Newsletter

AS-China Sedang Mesra, Tapi Investor Wajib Hati-Hati!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 July 2019 06:44
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)
Foto: New York Stock Exchange (AP Photo/Richard Drew)
Kemarin, perdagangan di bursa saham AS diliburkan seiring dengan peringatan hari kemerdekaan. Tak ada aktivitas transaksi saham di Wall Street, yang ada hanyalah pesta kembang api dan parade militer nan megah yang rencananya akan digelar pada malam hari waktu setempat.

Namun begitu, ada beberapa sentimen yang patut dicermati oleh pelaku pasar dalam menghadapi perdagangan terakhir di pekan ini. Pertama, pergerakan yield obligasi dari negara-negara besar di kawasan Eropa.

Kemarin, yield obligasi pemerintah Jerman tenor 10 tahun berada di level -0,401% yang merupakan level terendah sepanjang masa. Sementara itu, yield obligasi pemerintah Prancis tenor 10 tahun berada di level -0,1323%, juga level terendah sepanjang masa.

Sementara itu, yield obligasi pemerintah Beligia tenor 10 tahun berada di level –0,063%, level terendah yang pernah dicatatkan sepanjang sejarah. Sehari sebelumnya (3/7/2019), yield obligasi pemerintah Beligia tenor 10 tahun untuk kali pertama ditutup di level negatif.

Kembali mengingatkan, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Di pasar obligasi, indikator yang diperhatikan pelaku pasar dalam melakukan pengambilan keputusan adalah yield dan bukan kupon karena yield sudah memperhitungkan harga beli dari obligasi tersebut.

Kala yield berada di bawah nol (negatif), pelaku pasar yang membeli di tingkat yield tersebut sebenarnya dipastikan akan mengalami kerugian dalam investasinya lantaran pendapatan dari kupon tak akan bisa menutupi besarnya investasi yang dikeluarkan untuk membeli obligasi tersebut.

Memang, penurunan yield dipicu juga oleh ekspektasi bahwa European Central Bank (ECB) yang merupakan bank sentral dari negara-negara pengdopsi mata uang euro akan bersikap lebih dovish kedepannya guna melawan lemahnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Belum lama ini ECB mengatakan bahwa pihaknya akan menunda menaikkan suku bunga acuan hingga setidaknya pertengahan tahun depan. Sebelumnya, ECB hanya memperkirakan kenaikan suku bunga acuan akan ditunda hingga akhir tahun.

“Kehadiran ketidakpastian terkait faktor geopolitik yang berkepanjangan, meningkatnya ancaman dari sikap proteksionisme, dan kerentanan perekonomian negara-negara berkembang telah mempengaruhi sentimen ekonomi,” kata Presiden Bank Sentral Eropa Draghi dilansir dari CNBC International.

Kemudian, juga belum lama ini, Draghi menegaskan bahwa pihaknya bisa memangkas tingkat suku bunga acuan atau memperbesar suntikan dana (quantitative easing) jika tingkat inflasi tak mencapai target.

“Jika krisis sudah memperlihatkan dampak, maka kami akan menggunakan segala fleksibilitas yang kami punya untuk memenuhi mandat kami – dan kami akan melakukannya lagi untuk menjawab segala tantangan terhadap kestabilan tingkat harga di masa depan,” kata Draghi, dikutip dari CNBC International.

Sejauh ini, tiga bank sentral besar di dunia yang pada mulanya bersikap hawkish justru kini sudah menunjukkan sikap dovish. Ketiga bank sentral tersebut adalah: The Federal Reserve (bank sentral AS), Bank of England (bank sentral Inggris), dan ECB.

Kala kebijakan yang lebih dovish seperti pemangkasan tingkat suku bunga acuan serta perpanjangan/peningkatan quantitative easing ditempuh, yield memang seharunya bergerak ke bawah.

Namun, kalau yield sudah mencapai rekor terendah sepanjang masa seperti yang kita lihat saat ini, pelaku pasar patut khawatir. Pasalnya, jelas terlihat bahwa pelaku pasar keuangan dunia sedang mencoba bermain aman dengan mengalihkan dananya ke instrumen yang aman (safe haven), sekalipun yield sudah berada di bawah nol.

Laju perekonomian dunia saat ini memang sedang begitu lesu. Di Jerman, Manufacturing PMI sudah dalam 5 bulan terakhir berada di bawah 50. Untuk diketahui, angka di bawah 50 menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur mengalami kontraksi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Perlu diketahui juga, Jerman merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di kawasan Eropa sehingga lesunya aktivitas manufaktur di sana akan berdampak negatif bagi negara-negara lain di seluruh dunia.

Di AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, Manufacturing PMI periode Juni 2019 diumumkan di level 51,7 oleh Institute for Supply Management (ISM), menandai ekspansi sektor manufaktur terlemah yang pernah dicatatkan AS sejak September 2016 silam.

Hal serupa terjadi juga di China yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia. Dalam enam bulan pertama tahun 2019, data resmi pemerintahnya mencatat bahwa aktivitas manufaktur membukukan kontraksi sebanyak empat kali yakni pada bulan Januari, Februari, Mei, dan Juni.

Melihat perkembangan di pasar obligasi Eropa, ada potensi bahwa instrumen berisiko di pasar keuangan Asia bisa dilego investor pada hari ini. Saham dan obligasi di Indonesia, serta rupiah, masuk ke dalam instrumen berisiko yang dimaksud.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 (ank/ank)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular