
Newsletter
AS-China Memang Makin Mesra, Tapi Jangan Senang Dulu....
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 July 2019 07:15

Sentimen keempat yang perlu dicermati pelaku pasar adalah apresiasi harga minyak mentah dunia. Hingga pukul 06:30 WIB, harga minyak WTI melesat 1,06% ke level US$ 59,09/barel, sementara harga minyak brent naik 0,49% ke level US$ 65,06/barel.
Harga minyak mentah bergerak ke utara pasca seorang delegasi menyatakan bahwa negara-negara OPEC telah setuju untuk memperpanjang program pemangkasan produksi minyak mentah selama sembilan bulan, dilansir dari Reuters.
Sebelumnya, perpanjangan program pemangkasan produksi sudah terkonfirmasi pasca Presiden Rusia Vladimir Putin menggelar pertemuan dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman di sela-sela gelaran KTT G20. Namun kala itu, belum jelas apakah perpanjangan pemangkasan produksi akan diadopsi selama enam bulan saja atau sembilan bulan.
Sebagai informasi, negara-negara anggota OPEC menggelar pertemuan di Wina kemarin waktu setempat. Pada hari ini waktu setempat, pertemuan akan dilakukan juga dengan produsen minyak yang tak tergabung dalam OPEC.
Kala produksi kembali ditahan, apalagi hingga sembilan bulan, maka pasokan akan menipis dan harga pun mau tak mau terkerek naik.
Dengan melesatnya harga minyak mentah, akan ada kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi kian sulit untuk diredam. Pada akhirnya, ada potensi rupiah akan melemah lantaran sokongan fundamental yang tak kuat.
Pelemahan rupiah patut diwaspadai karena bisa saja membuat investor asing mengabaikan sentimen positif yang ada dan malah melego saham serta obligasi di tanah air.
Sentimen kelima yang patut dicermati investor adalah keputusan Bank Dunia (World Bank) untuk menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kemarin, lembaga yang berbasis di Washington, AS tersebut memutuskan untuk memangkas proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2019, dari yang semula 5,2% menjadi 5,1%.
Dalam publikasinya, Bank Dunia menjelaskan beberapa faktor yang melandasi pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah harga komoditas ekspor andalan Indonesia yang melemah di tahun 2019.
Bank Dunia mencatat harga komoditas logam dasar telah turun sepanjang dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal I-2019, indeks harga logam dasar turun 12% year-on-year (YoY), sementara pada kuartal sebelumnya juga amblas hingga 9% YoY.
Selain itu, ada pula harga batu bara Australia yang turun setelah pemerintah China memperketat impornya sejak Februari 2019. China yang merupakan konsumen terbesar batu bara dunia sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga global.
Alhasil, Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia pun juga ikut turun. Berdasarkan catatan Bank Dunia, rata-rata HBA sepanjang kuartal I-2019 turun hingga 7% YoY.
Nasib serupa juga terjadi pada komoditas ekspor agrikultur. Harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) melemah hingga 17% YoY di kuartal I-2019, melanjutkan pelemahan 23% YoY di kuartal sebelumnya. Pelemahan harga CPO masih terus terjadi meskipun pemerintah telah meningkatkan konsumsi minyak sawit domestik dengan program B20.
Anjloknya harga-harga komoditas tersebut membuat nilai ekspor terkontraksi. Padahal berdasarkan jumlahnya, ekspor batu bara dan minyak sawit sepanjang kuartal I-2019 naik masing-masing sebesar 10,5% YoY dan 9,8% YoY. Namun karena harga yang melemah, pertumbuhan nilai ekspor keduanya tercatat negatif sekitar 10% YoY.
Dampak dari penurunan harga komoditas adalah nilai investasi yang juga melambat. Pasalnya, imbal hasil investasi yang dihasilkan kala harga-harga komoditas anjlok menjadi tak maksimal. Catatan Bank Dunia memperlihatkan pertumbuhan investasi kuartal I-2019 hanya sebesar 5% YoY atau turun dari posisi kuartal IV-2018 sebesar 6% YoY.
Selain karena pelemahan harga komoditas, perlambatan investasi juga disebabkan oleh dua hal lain yaitu gelaran pemilihan umum (Pemilu) dan perlambatan belanja infrastruktur pemerintah.
Kemarin, sentimen ini terlihat jelas sudah membatasi penguatan IHSG sehingga apresiasi yang dibukukan kalah jauh jika dibandingkan dengan bursa saham utama kawasan Asia. Pada hari ini, dipangkasnya proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Bank Dunia masih menjadi sentimen penting yang harus dicermati pelaku pasar.
BERLANJUT KE HALAMAN 5 (ank/ank)
Harga minyak mentah bergerak ke utara pasca seorang delegasi menyatakan bahwa negara-negara OPEC telah setuju untuk memperpanjang program pemangkasan produksi minyak mentah selama sembilan bulan, dilansir dari Reuters.
Sebelumnya, perpanjangan program pemangkasan produksi sudah terkonfirmasi pasca Presiden Rusia Vladimir Putin menggelar pertemuan dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman di sela-sela gelaran KTT G20. Namun kala itu, belum jelas apakah perpanjangan pemangkasan produksi akan diadopsi selama enam bulan saja atau sembilan bulan.
Sebagai informasi, negara-negara anggota OPEC menggelar pertemuan di Wina kemarin waktu setempat. Pada hari ini waktu setempat, pertemuan akan dilakukan juga dengan produsen minyak yang tak tergabung dalam OPEC.
Kala produksi kembali ditahan, apalagi hingga sembilan bulan, maka pasokan akan menipis dan harga pun mau tak mau terkerek naik.
Dengan melesatnya harga minyak mentah, akan ada kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi kian sulit untuk diredam. Pada akhirnya, ada potensi rupiah akan melemah lantaran sokongan fundamental yang tak kuat.
Pelemahan rupiah patut diwaspadai karena bisa saja membuat investor asing mengabaikan sentimen positif yang ada dan malah melego saham serta obligasi di tanah air.
Sentimen kelima yang patut dicermati investor adalah keputusan Bank Dunia (World Bank) untuk menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kemarin, lembaga yang berbasis di Washington, AS tersebut memutuskan untuk memangkas proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2019, dari yang semula 5,2% menjadi 5,1%.
Dalam publikasinya, Bank Dunia menjelaskan beberapa faktor yang melandasi pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah harga komoditas ekspor andalan Indonesia yang melemah di tahun 2019.
Bank Dunia mencatat harga komoditas logam dasar telah turun sepanjang dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal I-2019, indeks harga logam dasar turun 12% year-on-year (YoY), sementara pada kuartal sebelumnya juga amblas hingga 9% YoY.
Selain itu, ada pula harga batu bara Australia yang turun setelah pemerintah China memperketat impornya sejak Februari 2019. China yang merupakan konsumen terbesar batu bara dunia sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga global.
Alhasil, Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia pun juga ikut turun. Berdasarkan catatan Bank Dunia, rata-rata HBA sepanjang kuartal I-2019 turun hingga 7% YoY.
Nasib serupa juga terjadi pada komoditas ekspor agrikultur. Harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) melemah hingga 17% YoY di kuartal I-2019, melanjutkan pelemahan 23% YoY di kuartal sebelumnya. Pelemahan harga CPO masih terus terjadi meskipun pemerintah telah meningkatkan konsumsi minyak sawit domestik dengan program B20.
Anjloknya harga-harga komoditas tersebut membuat nilai ekspor terkontraksi. Padahal berdasarkan jumlahnya, ekspor batu bara dan minyak sawit sepanjang kuartal I-2019 naik masing-masing sebesar 10,5% YoY dan 9,8% YoY. Namun karena harga yang melemah, pertumbuhan nilai ekspor keduanya tercatat negatif sekitar 10% YoY.
Dampak dari penurunan harga komoditas adalah nilai investasi yang juga melambat. Pasalnya, imbal hasil investasi yang dihasilkan kala harga-harga komoditas anjlok menjadi tak maksimal. Catatan Bank Dunia memperlihatkan pertumbuhan investasi kuartal I-2019 hanya sebesar 5% YoY atau turun dari posisi kuartal IV-2018 sebesar 6% YoY.
Selain karena pelemahan harga komoditas, perlambatan investasi juga disebabkan oleh dua hal lain yaitu gelaran pemilihan umum (Pemilu) dan perlambatan belanja infrastruktur pemerintah.
Kemarin, sentimen ini terlihat jelas sudah membatasi penguatan IHSG sehingga apresiasi yang dibukukan kalah jauh jika dibandingkan dengan bursa saham utama kawasan Asia. Pada hari ini, dipangkasnya proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Bank Dunia masih menjadi sentimen penting yang harus dicermati pelaku pasar.
BERLANJUT KE HALAMAN 5 (ank/ank)
Next Page
Simak Data dan Agenda Berikut
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular