
Newsletter
Nantikan Pengumuman Bunga Acuan, ke Mana Arah Pasar Hari Ini?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
25 April 2019 05:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,23%, nilai tukar rupiah melemah 0,14% terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun terkerek naik 2,8 bps.
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah. Indeks Nikkei 225 turun 0,27%, Hang Seng melemah 0,53%, dan indeks Kospi minus 0,88%. Lebih lanjut, nasib rupiah juga sama dengan mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya yang bertekuk lutut di hadapan dolar AS.
Aura damai dagang AS-China gagal mengangkat kinerja pasar keuangan regional. Mengutip keterangan tertulis Gedung Putih, delegasi AS akan bertandang ke Beijing pada 30 April. Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan memimpin delegasi AS.
"Materi pembicaraan pekan depan akan mencakup isu-isu perdagangan termasuk hak kekayaan intelektual, transfer teknologi, hambatan non-tarif, pertanian, jasa, pembelian, dan penegakan hukum," sebut pernyataan dari Gedung Putih.
Kemudian pada 8 Mei giliran kontingen China yang mengunjungi Beijing, dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He. Dialog yang semakin intens semestinya menjadi pertanda bahwa damai dagang sudah dekat.
Namun isu ini tenggelam karena sepertinya ada perang dagang lain yang sudah di depan mata, yaitu AS vs Uni Eropa. Beberapa waktu lalu, AS mengancam akan menerapkan bea masuk untuk importasi produk Uni Eropa senilai US$ 11 miliar. Uni Eropa pun balas menggertak dengan mengeluarkan daftar produk-produk made in the USA senilai US$ 20 miliar yang siap dikenakan bea masuk.
Kemarin, ada perkembangan terbaru. Presiden AS Donald Trump kian geram kepada Uni Eropa, karena bea masuk bagi produk AS menyebabkan laba perusahaan Negeri Paman Sam anjlok.
Pada kuartal I-2019, laba bersih Harley-Davidson anjlok nyaris 72%. Penurunan permintaan, biaya impor bahan baku yang lebih tinggi (karena bea masuk yang dikenakan AS), dan bea masuk yang dikenakan Uni Eropa merupakan tiga faktor utama yang membebani laporan keuangan perusahaan.
"Sangat tidak adil bagi AS. Kami akan membalas!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter.
Kekhawatiran terhadap ancaman perang dagang AS-Uni Eropa ternyata lebih membuat pasar cemas ketimbang prospek damai dagang AS-China. Hasilnya adalah pasar keuangan Asia kompak melemah, tidak terkecuali Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir di zona merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan S&P sama-sama turun 0,22%, sedangkan Nasdaq Composite terkoreksi 0,23%.
Kemarin, DJIA cs ditutup menguat bahkan menembus rekor tertinggi sepanjang masa. Oleh karena itu, ada saja investor yang kemudian gatal untuk mengambil kesempatan. Aksi ambil untung (profit taking) tidak tertahankan, sehingga bursa saham New York melemah hari ini.
Selain itu, laporan keuangan emiten yang kurang oke juga menjadi beban buat Wall Street. Caterpillar membukukan laba bersih US$ 2,94 per saham, lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan di US$ 2,85.
Namun hal yang mencemaskan investor adalah penurunan ekspor ke China. Perang dagang AS-China yang secara formal belum selesai membuat produk-produk Caterpillar kena bea masuk di China. Akibatnya, margin perseroan turun dari 19,7% pada kuartal I-2018 menjadi 18,5% pada kuartal I-2019.
"Caterpillar terekspos dengan China. Ini yang membuat margin agak mengecewakan," ujar Andrew Bonfield, Chief Financial Officer Caterpillar, mengutip Reuters.
Laporan keuangan ini membawa saham Caterpillar anjlok 3,03%. Koreksi saham Caterpillar menjadi penyebab utama terseretnya DJIA ke zona merah.
Sementara saham AT&T amblas 4,08%. Penyebabnya sama, laporan keuangan yang kurang ciamik.
Pendapatan bersih AT&T pada kuartal I-2019 adalah US$ 44,83%, naik hampir 18% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Walau naik, tetapi berada di bawah konsensus pasar yang memperkirakan US$ 45,11 miliar.
"Secara umum, sepertinya pelaku pasar ingin rehat sebentar. Ingat, akan ada banyak rilis laporan keuangan pekan ini dan pekan depan," kata Laura Kane, Head of Americas Thematic Investing di UBS Global Wealth Management, seperti dikutip dari Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dinamika di Wall Street yang kurang imperesif. Merahnya Wall Street dikhawatirkan menjadi start yang buruk bagi pasar keuangan Asia.
Sentimen kedua, rupiah perlu hati-hati karena dolar AS masih saja perkasa. Pada pukul 05:00 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,44%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini terdongrak 1,02%.
Sumber kekuatan dolar AS adalah perkembangan di Eropa yang kian suram. Angka pembacaan awal indeks iklim bisnis Jerman untuk periode April adalah 99,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 99,7.
"Optimisme pada Maret sudah menguap. Ekonomi Jerman masih kehilangan kekuatan" kata Presiden Ifo Economic Institute, dikutip dari Reuters.
Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa. Jika Jerman lesu, maka seluruh Benua Biru bisa ikut lesu. Akibatnya mata uang euro dihantam aksi jual, dan aliran modal memihak kepada dolar AS.
Apabila tren penguatan dolar AS terus bertahan, maka rupiah masih akan dalam posisi yang sulit. Menguat sepertinya akan menjadi sebuah mission impossible.
Namun, rupiah bisa diuntungkan dengan sentimen ketiga yaitu koreksi harga minyak. Pada pukul 05:07 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,04% sementara light sweet turun lumayan dalam yaitu 0,83%.
Penurunan harga si emas hitam disebabkan oleh kenaikan inventori AS. US Energy Information Administration melaporkan inventori minyak AS pekan lalu naik sampai 5,5 juta barel. Jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan kenaiikan 1,3 juta barel. Akibatnya, terjadi persepsi kelebihan pasokan sehingga harga bergerak turun.
Bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berkah. Sebab, Indonesia mau tidak mau harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang tidak kunjung mencukupi.
Kalau harga minyak turun, berarti biaya importasi komoditas ini akan lebih murah. Tekanan di transaksi berjalan (current account) akan berkurang dan rupiah punya ruang untuk menguat.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat masih mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 6%.
Sepertinya pertimbangan utama BI menahan suku bunga acuan adalah perkembangan transaksi berjalan. Kalau hanya melihat inflasi, bisa saja BI sudah menurunkan 7 Day Reverse Repo Rate. Risiko inflasi sudah begitu kecil, tidak ada isu.
Namun transaksi berjalan masih menjadi salah satu risiko besar di perekonomian Indonesia dan pengaruhnya bisa menjalar ke mana-mana, termasuk nilai tukar rupiah.
Pada Maret, Indonesia memang mencatat surplus neraca perdagangan US$ 540 juta. Namun perlu dicatat bahwa ekspor anjlok dengan penurunan 10,01% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Hawa perlambatan ekonomi global sudah begitu terasa mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Data-data ekonomi di sejumlah negara mitra dagang utama Indonesia memberikan alarm yang mencemaskan.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China pada 2019 tumbuh 6,3%. Cukup jauh melambat dibandingkan 2018 yaitu 6,6%, itu saja sudah menjadi laju terlemah sejak 1990.
Sementara ekonomi AS tahun ini diperkirakan tumbuh 2,3%, turun lumayan drastis ketimbang 2018 yang sebesar 2,9%. Kemudian pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN-5 pada 2019 diramal 5,1%, melambat dibandingkan 2018 yaitu 5,2%.
Transaksi berjalan adalah neraca yang mencerminkan pasokan valas dari sisi perdagangan, ekspor-impor barang dan jasa. Ketika ekspor terancam karena penurunan permintaan akibat perlambatan ekonomi, maka defisit transaksi berjalan berpotensi melebar sehingga rupiah bisa kekurangan modal untuk menguat.
Kalau urusannya sudah menyangkut rupiah, maka BI tentu tidak bisa tinggal diam. Transaksi berjalan yang sejatinya adalah fenomena sektor riil berubah menjadi fenomena moneter yang membutuhkan campur tangan bank sentral.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Anies Restui Restoran Hingga Bioskop Buka! Cuan, Cuan, Cuan?
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah. Indeks Nikkei 225 turun 0,27%, Hang Seng melemah 0,53%, dan indeks Kospi minus 0,88%. Lebih lanjut, nasib rupiah juga sama dengan mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya yang bertekuk lutut di hadapan dolar AS.
Aura damai dagang AS-China gagal mengangkat kinerja pasar keuangan regional. Mengutip keterangan tertulis Gedung Putih, delegasi AS akan bertandang ke Beijing pada 30 April. Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan memimpin delegasi AS.
"Materi pembicaraan pekan depan akan mencakup isu-isu perdagangan termasuk hak kekayaan intelektual, transfer teknologi, hambatan non-tarif, pertanian, jasa, pembelian, dan penegakan hukum," sebut pernyataan dari Gedung Putih.
Kemudian pada 8 Mei giliran kontingen China yang mengunjungi Beijing, dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He. Dialog yang semakin intens semestinya menjadi pertanda bahwa damai dagang sudah dekat.
Namun isu ini tenggelam karena sepertinya ada perang dagang lain yang sudah di depan mata, yaitu AS vs Uni Eropa. Beberapa waktu lalu, AS mengancam akan menerapkan bea masuk untuk importasi produk Uni Eropa senilai US$ 11 miliar. Uni Eropa pun balas menggertak dengan mengeluarkan daftar produk-produk made in the USA senilai US$ 20 miliar yang siap dikenakan bea masuk.
Kemarin, ada perkembangan terbaru. Presiden AS Donald Trump kian geram kepada Uni Eropa, karena bea masuk bagi produk AS menyebabkan laba perusahaan Negeri Paman Sam anjlok.
Pada kuartal I-2019, laba bersih Harley-Davidson anjlok nyaris 72%. Penurunan permintaan, biaya impor bahan baku yang lebih tinggi (karena bea masuk yang dikenakan AS), dan bea masuk yang dikenakan Uni Eropa merupakan tiga faktor utama yang membebani laporan keuangan perusahaan.
"Sangat tidak adil bagi AS. Kami akan membalas!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter.
Kekhawatiran terhadap ancaman perang dagang AS-Uni Eropa ternyata lebih membuat pasar cemas ketimbang prospek damai dagang AS-China. Hasilnya adalah pasar keuangan Asia kompak melemah, tidak terkecuali Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir di zona merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan S&P sama-sama turun 0,22%, sedangkan Nasdaq Composite terkoreksi 0,23%.
Kemarin, DJIA cs ditutup menguat bahkan menembus rekor tertinggi sepanjang masa. Oleh karena itu, ada saja investor yang kemudian gatal untuk mengambil kesempatan. Aksi ambil untung (profit taking) tidak tertahankan, sehingga bursa saham New York melemah hari ini.
Selain itu, laporan keuangan emiten yang kurang oke juga menjadi beban buat Wall Street. Caterpillar membukukan laba bersih US$ 2,94 per saham, lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan di US$ 2,85.
Namun hal yang mencemaskan investor adalah penurunan ekspor ke China. Perang dagang AS-China yang secara formal belum selesai membuat produk-produk Caterpillar kena bea masuk di China. Akibatnya, margin perseroan turun dari 19,7% pada kuartal I-2018 menjadi 18,5% pada kuartal I-2019.
"Caterpillar terekspos dengan China. Ini yang membuat margin agak mengecewakan," ujar Andrew Bonfield, Chief Financial Officer Caterpillar, mengutip Reuters.
Laporan keuangan ini membawa saham Caterpillar anjlok 3,03%. Koreksi saham Caterpillar menjadi penyebab utama terseretnya DJIA ke zona merah.
Sementara saham AT&T amblas 4,08%. Penyebabnya sama, laporan keuangan yang kurang ciamik.
Pendapatan bersih AT&T pada kuartal I-2019 adalah US$ 44,83%, naik hampir 18% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Walau naik, tetapi berada di bawah konsensus pasar yang memperkirakan US$ 45,11 miliar.
"Secara umum, sepertinya pelaku pasar ingin rehat sebentar. Ingat, akan ada banyak rilis laporan keuangan pekan ini dan pekan depan," kata Laura Kane, Head of Americas Thematic Investing di UBS Global Wealth Management, seperti dikutip dari Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dinamika di Wall Street yang kurang imperesif. Merahnya Wall Street dikhawatirkan menjadi start yang buruk bagi pasar keuangan Asia.
Sentimen kedua, rupiah perlu hati-hati karena dolar AS masih saja perkasa. Pada pukul 05:00 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,44%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini terdongrak 1,02%.
Sumber kekuatan dolar AS adalah perkembangan di Eropa yang kian suram. Angka pembacaan awal indeks iklim bisnis Jerman untuk periode April adalah 99,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 99,7.
"Optimisme pada Maret sudah menguap. Ekonomi Jerman masih kehilangan kekuatan" kata Presiden Ifo Economic Institute, dikutip dari Reuters.
Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa. Jika Jerman lesu, maka seluruh Benua Biru bisa ikut lesu. Akibatnya mata uang euro dihantam aksi jual, dan aliran modal memihak kepada dolar AS.
Apabila tren penguatan dolar AS terus bertahan, maka rupiah masih akan dalam posisi yang sulit. Menguat sepertinya akan menjadi sebuah mission impossible.
Namun, rupiah bisa diuntungkan dengan sentimen ketiga yaitu koreksi harga minyak. Pada pukul 05:07 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,04% sementara light sweet turun lumayan dalam yaitu 0,83%.
Penurunan harga si emas hitam disebabkan oleh kenaikan inventori AS. US Energy Information Administration melaporkan inventori minyak AS pekan lalu naik sampai 5,5 juta barel. Jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan kenaiikan 1,3 juta barel. Akibatnya, terjadi persepsi kelebihan pasokan sehingga harga bergerak turun.
Bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berkah. Sebab, Indonesia mau tidak mau harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang tidak kunjung mencukupi.
Kalau harga minyak turun, berarti biaya importasi komoditas ini akan lebih murah. Tekanan di transaksi berjalan (current account) akan berkurang dan rupiah punya ruang untuk menguat.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat masih mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 6%.
Sepertinya pertimbangan utama BI menahan suku bunga acuan adalah perkembangan transaksi berjalan. Kalau hanya melihat inflasi, bisa saja BI sudah menurunkan 7 Day Reverse Repo Rate. Risiko inflasi sudah begitu kecil, tidak ada isu.
Namun transaksi berjalan masih menjadi salah satu risiko besar di perekonomian Indonesia dan pengaruhnya bisa menjalar ke mana-mana, termasuk nilai tukar rupiah.
Pada Maret, Indonesia memang mencatat surplus neraca perdagangan US$ 540 juta. Namun perlu dicatat bahwa ekspor anjlok dengan penurunan 10,01% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Hawa perlambatan ekonomi global sudah begitu terasa mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Data-data ekonomi di sejumlah negara mitra dagang utama Indonesia memberikan alarm yang mencemaskan.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China pada 2019 tumbuh 6,3%. Cukup jauh melambat dibandingkan 2018 yaitu 6,6%, itu saja sudah menjadi laju terlemah sejak 1990.
Sementara ekonomi AS tahun ini diperkirakan tumbuh 2,3%, turun lumayan drastis ketimbang 2018 yang sebesar 2,9%. Kemudian pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN-5 pada 2019 diramal 5,1%, melambat dibandingkan 2018 yaitu 5,2%.
Transaksi berjalan adalah neraca yang mencerminkan pasokan valas dari sisi perdagangan, ekspor-impor barang dan jasa. Ketika ekspor terancam karena penurunan permintaan akibat perlambatan ekonomi, maka defisit transaksi berjalan berpotensi melebar sehingga rupiah bisa kekurangan modal untuk menguat.
Kalau urusannya sudah menyangkut rupiah, maka BI tentu tidak bisa tinggal diam. Transaksi berjalan yang sejatinya adalah fenomena sektor riil berubah menjadi fenomena moneter yang membutuhkan campur tangan bank sentral.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
- Rilis suku bunga acuan Jepang (10:00 WIB).
- Rilis suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate Indonesia (14:30 WIB).
- Rilis data pemesanan barang tahan lama AS periode Maret (19:30 WIB).
- Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 20 April (19:30 WIB).
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Maret 2019 YoY) | 2,48% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2018) | -2,98% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | -US$ 7,13 miliar |
Cadangan devisa (Maret 2019) | US$ 124,54 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Anies Restui Restoran Hingga Bioskop Buka! Cuan, Cuan, Cuan?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular