Newsletter

Senangnya... Trump Sambung Lagi Tali Kasih dengan Xi & Kim

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 July 2019 07:08
Senangnya... Trump Sambung Lagi Tali Kasih dengan Xi & Kim
Foto: CNBC Indonesia TV
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan menguat pada pekan kemarin. Dalam sepekan, IHSG naik 0,68%, rupiah menguat 0,18% melawan dolar AS di pasar spot, dan imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun 4,4 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Joko Widodo effect (Jokowi) menjadi angin segar yang mengangkat kinerja pasar keuangan Indonesia pada pekan kemarin. Pada hari Kamis (27/6/2019), Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan terkait dengan sengketa perselisihan hasil pemilihan presiden (pilpres) 2019-2024.

Pembacaan putusan yang dimulai pada siang hari dan berakhir pada malam hari tersebut resmi mengukuhkan kemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin (Jokowi-Amin).

"Menolak permohonan pemohon (Prabowo-Sandi) untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim yang juga Ketua MK Anwar Usman di gedung MK, Jakarta, Kamis (27/6/2019).

Hal itu diperkuat dengan langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Jokowi-Ma'ruf sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024. Penetapan itu dilakukan di kantor pusat KPU, Jakarta, Minggu (30/6/2019).

Langkah Jokowi memasuki periode kedua sebagai presiden menjadi kabar baik bagi pasar keuangan Indonesia lantaran arah kebijakan pemerintahan tidak akan banyak berubah yang berarti ketidakpastian menjadi bisa diminimalisasi. Bagi pelaku pasar keuangan, kepastian memang merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan.

Jika berkaca kepada sejarah, IHSG selalu memberikan imbal hasil yang menggiurkan di tahun pelaksanaan pilpres, dengan catatan bahwa hasil pilpres sesuai dengan proyeksi dari mayoritas lembaga survei. Pada pilpres edisi 2019, mayoritas lembaga survei memang sebelumnya menjagokan Jokowi-Amin sebagai pemenang.

Pada tahun 2004, IHSG melejit hingga 44,6%. Kala itu, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Muhammad Jusuf Kalla memenangkan pertarungan melawan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (putaran 2).

Pada tahun 2009, IHSG meroket hingga 87%. Pada pertarungan tahun 2009, SBY berhasil mempertahankan posisi RI-1, namun dengan wakil yang berbeda. Ia didampingi oleh Boediono yang sebelumnya menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI). SBY-Boediono berhasil mengalahkan 2 pasangan calon yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Beralih ke tahun 2014, mantan Gubernur DKI Jakarta Jokowi berhasil menempati tampuk kepemimpinan tertinggi di Indonesia dengan menggandeng Jusuf Kalla sebagai wakilnya. Pada saat itu, IHSG melejit 22,3%.

Sebagai informasi, imbal hasil IHSG sepanjang tahun ini (hingga penutupan perdagangan tanggal 21 Juni) baru sebesar 1,95% sehingga menyisakan upside yang begitu besar jika berkaca kepada performa IHSG di tahun-tahun pilpres sebelumnya.

Wajar saja jika investor melakukan aksi beli di bursa saham tanah air. Mereka tak mau kehilangan potensi cuan yang masih begitu besar.

Aksi beli di pasar saham tanah air pada pekan kemarin banyak dilakukan oleh investor asing. Dalam sepekan, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 9,8 triliun.
Beralih ke Wall Street, tiga indeks saham utama di AS kompak membukukan koreksi sepanjang pekan kemarin: indeks Dow Jones turun 0,45%, indeks S&P 500 turun 0,36%, dan indeks Nasdaq Composite turun 0,32%.

Para pejabat The Federal Reserve membawa kabar buruk yang pada akhirnya sukses memantik aksi jual di bursa saham Negeri Paman Sam. Para pejabat bank sentral AS tersebut memupuskan harapan pelaku pasar bahwa akan ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang signifikan dalam pertemuannya bulan ini. Padahal sebelumnya, pelaku pasar menaruh ekspektasi bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas hingga 50 bps.

Presiden The Fed St. Louis James Bullard mengungkapkan bahwa pemangkasan sebesar 25 bps menjadi opsi yang paling rasional untuk saat ini.

"Duduk di sini hari ini, saya rasa 50 basis poin akan berlebihan," ujarnya kepada Bloomberg TV, dikutip dari Reuters.

"Saya tidak merasa situasi saat ini benar-benar memerlukan hal tersebut namun saya bersedia menurunkan 25 bps... Saya tidak suka mendahului pertemuan (The Fed) karena banyak hal bisa berubah hingga saat itu tiba. Namun, jika saya harus memutuskan hari ini, itulah yang akan saya lakukan," lanjutnya.

Sementara itu, Gubernur The Fed Jerome Powell kembali menegaskan terkait independensi bank sentral dari tekanan politik. Seperti yang diketahui, Presiden AS Donald Trump sudah berulang kali meminta The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan.

"The Fed bebas dari tekanan-tekanan politik jangka pendek," kata Powell, dilansir dari Reuters.

Sikap The Fed yang ternyata tak dovish-dovish amat memantik kekhawatiran bahwa perekonomian AS akan mengalami hard landing pada tahun ini.

Lebih lanjut, perang dagang AS-China juga menjadi faktor yang menekan kinerja Wall Street pada pekan lalu. Perang dingin antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di Jepang sukses membuat pelaku pasar saham AS grogi.

Sebagai informasi, pada hari Jumat hingga Sabtu (28-29 Juni) keduanya menghadiri gelaran KTT G20 di Osaka, Jepang.

Memang, pertemuan antara Trump dengan Xi baru akan diselenggarkan pada hari Sabtu. Namun, perang dingin antar keduanya sudah dimulai sejak hari Jumat.

Berbicara di hadapan pemimpin negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) lainnya, Xi memperingatkan mengenai langkah proteksionis yang diadopsi oleh beberapa negara maju.

“Semua ini menghancurkan arus perdagangan global… Hal ini juga mempengaruhi kepentingan bersama dari negara-negara kita, serta menghantui perdamaian dan stabilitas di seluruh dunia,” kata Xi, dilansir dari Reuters.

Sementara itu, Trump memanfaatkan gelaran KTT G20 untuk menyuarakan kekhawatirannya terkait raksasa produsen perangkat komunikasi asal China, Huawei. Berbicara dengan Perdana Menteri India Narendra Modi, Trump mengajak India untuk ikut berpartisipasi dalam usahanya untuk menekan Huawei.

“Kami menjual banyak komponen ke Huawei,” kata Trump dalam pertemuan dengan Modi, dilansir dari Bloomberg.

“Jadi kami akan mendiskusikan itu dan bagaimana India bisa berpartisipasi. Dan kami akan mendiskusikan Huawei,” tambah Trump.

Parahnya lagi, Trump membantah pemberitaan yang menyebutkan bahwa AS telah setuju untuk menahan diri dari menaikkan bea masuk bagi produk impor asal China.

“Saya tak menjanjikkannya, tidak,” kata Trump. Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, AS-China yang pada akhirnya berhasil memperbaiki hubungan di bidang perdagangan.

Pasca berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20, Trump dan Xi menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.

Dilansir dari CNBC International, kedua negara secara terpisah mengumumkan bahwa mereka telah setuju untuk tak saling mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor dari masing-masing negara.

Media milik pemerintah China Xinhua menyebut bahwa kedua pimpinan negara setuju "untuk memulai kembali negosiasi dagang antar kedua negara dengan dasar kesetaraan dan rasa hormat."

Lebih lanjut, Trump menyebut bahwa China akan membeli produk-produk agrikultur asal AS dalam jumlah besar.

"Kami menahan diri dari (mengenakan) bea masuk dan mereka akan membeli produk pertanian (asal AS)," tutur Trump, dilansir dari CNBC International.

Walaupun belum dikonfirmasi pihak China, jika apa yang disebutkan Trump tersebut benar adanya, maka hal ini tentu akan mengerek laju perekonomian AS.

Selama ini, produk agrikultur memang menjadi incaran pemerintah China dalam upayanya melawan balik serangan-serangan AS. Pada tanggal 1 Juni, pemerintah China resmi mengenakan bea masuk baru bagi produk agrikultur asal AS seperti kacang tanah, gula, gandum, ayam, dan kalkun. Bea masuk baru yang berlaku adalah 20% dan 25%, dari yang sebelumnya 5% dan 10%.

Kala perekonomian AS dan China menggeliat, tentu laju perekonomian global akan terkerek naik, mengingat AS dan China merupakan dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.

Sentimen kedua yang patut dicermati pelaku pasar adalah aura perdamaian antara AS dengan Korea Utara. Selepas gelaran KTT G20 berakhir, Trump bertolak ke Korea Selatan.

Menjelang kunjungannya tersebut, Trump mengungkapkan keinginannya untuk bertemu dengan Pimpinan Korea Utara, Kim Jong Un. Hal ini diungkapkan melalui akun Twitter pribadinya, @realDonaldTrump. Secara mengejutkan, Kim bersedia untuk menemuinya. Kemarin waktu setempat, Trump menemui Kim di zona demiliterisasi yang memisahkan Korea Selatan dengan Korea Utara. Usai berjabat tangan dan sedikit berbincang dengan Kim, Trump kemudian diajaknya untuk melewati perbatasan, menjadikannya presiden AS pertama yang menginjakkan kaki di Korea Utara kala sedang menjabat.

Pertemuan kali ini menjadi yang ketiga antara Trump dengan Kim pasca pertemuan kedua di Vietnam beberapa waktu yang lalu berakhir dengan buruk. Kala itu, AS dan Korea Utara bersitegang lantaran tak mencapai titik temu terkait dengan denuklirisasi Korea Utara.

Saat bertemu Kim kemarin, Trump mengundang orang nomor satu di Korea Utara itu untuk bertandang ke AS, tepatnya ke Gedung Putih.

"Kapanpun dia mau melakukannya. Saya pikir kami ingin membawa ini ke tingkat selanjutnya, mari kita lihat apa yang akan terjadi," kata Trump seperti dilansir dari detikcom, Minggu (30/6/2019).

Trump mengatakan bahwa pasca pertemuannya dengan Kim, delegasi AS dan Korea Utara akan melakukan pertemuan lanjutan dalam dua atau tiga minggu ke depan guna membicarakan program nuklir milik Pyongyang.

Kala AS dan Korea Utara jauh dari yang namanya peperangan, investor akan terdorong untuk masuk ke instrumen yang relatif berisiko sehingga pasar keuangan Indonesia berpotensi membukukan apresiasi. Namun, pelaku pasar perlu mewaspadai sentimen ketiga yakni pergerakan harga minyak mentah dunia. Hingga pukul 06:40 WIB, harga minyak WTI kontrak pengiriman bulan Agustus melesat 1,56% ke level US$ 59,38/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman bulan September melejit 1,44% ke level US$ 65,67/barel.

Hasil pertemuan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman di sela-sela gelaran KTT G20 menjadi faktor yang membuat harga minyak langsung tancap gas pada awal pekan.

Putin berhasil meyakinkan Salman untuk memperpanjang program pembatasan produksi minyak oleh negara-negara OPEC+ (negara-negara OPEC + Rusia).

Sejatinya, program pembatasan produksi yang ditujukan untuk mempertahankan harga minyak mentah di level yang relatif tinggi itu akan berakhir pada akhir bulan ini. Putin mengatakan bahwa perpanjangan program pembatasan produksi minyak dapat berlaku selama enam atau sembilan bulan.

Kala produksi kembali ditahan, maka pasokan akan menipis dan harga pun mau tak mau terkerek naik.

Dengan melesatnya harga minyak mentah, akan ada kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi kian sulit untuk diredam. Pada akhirnya, ada potensi rupiah akan melemah lantaran sokongan fundamental yang tak kuat.

Pelemahan rupiah patut diwaspadai karena bisa saja membuat investor asing mengabaikan sentimen positif yang ada dan malah melego saham serta obligasi di tanah air.

Sentimen keempat yang patut dicermati investor datang dari dalam negeri. Pada siang hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis angka inflasi periode Mei 2019. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Juni sebesar 0,46% month-on-month (MoM) dan 3,185% year-on-year (YoY). Sementara itu, inflasi inti secara tahunan diperkirakan berada di level 3,13%.

Jika realisasi data inflasi sesuai perkiraan, maka terjadi perlambatan dibandingkan Mei. Kala itu, inflasi tercatat 0,68% MoM, 3,32% YoY, dan inflasi inti sebesar 3,12% YoY.

Namun, perlambatan inflasi tersebut merupakan sebuah hal yang wajar karena sebagian besar bulan Mei diwarnai oleh Ramadan. Bulan suci umat Islam ini merupakan puncak konsumsi rumah tangga di tanah air sehingga mendorong inflasi dari sisi permintaan.

Juniman, Kepala Ekonom Maybank Indonesia, menilai inflasi Juni kembali ke mode normal. Ada kenaikan harga sejumlah bahan pangan, tetapi secara umum masih terkendali.

"Beberapa bahan pangan yang mengalami kenaikan harga antara lain cabai, beras, ikan segar, telur ayam ras, dan daging sapi. Namun di sisi lain ada pula yang harganya turun seperti daging ayam ras, bawang putih, bawang bombai, dan sayur-mayur," sebut Juniman.

Inflasi yang terkendali tentu akan menopang daya beli masyarakat Indonesia, sekaligus menjadi kabar positif bagi pasar keuangan tanah air. Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pertumbuhan ekspor & impor Korea Selatan periode Juni (07:00 WIB)
  • Rilis data Manufacturing PMI Korea Selatan periode Juni versi Nikkei (07:30 WIB)
  • Rilis pembacaan akhir untuk data Manufacturing PMI Jepang periode Juni versi Nikkei (07:30 WIB)
  • Rilis data Manufacturing PMI China periode Juni versi Caixin (08:45 WIB)
  • Rilis angka inflasi Indonesia periode Juni 2019 (11:00 WIB)
  • Rilis angka indeks keyakinan konsumen Jepang periode Juni (12:00 WIB)
  • Rilis data Manufacturing PMI AS periode Juni versi ISM (21:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Mei 2019 YoY)3,32%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juni 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Mei 2019)US$ 120,35 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular