang dagang AS-China. Sebagaimana yang telah diketahui, China masih belum mengumumkan aksi balasan yang akan diambil atas ancaman pengenaan tarif baru oleh Donald Trump.
Jika benar China naik pitam dan langsung mengumumkan tarif balasan terhadap produk impor asal AS, maka pintu negosiasi akan semakin tertutup. Sekali lagi dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia akan saling hambat urusan perdagangan.
Kala hal itu terjadi, maka seluruh dunia akan merasakan dampaknya. Rantai pasokan global akan terhambat dan memicu perlambatan ekonomi yang semakin parah.
Ketiga, ketegangan yang semakin meningkat di Timur Tengah juga boleh jadi akan menjadi sentimen yang berpengaruh di pasar keuangan Indonesia.
Pada hari Minggu (4/8/2019), Reuters mengabarkan bahwa Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) telah menangkap kapal tanker milik Iraq di perairan Teluk Persia.
"Angkatan Laut IRGC telah menangkap kapal tanker asing di Teluk Persia yang tengah menyelundupkan minyak untuk beberapa negara Arab," ujar komandan IRGC, Ramezan Ziarahi dalam siaran TV nasional, seperti dikutip dari Reuters.
Beberapa waktu lalu, Iran juga telah menangkap kapal tanker berbendera Inggris di Teluk Persia, yang terjadi setelah Angkatan Laut Inggris (Royal Navy) menangkap kapal Iran di Selat Gibraltar.
Ketegangan antara Iran dengan AS dan sekutunya kian membuncah pasca Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Negeri Persia. Dikhawatirkan, konflik yang sekarang masih terlihat sebagai 'unjuk kekuatan' bisa berkembang menjadi perang terbuka.
Apalagi Iran dikabarkan telah siap untuk menghadapi hal terburuk dalam memperjuangkan kesepakatan nuklir. Negeri Persia masih bersikukuh untuk terus menjalani program pengayaan uranium. Hal itu ditakutkan memicu reaksi negatif dari AS dan sekutunya.
Dalam kondisi yang masih tak pasti, daya tarik investor pada aset-aset berisiko bisa jadi semakin pudar. Maklum, ketidakpastian memang kerap kali menjadi musuh utama dalam berinvestasi.
Selain itu, ketegangan Timur Tengah juga dapat menyebabkan harga minyak mentah dunia melambung tinggi. Tentu bukan kabar yang baik bagi mata uang merah putih, rupiah.
Kala harga minyak kian mahal, maka aliran modal yang keluar untuk membiayai impor semakin besar. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan semakin sulit diberantas.
BERLANJUT KE HALAMAN 4>>> Berikut peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Valuasi Murah, Asing Parkir Duit Lagi di Pasar Saham RI
Sebagai informasi, pergerakan yield dan harga di pasar obligasi berbanding terbalik. Kala yield naik, artinya pasar sedang diterpa aksi jual akibat sepi peminat. Berlaku pula sebaliknya. Yield juga lebih sering digunakan sebagai acuan transaksi obligasi karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Penyebab utama pelemahan di pasar keuangan dalam negeri adalah eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China yang sudah di depan mata. Pada hari Kamis (1/8/2019) Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk sebesar 10% atas produk impor asal China senilai US$ 300 miliar. Produk-produk tersebut sebelumnya bukan objek dari perang dagang.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," tulis Trump melalui akun Twitter pribadinya.
Atas keputusan Trump tersebut, sebagian pelaku pasar agak terkejut. Pasalnya, tim negosiator kedua negara baru saja selesai melakukan diskusi tatap muka yang dimulai sejak awal pekan di Shanghai. Kedua belah pihak juga sempat mendeskripsikan bahwa negosiasi dagang yang berlangsung selama dua hari tersebut berlangsung konstruktif, meskipun sama-sama tidak mengumumkan langkah konkret apapun.
Namun ada pula pelaku pasar yang sudah mencium aroma tak sedap dari perundingan tersebut, ditandai dengan berakhirnya perundingan lebih cepat dari jadwal yang direncanakan. Selain itu ada pula pernyataan dari kedua pihak yang saling bertolak belakang.
Pihak AS sempat menyebut bahwa China kembali menyatakan komitmennya untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang lebih besar, sementara pihak China hanya menyebut bahwa delegasi kedua negara mendiskusikan hal tersebut tanpa menyebut adanya komitmen apapun.
Namun tetap saja, cuitan Trump membuat pasar keuangan geger. Seluruh bursa saham utama kawasan Asia menutup perdagangan hari di zona merah pada hari Jumat (2/8/2019). Indeks Nikkei anjlok 2,11%, indeks Shanghai ambruk 1,41%, indeks Hang Seng jatuh 2,35%, indeks Straits Times turun 0,93%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,95%.
Kini, China tengah bersiap untuk melakukan 'serangan balasan'. Beijing menyebut bahwa pihaknya tak akan tinggal diam menghadapi "pemerasan" yang dilakukan AS.
"Jika AS benar mengeksekusi bea masuk tersebut maka China harus meluncurkan kebijakan balasan yang diperlukan guna melindungi kepentingan-kepentingan kami yang mendasar," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, dilansir dari Reuters.
Meski demikian, dalam sepekan IHSG masih mampu menguat 0,26%. Sementara nilai tukar rupiah melemah 1,26% dan yield SUN tenor acuan 10 tahun naik 32,8 basis poin.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>> Senada dengan pasar keuangan Benua Kuning, tiga indeks utama Wall Street juga semerah darah pada perdagangan akhir pekan lalu (2/8/2019). Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,37%, S&P 500 terkoreksi 0,73%, dan Nasdaq Composite anjlok 1,32%.
Pelemahan tersebut mengantarkan DJIA ke level terendah sejak akhir Juni. Sementara S&P 500 dan Nasdaq Composite tercatat melemah selama lima hari berturut-turut.
Sama halnya dengan kondisi pasar keuangan di hampir seluruh dunia, bursa saham AS juga terpapar sentimen negatif dari eskalasi perang dagang AS-China yang telah disebutkan sebelumnya. Trump sudah mengancam akan mengenakan tarif baru per 1 September. Kecuali China berhasil meneken kesepakatan dengan AS, eskalasi perang dagang sulit untuk dihindari.
Namun tampaknya kecil kemungkinan kedua negara untuk mencapai kesepakatan sebelum 1 September. Karena berdasarkan rencana awal, perundingan baru akan dilakukan pada bulan September.
Bila sampai benar kejadian (eskalasi), analis memperkirakan risiko resesi ekonomi AS akan semakin besar. "Jika dia [Trump] menindaklanjuti ancaman tersebut, maka ancaman resesi akan meningkat," ujar Mark Zandi, kepala ekonom Moody's Analytics. Resesi merupakan kondisi di mana pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi alias negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
![]() |
Risiko yang membesar itu membuat investor global memburu US Treasury, nama lain obligasi pemerintah AS, karena dianggap sebagai aset yang lebih aman (safe haven instrument) dibanding aset di pasar keuangan yang lain terutama pasar saham. Data Refinitiv menunjukkan yield US Treasury seri acuan 10 tahun turun 3,7 basis poin pada hari Jumat (2/8/2019) ke level 1,85% yang merupakan posisi terendah sejak 9 November 2016.
Penurunan yield obligasi pemerintah AS menunjukkan bahwa kekhawatiran investor akan kondisi ekonomi ke depan semakin membuncah.
Namun di lain pihak, eskalasi perang dagang juga dapat mendorong Bank Sentral AS, The Federal Reserves (The Fed) untuk lebih agresif dalam menurunkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR).
Sebelumnya, pelaku pasar sudah dibuat kecewa dan terkejut oleh sikap yang diambil oleh The Fed. Pasalnya ada hari Rabu (31/7/2019) Gubernur The Fed, Jerome Powell, mengumumkan penurunan target suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi ke kisaran 2-2,25% sambil berpidato dengan nada-nada yang tidak lagi kalem (dovish).
"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif," kata Powell, dilansir dari CNBC International.
"Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat."
Kini pelaku pasar masih mencermati arah kebijakan yang akan bisa diambil oleh The Fed ke depan. Boleh jadi Powell dan kawan-kawan jadi lebih berani untuk mengambil langkah tegas untuk melonggarkan kebijakan moneter.
Mengutip CME Fedwatch pada akhir perdagangan Jumat (2/8/2019) kemungkinan The Fed menurunkan suku bunga ke kisaran 1,5-1,75% (turun 50 basis poin dari posisi sekarang) hingga akhir tahun 2019 mencapai 50,2% atau melesat dari posisi sehari sebelumnya yang hanya 36,9%.
Akan tetapi jika pada keberjalanannya Powell tetap memasang sikap yang agak galak (hawkish), boleh jadi perekonomian AS akan terpukul cukup keras.
BERLANJUT KE HALAMAN 3>>> Untuk perdagangan awal pekan ini (5/8/2019), investor patut mencermati sejumlah sentimen yang berpotensi menjadi penentu arah gerak pasar.
Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 pada pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi Tanah Air tumbuh 5,05% year-on-year (YoY). Konsensus pasar versi Reuters pun menghasilkan angka serupa.
Jika terwujud, maka ekonomi kuartal II-2019 sedikit melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 5,07%.
Sementara pada kuartal I-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh di level 5,07% secara tahunan, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19%.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk investor di pasar keuangan. Pasalnya pertumbuhan ekonomi sedikit banyak akan menentukan kinerja para emiten yang ujungnya berdampak pada keuntungan investor.
Apabila Indonesia semakin menampakkan perlambatan ekonominya, maka sulit bagi investor untuk tetap mempertahankan portofolio investasi di Indonesia. Mereka akan mencari 'inang' baru yang lebih menguntungkan.
Kedua, investor juga perlu untuk mencermati perkembangan dari perang dagang AS-China. Sebagaimana yang telah diketahui, China masih belum mengumumkan aksi balasan yang akan diambil atas ancaman pengenaan tarif baru oleh Donald Trump.
Jika benar China naik pitam dan langsung mengumumkan tarif balasan terhadap produk impor asal AS, maka pintu negosiasi akan semakin tertutup. Sekali lagi dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia akan saling hambat urusan perdagangan.
Kala hal itu terjadi, maka seluruh dunia akan merasakan dampaknya. Rantai pasokan global akan terhambat dan memicu perlambatan ekonomi yang semakin parah.
Ketiga, ketegangan yang semakin meningkat di Timur Tengah juga boleh jadi akan menjadi sentimen yang berpengaruh di pasar keuangan Indonesia.
Pada hari Minggu (4/8/2019), Reuters mengabarkan bahwa Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) telah menangkap kapal tanker milik Iraq di perairan Teluk Persia.
"Angkatan Laut IRGC telah menangkap kapal tanker asing di Teluk Persia yang tengah menyelundupkan minyak untuk beberapa negara Arab," ujar komandan IRGC, Ramezan Ziarahi dalam siaran TV nasional, seperti dikutip dari Reuters.
Beberapa waktu lalu, Iran juga telah menangkap kapal tanker berbendera Inggris di Teluk Persia, yang terjadi setelah Angkatan Laut Inggris (Royal Navy) menangkap kapal Iran di Selat Gibraltar.
Ketegangan antara Iran dengan AS dan sekutunya kian membuncah pasca Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Negeri Persia. Dikhawatirkan, konflik yang sekarang masih terlihat sebagai 'unjuk kekuatan' bisa berkembang menjadi perang terbuka.
Apalagi Iran dikabarkan telah siap untuk menghadapi hal terburuk dalam memperjuangkan kesepakatan nuklir. Negeri Persia masih bersikukuh untuk terus menjalani program pengayaan uranium. Hal itu ditakutkan memicu reaksi negatif dari AS dan sekutunya.
Dalam kondisi yang masih tak pasti, daya tarik investor pada aset-aset berisiko bisa jadi semakin pudar. Maklum, ketidakpastian memang kerap kali menjadi musuh utama dalam berinvestasi.
Selain itu, ketegangan Timur Tengah juga dapat menyebabkan harga minyak mentah dunia melambung tinggi. Tentu bukan kabar yang baik bagi mata uang merah putih, rupiah.
Kala harga minyak kian mahal, maka aliran modal yang keluar untuk membiayai impor semakin besar. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan semakin sulit diberantas.
BERLANJUT KE HALAMAN 4>>> Berikut peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
- Rilis data pembacaan akhir PMI Komposit Jepang periode Juli versi Jibun Bank (07:30 WIB)
- Rilis data PMI Komposit China periode Juli versi Caixin (08:45 WIB)
- Rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2019 (11:00 WIB)
- Rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) Non-Manufaktur AS periode Juli versi ISM (21:00 WIB)
- Cum date stock split PT Barito Pacific Tbk (BRPT). 16.00 WIB
- Cum date cash dividend PT AKR Corporindo Tbk (AKRA). 16.00 WIB
- Cum date cash dividend DIRE Ciptadana Properti Ritel Indonesia (XCID). 16.00 WIB
- Cum date cash dividend DIRE Ciptadana Properti Perhotelan Padjajaran (XCIS). 16.00 WIB
- Cum date cash dividend Reksa Dana Indeks BNI-AM Nusantara ETF Indonesia (XBNI). 16.00 WIB
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Juni 2019 YoY) | 3,28% |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juli 2019) | 5,75% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (1Q-2019) | -2,6% PDB |
Neraca pembayaran (1Q-2019) | US$ 2,42 miliar |
Cadangan devisa (Juni 2019) | US$ 123,8 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Valuasi Murah, Asing Parkir Duit Lagi di Pasar Saham RI
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular