
Polling CNBC Indonesia
Konsensus: Asyik, Bunga Acuan Bisa Turun!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 July 2019 16:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan punya ruang untuk menurunkan suku bunga acuan bulan ini. Meski masih ada tekanan di transaksi berjalan (current account), tetapi pasokan valas dari investasi portofolio sepertinya masih bisa diharapkan.
BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Juli selama dua hari mulai besok. Suku bunga acuan rencananya diumumkan pada Kamis pukul 14:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan kolega menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Dari 14 institusi yang berparitisipasi dalam pembentukan konsensus, hanya dua yang memperkirakan suku bunga acuan masih bertahan di 6%.
Jika suku bunga acuan benar-benar turun, maka akan jadi penurunan pertama sejak Agustus 2017. Sepanjang 2018, suku bunga acuan naik enam kali tanpa pernah turun.
Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada Juni surplus US$ 200 juta. Data ini bisa menentukan arah suku bunga acuan.
Meski neraca perdagangan mencatat surplus pada Mei dan Juni, tetapi defisit parah pada April membuat neraca perdagangan selama kuartal II-2019 masih defisit US$ 1,87 miliar karena defisit yang begitu dalam pada April.
Neraca perdagangan yang defisit pada kuartal II-2019 akan berdampak ke transaksi berjalan. Pada kuartal I-2019, neraca perdagangan membukukan defisit tipis US$ 60 juta. Itu pun sudah membuat transaksi berjalan defisit 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal I-2018.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin defisit transaksi berjalan kuartal II-2019 akan lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya. Padahal transaksi berjalan menjadi salah satu indikator yang dipantau ketat oleh BI.
Ketika transaksi berjalan defisit, maka pasokan devisa yang berjangka panjang (sustainable) dari ekspor-impor barang dan jasa cenderung mampet. Ini membuat nilai tukar mata uang mudah melemah karena fondasi yang rapuh.
Kalau nilai tukar rupiah melemah, tentu BI tidak bisa santai. Sebab salah satu mandat BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar.
Untuk mengimbangi defisit di transaksi berjalan, maka pasokan valas dari sektor keuangan atau investasi portofolio (hot money) harus kencang. Salah satu yang bisa menarik hot money adalah suku bunga tinggi. Ini yang membuat BI menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali tahun lalu.
Saat iniĀ rupiah memang boleh dibilang stabil bahkan perkasa. Dalam sebulan terakhir, rupiah menguat sampai nyaris 3% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Akan tetapi, rupiah tetap rawan 'digoyang' kalau transaksi berjalan masih bermasalah. Ini tentu membuat BI pikir-pikir. Apakah memang sudah saatnya menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Juli selama dua hari mulai besok. Suku bunga acuan rencananya diumumkan pada Kamis pukul 14:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan kolega menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Dari 14 institusi yang berparitisipasi dalam pembentukan konsensus, hanya dua yang memperkirakan suku bunga acuan masih bertahan di 6%.
Institusi | BI 7 Day Reverse Repo Rate (%) |
CIMB Niaga | 5.75 |
Bahana Sekuritas | 5.75 |
ING | 5.75 |
Citi | 5.75 |
BCA | 5.75 |
Danareksa Research Institute | 5.75 |
ANZ | 5.75 |
Maybank Indonesia | 5.75 |
Barclays | 5.75 |
Bank Permata | 5.75 |
Moody's Analytics | 6 |
Standard Chartered | 5.75 |
Bank Danamon | 5.75 |
Mirae Asset | 6 |
Jika suku bunga acuan benar-benar turun, maka akan jadi penurunan pertama sejak Agustus 2017. Sepanjang 2018, suku bunga acuan naik enam kali tanpa pernah turun.
Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada Juni surplus US$ 200 juta. Data ini bisa menentukan arah suku bunga acuan.
Meski neraca perdagangan mencatat surplus pada Mei dan Juni, tetapi defisit parah pada April membuat neraca perdagangan selama kuartal II-2019 masih defisit US$ 1,87 miliar karena defisit yang begitu dalam pada April.
Neraca perdagangan yang defisit pada kuartal II-2019 akan berdampak ke transaksi berjalan. Pada kuartal I-2019, neraca perdagangan membukukan defisit tipis US$ 60 juta. Itu pun sudah membuat transaksi berjalan defisit 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal I-2018.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin defisit transaksi berjalan kuartal II-2019 akan lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya. Padahal transaksi berjalan menjadi salah satu indikator yang dipantau ketat oleh BI.
Ketika transaksi berjalan defisit, maka pasokan devisa yang berjangka panjang (sustainable) dari ekspor-impor barang dan jasa cenderung mampet. Ini membuat nilai tukar mata uang mudah melemah karena fondasi yang rapuh.
Kalau nilai tukar rupiah melemah, tentu BI tidak bisa santai. Sebab salah satu mandat BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar.
Untuk mengimbangi defisit di transaksi berjalan, maka pasokan valas dari sektor keuangan atau investasi portofolio (hot money) harus kencang. Salah satu yang bisa menarik hot money adalah suku bunga tinggi. Ini yang membuat BI menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali tahun lalu.
Saat iniĀ rupiah memang boleh dibilang stabil bahkan perkasa. Dalam sebulan terakhir, rupiah menguat sampai nyaris 3% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Akan tetapi, rupiah tetap rawan 'digoyang' kalau transaksi berjalan masih bermasalah. Ini tentu membuat BI pikir-pikir. Apakah memang sudah saatnya menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Ada Pasokan Devisa dari <i>Hot Money</i>
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular