Newsletter

AS-China Sedang Mesra, Tapi Investor Wajib Hati-Hati!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 July 2019 06:44
AS-China Sedang Mesra, Tapi Investor Wajib Hati-Hati!
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan bervariasi pada perdagangan kemarin: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,21%, rupiah melemah 0,14% melawan dolar AS di pasar spot, dan imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun 5,5 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Kemarin, sentimen yang menyelimuti perdagangan memang bercampur aduk sehingga arah pergerakan pasar keuangan Indonesia menjadi bervariasi.

Sentimen positif datang dari membuncahnya optimisme bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan segera memangkas tingkat suku bunga acuan. Optimisme tersebut datang seiring dengan rilis data ekonomi yang mengecewakan, di mana angka penciptaan lapangan kerja AS (sektor non-pertanian) periode Juni 2019 versi Automatic Data Processing (ADP) diumumkan sebanyak 102.000 saja, jauh di bawah ekspektasi yang sebanyak 140.000, dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, data tenaga kerja memang merupakan data yang dipantau dengan ketat oleh The Fed guna merumuskan kebijakan suku bunga acuannya.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi kian mungkin untuk dilakukan pada bulan ini mengingat tekanan inflasi (indikator lain yang dipantau The Fed dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuan) sangatlah rendah.

Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi ada di level 2%.

Untuk data teranyar yakni periode Mei 2019, Core PCE price index tercatat hanya tumbuh sebesar 1,6% YoY, jauh di bawah target The Fed.

Ketika suku bunga acuan dipangkas, tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi sangat krusial guna menghindarkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing.

Sementara itu, sentimen negatif bagi pasar keuangan tanah air datang dari potensi meletusnya perang dagang AS-Uni Eropa dalam waktu dekat.

Seperti yang diketahui, pada awal pekan ini Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 4 miliar yang bisa dikenakan bea masuk baru. Barang-barang yang disasar AS berkisar mulai dari makanan hingga minuman keras.

Daftar tersebut melengkapi daftar awal dari produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 21 miliar yang juga bisa dikenakan bea masuk baru. Jika ditotal, ada produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 25 miliar yang siap disasar oleh pemerintahan Trump.

Kebijakan tersebut diambil guna 'menghukum' Uni Eropa karena telah memberikan subsidi kepada Airbus sehingga membuat pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.

Uni Eropa pun tak tinggal diam. Seorang juru bicara untuk Komisi Eropa menyebut bahwa pihaknya telah mengetahui terkait ancaman terbaru dari AS dan kebijakan balasan dapat saja diambil, walau dirinya juga tak menutup pintu negosiasi.

"Uni Eropa tetap terbuka untuk berdiskusi dengan AS, asalkan berlangsung tanpa prasyarat dan ditujukan untuk mencapai hasil yang adil," kata juru bicara tersebut, dilansir dari CNN.

BERLANJUT KE HALAMAN 2
Kemarin, perdagangan di bursa saham AS diliburkan seiring dengan peringatan hari kemerdekaan. Tak ada aktivitas transaksi saham di Wall Street, yang ada hanyalah pesta kembang api dan parade militer nan megah yang rencananya akan digelar pada malam hari waktu setempat.

Namun begitu, ada beberapa sentimen yang patut dicermati oleh pelaku pasar dalam menghadapi perdagangan terakhir di pekan ini. Pertama, pergerakan yield obligasi dari negara-negara besar di kawasan Eropa.

Kemarin, yield obligasi pemerintah Jerman tenor 10 tahun berada di level -0,401% yang merupakan level terendah sepanjang masa. Sementara itu, yield obligasi pemerintah Prancis tenor 10 tahun berada di level -0,1323%, juga level terendah sepanjang masa.

Sementara itu, yield obligasi pemerintah Beligia tenor 10 tahun berada di level –0,063%, level terendah yang pernah dicatatkan sepanjang sejarah. Sehari sebelumnya (3/7/2019), yield obligasi pemerintah Beligia tenor 10 tahun untuk kali pertama ditutup di level negatif.

Kembali mengingatkan, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Di pasar obligasi, indikator yang diperhatikan pelaku pasar dalam melakukan pengambilan keputusan adalah yield dan bukan kupon karena yield sudah memperhitungkan harga beli dari obligasi tersebut.

Kala yield berada di bawah nol (negatif), pelaku pasar yang membeli di tingkat yield tersebut sebenarnya dipastikan akan mengalami kerugian dalam investasinya lantaran pendapatan dari kupon tak akan bisa menutupi besarnya investasi yang dikeluarkan untuk membeli obligasi tersebut.

Memang, penurunan yield dipicu juga oleh ekspektasi bahwa European Central Bank (ECB) yang merupakan bank sentral dari negara-negara pengdopsi mata uang euro akan bersikap lebih dovish kedepannya guna melawan lemahnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Belum lama ini ECB mengatakan bahwa pihaknya akan menunda menaikkan suku bunga acuan hingga setidaknya pertengahan tahun depan. Sebelumnya, ECB hanya memperkirakan kenaikan suku bunga acuan akan ditunda hingga akhir tahun.

“Kehadiran ketidakpastian terkait faktor geopolitik yang berkepanjangan, meningkatnya ancaman dari sikap proteksionisme, dan kerentanan perekonomian negara-negara berkembang telah mempengaruhi sentimen ekonomi,” kata Presiden Bank Sentral Eropa Draghi dilansir dari CNBC International.

Kemudian, juga belum lama ini, Draghi menegaskan bahwa pihaknya bisa memangkas tingkat suku bunga acuan atau memperbesar suntikan dana (quantitative easing) jika tingkat inflasi tak mencapai target.

“Jika krisis sudah memperlihatkan dampak, maka kami akan menggunakan segala fleksibilitas yang kami punya untuk memenuhi mandat kami – dan kami akan melakukannya lagi untuk menjawab segala tantangan terhadap kestabilan tingkat harga di masa depan,” kata Draghi, dikutip dari CNBC International.

Sejauh ini, tiga bank sentral besar di dunia yang pada mulanya bersikap hawkish justru kini sudah menunjukkan sikap dovish. Ketiga bank sentral tersebut adalah: The Federal Reserve (bank sentral AS), Bank of England (bank sentral Inggris), dan ECB.

Kala kebijakan yang lebih dovish seperti pemangkasan tingkat suku bunga acuan serta perpanjangan/peningkatan quantitative easing ditempuh, yield memang seharunya bergerak ke bawah.

Namun, kalau yield sudah mencapai rekor terendah sepanjang masa seperti yang kita lihat saat ini, pelaku pasar patut khawatir. Pasalnya, jelas terlihat bahwa pelaku pasar keuangan dunia sedang mencoba bermain aman dengan mengalihkan dananya ke instrumen yang aman (safe haven), sekalipun yield sudah berada di bawah nol.

Laju perekonomian dunia saat ini memang sedang begitu lesu. Di Jerman, Manufacturing PMI sudah dalam 5 bulan terakhir berada di bawah 50. Untuk diketahui, angka di bawah 50 menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur mengalami kontraksi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Perlu diketahui juga, Jerman merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di kawasan Eropa sehingga lesunya aktivitas manufaktur di sana akan berdampak negatif bagi negara-negara lain di seluruh dunia.

Di AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, Manufacturing PMI periode Juni 2019 diumumkan di level 51,7 oleh Institute for Supply Management (ISM), menandai ekspansi sektor manufaktur terlemah yang pernah dicatatkan AS sejak September 2016 silam.

Hal serupa terjadi juga di China yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia. Dalam enam bulan pertama tahun 2019, data resmi pemerintahnya mencatat bahwa aktivitas manufaktur membukukan kontraksi sebanyak empat kali yakni pada bulan Januari, Februari, Mei, dan Juni.

Melihat perkembangan di pasar obligasi Eropa, ada potensi bahwa instrumen berisiko di pasar keuangan Asia bisa dilego investor pada hari ini. Saham dan obligasi di Indonesia, serta rupiah, masuk ke dalam instrumen berisiko yang dimaksud.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 Sentimen kedua yang perlu dicermati pelaku pasar adalah terkait dengan perkembangan drama perang dagang AS-China. Seperti yang diketahui, pasca berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir pekan kemarin, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.

Dilansir dari CNBC International, kedua negara secara terpisah mengumumkan bahwa mereka telah setuju untuk tak saling mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor dari masing-masing negara.

Media milik pemerintah China Xinhua menyebut bahwa kedua pimpinan negara setuju "untuk memulai kembali negosiasi dagang antar kedua negara dengan dasar kesetaraan dan rasa hormat."

Perkembangan terbaru, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyebut bahwa perwakilan kedua negara sedang mengorganisir rencana untuk menggelar dialog antar delegasi AS dan China pada pekan depan.

“Dialog (dengan China) akan berlanjut pada pekan depan,” kata Kudlow, dilansir dari Reuters.

Seorang pejabat dari Kantor Perwakilan Dagang AS kemudian menyebut bahwa dialog yang sedang diorganisir adalah dialog yang melibatkan pejabat tingkat tinggi dari kedua negara, yang recananya akan dilakukan melalui sambungan telepon.

Sebagai informasi, pejabat tingkat tinggi dalam hal perdagangan dari sisi AS adalah Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin. Dari pihak China, pejabat tingkat tinggi yang dimaksud adalah Wakil Perdana Menteri Liu He.

Diketahui, para pejabat tingkat tinggi tersebut sudah mulai berbicara mengenai sambungan telepon sejak akhir pekan kemarin, kala AS dan China setuju untuk menyambung negosiasi dagang yang sempat mandek.

Kudlow bahkan kini berani menyebut bahwa akan ada pertemuan tatap muka dengan delegasi China dalam waktu dekat, walaupun dirinya belum bisa memberikan informasi yang lebih detil.

“Saya tak tahu tepatnya kapan. Mereka (delegasi kedua negara) berbicara melalui sambungan telepon. Mereka akan berbicara lagi pada pekan depan melalui sambungan telepon dan mereka akan merencanakan pertemuan tatap muka,” kata Kudlow.

China pun mengapresiasi langkah AS untuk tak mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk asal China. Apresiasi tersebut diungkapkan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Gao Feng di hadapan wartawan pada hari Kamis waktu setempat.

Kala AS-China terus berada di jalur yang tepat untuk meneken kesepakatan dagang, optimisme pelaku pasar keuangan dunia bisa membuncah dan instrumen berisiko di pasar keuangan Asia bisa menjadi incaran.

Sentimen ketiga yang perlu dicermati pelaku pasar adalah koreksi harga minyak mentah dunia. Hingga pukul 06:00 WIB, harga minyak WTI kontrak acuan jatuh 0,78%, sementara harga minyak brent kontrak acuan melemah hingga 0,81%.

Aura perlambatan ekonomi dunia yang kian terasa sukses menekan harga minyak mentah dunia. Kala perekonomian dunia lesu, praktis permintaan minyak mentah selaku salah satu sumber energi utama akan ikut tertekan.

Koreksi harga minyak mentah berpotensi memantik optimisme bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) akan menjadi bisa diredam. Pada akhirnya, ada potensi rupiah akan menguat lantaran sokongan fundamental yang lebih kuat.

Pelemahan rupiah bisa mendorong investor, terutama investor asing, untuk memburu saham serta obligasi di tanah air.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pertumbuhan belanja rumah tangga Jepang periode Mei 2019 (06:30 WIB)
  • Rilis pembacaan awal atas data leading economic index Jepang periode Mei 2019 (12:00 WIB)
  • Rilis data cadangan devisa Indonesia periode Juni 2019 (12:00 WIB)
  • Rilis data cadangan devisa Hong Kong periode Juni 2019 (15:30 WIB)
  • Rilis data penciptaan lapangan kerja AS (sektor non-pertanian) periode Juni 2019 (19:30 WIB)
  • Rilis data tingkat pengangguran AS periode Juni 2019 (19:30 WIB)
  • Rilis data tingkat pertumbuhan rata-rata upah per jam AS periode Juni 2019 (19:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Juni 2019 YoY)3,28%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juni 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Mei 2019)US$ 120,35 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular