Newsletter

Ada Hawa Negatif, Suku Bunga BI Masih Ngaruh Gak Ya?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 July 2019 06:10
Ada Hawa Negatif, Suku Bunga BI Masih <i>Ngaruh Gak Ya?</i>
Foto: Bursa Efek Indonesia (BEI) (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mencatat performa impresif sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat naik 1,31% mencapai level tertinggi sejak 2 Mei, dan rupiah menguat 0,5% bahkan sempat menyentuh level terkuat satu tahun. Sementara imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun turun 6,3 basis poin (bps).

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Bank Indonesia (BI) dan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) yang sama-sama menjadi merpati mengambil sikap dovish atau ibarat merpati menjadi alasan utama di balik kinclongnya pasar keuangan Indonesia.



Sikap dovish dalam kebijakan moneter berarti bank sentral akan melakukan pelonggaran misalnya dengan menurunkan suku bunga. Sementara, lawannya adalah hawkish (elang) yang berarti bank sentral akan melakukan pengetatan moneter misalnya dengan menaikkan suku bunga.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, saat mengumumkan kebijakan moneter Kamis (18/7/19) lalu akhirnya memangkas suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,75%. Perry bahkan membuka peluang untuk kembali memangkas suku bunga di masa yang akan datang.

"BI memandang masih terbuka ruang bagi kebijakan moneter yang akomodatif, sejalan dengan rendahnya inflasi dan momentum mendorong pertumbuhan ekonomi. Kami sudah akomodatif dalam beberapa bulan terakhir dan tetap akomodatif ke depannya," papar Perry

Di sisi lain, para investor melihat The Fed pasti akan memangkas suku bunga pada 31 Juli (1 Agustus waktu Indonesia). Bahkan pemangkasan sebesar 50 basis poin probabilitasnya sempat menguat setelah Presiden The Fed New York, John Williams, mengatakan para bankir harus bertindak cepat dengan kekuatan penuh ketika suku bunga menjadi rendah dan pertumbuhan ekonomi melambat, sebagaimana dikutip dari CBNC International.

Pelaku pasar merespon ucapan itu, probabilitas pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 50 basis bps menjadi 1,75%-2% sempat melesat naik ke kisaran 70% pada Jumat (19/7/19) dini hari, padahal sebelum komentar tersebut probabilitasnya di kisaran 30%, berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group.

Namun, komentar Williams langsung diklarifikasi oleh The Fed New York, Komentar dari bosnya dikatakan bersifat akademis dan bukan tentang arah kebijakan moneter bank sentral paling kuat sedunia ini.

Probabilitas pemangkasan suku bunga 50 bps kembali menurun setelah adanya klarifikasi tersebut, bahkan ke kisaran 20%.

Pelonggaran moneter oleh Perry dilakukan karena BI memiliki ruang pelonggaran lebih besar terutama karena terjaganya inflasi. Ruang tersebut dimanfaatkan oleh BI untuk memacu perekonomian lebih kencang, sehingga berdampak positif bagi rupiah.



Sementara, The Fed akan melakukan pelonggaran moneter akibat pelambatan ekonomi serta rendahnya inflasi, yang berarti bank sentral Negeri Adidaya ini mau tidak mau harus menurunkan suku bunga untuk menjaga ekspansi ekonominya agar berkelanjutan.

Sikap dovish BI dan The dengan latar belakangan yang berbeda tersebut menjadikan pasar keuangan Indonesia lebih seksi. BI yang memangkas suku bunga bisa memacu laju pertumbuhan ekonomi, sebaliknya pemangkasan yang akan dilakukan The Fed membuat imbal hasil instrumen dolar menurun, likuiditas akan meningkat, dan pelaku pasar memburu aset-aset berimbal hasil tinggi sehingga aliran hot money deras akan deras masuk ke Indonesia.

Halaman Selanjutnya >>> Saat emiten di AS ramai-ramai melaporkan laba/rugi kuartal-II 2019, bursa saham AS (Wall Street) justru kurang bergairah. Indeks S&P 500 dan Nasdaq masing-masing anjlok lebih dari 1% sepanjang pekan lalu, dan menjadi performa mingguan terburuk sejak akhir Mei. Pada periode yang sama Dow Jones melemah 0,6%. Ketiga indeks tersebut memang mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada Senin (15/7/19) lalu, tetapi setelahnya terus mencatat penurunan.  

 
"Pekan ini menjadi periode penuh perjuangan," kata Dan Deming, Direktur Pelaksana di KKM Financial, dikutip CNBC International. Pasar rasanya kehabisan momentum setelah "Microsoft merilis pendapatan" dan Presiden The Fed New York John Williams berbicara pada hari Kamis.

Pernyataan Williams, seperti disebutkan sebelumnya memicu spekulasi pemangkasan sebesar 50 bps, yang membuat Wall Street menguat. Namun, sayangnya pernyataan tersebut langsung diklarifikasi dan probabilitas suku bunga dipangkas setengah persen tersebut kembali tipis. Sentimen investor dibuat naik turun oleh Williams dan The Fed New York.

Laba Microsoft pada periode April-Juni lebih tinggi dari ekspektasi Wall Street, harga sahamnya naik mencapai rekor tertinggi, tetapi hanya dengan menguat 0,15%. Lain lagi dengan American Express, laba juga lebih tinggi dari prediksi, tetapi sahamnya justru anjlok lebih dari 2,5%.

Lebih dari 15% emiten di S&P 500 sejauh ini, sebanyak 79% diantaranya melaporkan earning yang lebih bagus dari ekspektasi, berdasarkan data dari FactSet yang dilaporkan CNBC International.

Jeff Zipper, direktur investasi di Bank Private Wealth Management (PWM) AS mengatakan sejauh ini tidak ada kejutan dari laporan laba/rugi emiten Wall Street. Zipper mengatakan sering kali ketika target laba rendah, maka yang terjadi adalah emiten melaporkan sesuai dengan target atau sedikit lebih tinggi.

Selain itu, sentimen investor juga sedikit terbebani akibat faktor geopolitik setelah Iran mengatakan bahwa mereka menangkap sebuah kapal tanker minyak Inggris. Ketegangan antara pihak Barat dengan Iran bisa jadi tereskalasi akibat kejadian tersebut.


AS sudah lama berseteru dengan Iran, bahkan pada pekan lalu, drone milik Iran ditembak jatuh oleh angkatan laut Paman Sam. Tindakan tegas itu terpaksa diambil militer AS lantaran drone Iran berada dalam jarak 1.000 meter dari kapal Angkatan Laut AS USS Boxer. Drone Iran itu telah mengabaikan perintah untuk menjauh dari pihak AS. Drone tersebut juga telah mengancam keselamatan kapal dan awak kapal di Selat Hormuz. 

"Ini adalah ulah terbaru dari banyak tindakan provokatif dan bermusuhan oleh Iran terhadap kapal yang beroperasi di perairan internasional," kata Trump seperti dilansir CNN International, Jumat (19/7/19). 

Kejadian ini merupakan perkembangan terbaru dalam hubungan kedua negara yang sedang memanas. Peristiwa itu terjadi hampir tepat satu bulan setelah Iran menembak jatuh pesawat nirawak AS. Akibat tindakan Iran tersebut, Trump hampir saja melancarkan serangan militer ke Iran.

"Kami sudah siap melakukan serangan balasan tadi malam di tiga posisi yang berbeda ketika saya bertanya berapa orang yang akan mati," kicau Trump melalui akun Twitternya kala itu.

"150, Pak, adalah jawaban dari seorang Jenderal. 10 menit sebelum serangan, saya menghentikannya, ini tidak sepadan dengan penembakan sebuah drone tak berawak," ujarnya.

Hubungan antara AS dan Iran telah memburuk sejak Mei 2018. Itu terjadi ketika AS memilih untuk meninggalkan kesepakatan nuklir 2015 dan menerapkan kembali sanksi yang melumpuhkan pada ekonomi Iran. 

Halaman Selanjutnya >>> Performa kurang bagus dari Wall Street dan IHSG yang berada di level tertinggi sejak 2 Mei tentunya akan membuatnya rentan terkena aksi ambil untung (profit taking). Hal tersebut yang patut diperhatikan pertama kali.

Begitu juga rupiah yang masih berada di dekat level terkuat dalam satu tahun, aksi ambil untung rentan terjadi apalagi melihat indeks dolar AS yang menguat cukup tajam pada perdagangan Jumat lalu. Indeks yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam ini menguat 0,37% setelah melemah dalam dua hari beruntun masing-masing 0,18% dan 0,44%.

Kenaikan indeks dolar di hari Jumat tersebut tentunya bisa memberikan tekanan rupiah.



Hari pertama perdagangan pekan ini juga bisa memberikan gambaran apakah sentimen pemangkasan suku bunga BI masih memberikan dampak ataukah sudah mulai memudar.

Melihat pergerakan pasar finansial di hari Jumat lalu, pemangkasan suku bunga BI masih mampu mendongkrak kinerja. Harapan akan laju perekonomian Indonesia yang semakin kencang setelah suku bunga dipangkas terus mendorong investor asing masuk ke Indonesia.

Hal yang perlu dicermati selanjutnya adalah perkembangan hubungan Barat dengan Iran setelah kejadian penangkapan kapal milik Inggris pekan lalu. Iran sudah mendesak Inggris untuk tidak menggunakan politik dalam negeri yang bisa memperburuk hubungan kedua negara.

Inggris sebelumnya mengatakan penangkapan kapal tanker bernama Stena Impero sebagai “tindakan bermusuh” dan menolak penjelasan Pemerintah Tehran jika penangkapan dilakukan karena kapal tanker Inggris terlibat kecelakaan.

Memanasnya hubungan kedua negara bisa memberikan sentimen negatif ke pasar finansial global, termasuk di Indonesia.

Masih dari Inggris, Menteri Keuangan Philip Hammond pada Minggu kemarin mengatakan akan mengundurkan diri hari Rabu nanti. Hammond menyatakan, jika Boris Johnson menjadi Perdana Menteri Inggris nanti maka kemungkinan Inggris akan keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan bisa terjadi, dan ia menolak hal tersebut.

Hammond merasa dirinya akan diberhentikan sebagai Menteri Keuangan akibat menolak terjadinya no-deal Brexit, sehingga ia memutuskan mengundurkan diri sebelum hal itu terjadi. No-deal Brexit diperkirakan akan membawa Inggris, negara dengan nilai ekonomi terbesar ke-lima dunia, masuk ke jurang resesi.

Sikap Hammond tersebut menunjukkan kemungkinan terjadinya no-deal Brexit pada 31 Oktober nanti cukup besar, hal itu tentunya memberikan sentimen yang buruk ke pasar.

Selain itu, dari dalam negeri akan dirilis data realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Investasi merupakan komponen penting dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), porsi Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) yang terkait dengan investasi memiliki andil lebih dari 30% terhadap PDB Indonesia.

Namun, data ini baru akan dirilis pada pukul 17:00 WIB, atau setelah perdagangan Senin ditutup, sehingga efeknya baru akan terlihat pada perdagangan selanjutnya.

Halaman Selanjutnya >>> Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:

• RUPS PT Sumi Indo Kabel Tbk (IKBI) (16:00 WIB)
• Rilis Data Penanaman Modal Asing (17:00 WIB) 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Juni 2019 YoY)3,28%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Juni 2019)US$ 123,8 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA 

(pap/pap) Next Article Beda Nasib Usai Sabda The Fed: Rupiah Tertawa, IHSG Menangis

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular