Newsletter

Kepada Yth AS dan China, Make Peace Not War!

Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 May 2019 05:10
Kepada Yth AS dan China, <i>Make Peace Not War</i>!
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia akhirnya pulih setelah lama tertekan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah mampu menguat. 

Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup naik 0,65%. Penguatan ini memutus rantai koreksi yang sudah terjadi selama tiga hari beruntun. 


Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,1% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah sudah 10 hari tidak pernah finis di jalur hijau, sehingga penguatan ini terasa spesial. 


Penguatan IHSG dan rupiah sepertinya lebih didorong oleh sentimen domestik. Pertama, seperti yang sudah disebutkan, IHSG dan rupiah sudah tertekan cukup lama. Keduanya menyimpan energi untuk technical rebound, dan energi itu dilepaskan kemarin. 

Kedua adalah rilis data penjualan ritel. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada Maret melesat 10,7% year-on-year (YoY). Ini merupakan pencapaian terbaik sejak Desember 2016. 

Data ini memberi gambaran bahwa konsumsi rumah tangga masih kuat, bahkan semakin kuat. Pertumbuhan penjualan ritel sangat mungkin lebih tinggi lagi pada bulan-bulan selanjutnya, didorong oleh momentum Ramadan-Idul Fitri yang merupakan puncak konsumsi masyarakat. 

Artinya, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan bakal cerah. Sebab, konsumsi rumah tangga menyumbang hampir 60% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. 

Dua hal ini berhasil menutup sentimen eksternal yang sebenarnya masih negatif, yaitu risiko perang dagang AS-China. Setelah Presiden AS Donald Trump mengancam menaikkan bea masuk untuk importasi US$ 200 miliar produk China, situasi belum mendingin. 


Hal ini menjadi sentimen negatif di pasar keuangan Asia. Namun berkat sentimen domestik yang positif, isu perang dagang berhasil dijinakkan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Namun hari ini, investor di Asia patut waspada karena ada kabar mengejutkan dari Wall Street. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,79%, S&P 500 amblas 1,65%, dan Nasdaq Composite ambrol 1,96%. 

Perkembangan friksi dagang AS-China yang semakin meruncing membuat investor gugup. Tidak hanya Trump, sejumlah pembantunya juga galak terhadap China. 

"Dalam beberapa pekan terakhir, kami melihat ada penurunan komitmen dari pihak China. Kami tidak bicara soal membatalkan dialog, tetapi mulai Jumat akan ada tarif bea masuk baru," tegas Robert Lighthizer, Kepala Perwakilan Dagang AS, dikutip dari Reuters. 

Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, menambahkan bahwa China memang perlu didorong untuk segera menyelesaikan dialog dagang. Untuk itu, perlu ada langkah yang cukup drastis. 

"Mereka (China) coba untuk mundur ke hal-hal yang sebelumnya pernah dibicarakan, jelas ada upaya untuk mengubah kesepakatan. Oleh karena itu, seluruh tim ekonomi pemerintahan AS sepakat dan merekomendasikan kepada presiden untuk bergerak maju dengan bea masuk jika kita tidak bisa menyelesaikan kesepakatan dagang akhir pekan ini," ungkap Mnuchin, mengutip Reuters. 

Pernyataan kedua pejabat teras tersebut tentu membuat pasar cemas. Harapan damai dagang perlahan memudar bagai setengah makhluk alam semesta yang dihilangkan oleh Thanos. 

"Pekan demi pekan kita semua mendengar ada perkembangan positif. Namun kini semua berubah. Ekspektasi sudah bergeser," kata Kate Warne, Investment Strategist di Edward Jones yang berbasis di St Louis, mengutip Reuters. 

Pada Kamis dan Jumat pekan ini waktu setempat, Wakil Perdana Menteri China Liu He akan berkunjung ke Washington untuk melanjutkan dialog dagang. Jika kesepakatan tidak tercapai, maka AS akan menaikkan bea masuk bagi importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. 

Kalau AS sampai menaikkan bea masuk, apakah China bisa terima? Kemungkinan besar tidak dan akan dibalas dengan kebijakan yang sama. Perang dagang, saudara-saudara... 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu 'kebakaran' di Wall Street. Dikhawatirkan kejadian di Wall Street menular ke Asia, menciptakan kepanikan. 

Sentimen kedua adalah perkembangan friksi dagang AS-China. Setelah kemarin sempat terpancing emosi, kini China mulai sabar lagi dan berusaha mendinginkan situasi. 

"Bea masuk bukan solusi. Pembicaraan adalah proses dalam sebuah perundingan, normal saja kedua pihak punya perbedaan. Namun China akan tetap tulus melanjutkan negosiasi," kata Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeru China, dikutip dari Reuters. 

Semoga sikap sabar China berbuah hasil. Semoga Liu dan kolega berhasil meyakinkan Washington dalam dialog pekan ini dan menghasilkan sebuah kesepakatan.

Semoga damai dagang yang tercipta, bukan perang dagang. Make peace not war... 

Sentimen ketiga yang perlu diperhatikan adalah harga minyak. Pada pukul 04:42 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 2,18% dan light sweet jatuh 1,32%. 

Persepsi terhadap melimpahnya pasokan membuat harga si emas hitam terkoreksi dalam. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan investori minyak AS pekan lalu naik 1,2 juta barel. Sementara US Energy Information Administration memperkirakan produksi minyak Negeri Paman Sam tahun ini bisa mencapai 12,5 juta barel/hari, naik dibandingkan 2018 yaitu 11 juta barel/hari. 

Penurunan harga minyak bisa berdampak positif buat rupiah. Ketika harga minyak turun, maka biaya impor komoditas ini akan lebih murah. Tentu akan meringankan beban neraca pembayaran dan transaksi berjalan (current account). 

Akhir pekan ini, BI akan merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang salah satu komponennya adalah transaksi berjalan. Pelaku pasar tentu akan mencermati data ini untuk melihat bagaimana kondisi keseimbangan eksternal Indonesia. 

Jika hasilnya membaik, maka akan menjadi sentimen positif buat rupiah. Sebab, rupiah akan ditopang oleh devisa yang lebih banyak. 

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis cadangan devisa periode April. Sejak turun pada Januari, cadangan devisa Indonesia terus meningkat sampai Maret menjadi US$ 124,5 miliar. 

Apabila cadangan devisa kembali naik, maka akan menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan Indonesia. Sebab akan terbentuk persepsi bahwa BI memiliki amunisi yang memadai untuk stabilisasi nilai tukar. Rupiah tidak akan terlalu volatil dengan adanya pengawalan BI, yang ditunjang oleh cadangan devisa mumpuni. 

Stabilitas nilai tukar adalah hal yang sangat penting bagi pelaku pasar dan dunia usaha. Untuk menjaga stabilitas itu perlu modal, dan cadangan devisa adalah salah satu sumbernya. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data transaksi berjalan Korea Selatan periode Maret (06:00 WIB).
  • Rilis data ekspor-impor China periode April (10:00 WIB).
  • Rilis data cadangan devisa Indonesia periode April (10:00 WIB).
  • Rilis Purchasing Manager's Index (PMI) jasa Jepang periode April (07:30 WIB).
  • Rilis data produksi industri Jerman periode Maret (13:00 WIB/perkiraan).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY)5,17%
Inflasi (April 2019 YoY)2,83%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Maret 2019)US$ 124,54 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Anies Restui Restoran Hingga Bioskop Buka! Cuan, Cuan, Cuan?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular