
Newsletter
Selamat Datang di Pekan Demokrasi, Bung!
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
15 April 2019 05:53

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang lumayan bagus pada akhir pekan dan sepanjang pekan lalu. Semoga ini menjadi penyemangat bagi pelaku pasar di Asia untuk memulai pekan yang baru.
Sentimen kedua, kinerja Wall Street yang memuaskan membuat investor mulai berani mengambil risiko. Aset-aset aman ditinggalkan, salah satunya dolar AS.
Pada pukul 02:31 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,34%. Jika pelemahan dolar AS terus bertahan, maka rupiah akan berpeluang melanjutkan penguatan.
Sentimen ketiga, seperti pekan lalu, investor perlu waspada dengan pernyataan dari IMF. Dalam pertemuan musim semi (Spring Meeting) IMF-Bank Dunia di Washington pada 12-14 April lalu, suasananya tidak begitu ceria.
"Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan membaik tahun depan, tetapi tensi perdagangan, risiko geopolitik, dan instabilitas politik tetap menjadi tantangan. Kita semua harus sepakat untuk terus memelihara momentum pertumbuhan ekonomi," kata Lesetja Kganyago, Gubernur Bank Sentral Afrika Selatan yang juga ketua komite pertemuan, seperti dikutip dari Reuters.
"Meski tahun depan diperkirakan ada perbaikan, tetapi jika perlambatan ekonomi negara-negara maju mempengaruhi negara-negara lain, maka prospek pertumbuhan akan menipis. Ini akan menciptakan ketidakpastian," tambah Menteri Keuangan Jepang Taro Aso, mengutip Reuters.
Jadi layaknya pekan lalu, investor harus waspada dengan aura gloomy dari IMF (dan juga Bank Dunia). Jangan-jangan hal ini bisa mengarahkan pasar ke jurang koreksi, seperti yang terjadi pada awal pekan lalu.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional Indonesia periode Maret. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi alias minus 10,75% year-on-year (YoY). Sementara impor juga diperkirakan terkontraksi, tetapi hanya 4,15% YoY.
Ini membuat neraca perdagangan diramal defisit US$ 217 juta. Pada bulan sebelumnya, neraca perdagangan masih bisa mencatat surplus US$ 300 juta.
Jika neraca perdagangan Maret benar-benar defisit, maka selama kuartal I-2019 hanya terjadi sekali surplus yaitu pada Februari. Dengan begitu, nasib transaksi berjalan (current account) kuartal I-2019 akan menjadi tanda tanya besar.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa transaksi berjalan pada kuartal I-2019 akan mencatat defisit US$ 6,7 miliar. Lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya, tetapi melebar dibandingkan kuartal I-2018.
Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan devisa yang masuk dan keluar dari ekspor-impor barang dan jasa. Sumber devisa dari sektor perdagangan ini lebih bertahan lama, tidak gampang keluar-masuk seperti dari kamar sebelah yaitu investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money.
Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fondasi yang sangat penting bagi stabilitas nilai tukar mata uang. Kalau transaksi berjalan masih defisit, nilai tukar mata uang menjadi cenderung fluktuatif karena menggantungkan nasib dari hot money yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik. J
adi, data neraca perdagangan kemungkinan akan menentukan nasib rupiah hari ini. Apabila terjadi defisit yang lebih dalam dari ekspektasi pasar, maka akan menjadi alamat buruk buat rupiah. Sebaliknya kalau defisitnya lebih sedikit, apalagi bisa surplus, maka rupiah akan mendapatkan angin segar dan mungkin bisa kembali terapresiasi.
Sentimen kelima, lagi-lagi dari dalam negeri, adalah pelaksanaan Pemilu yang semakin dekat. Lima menit untuk lima tahun, suara rakyat akan menentukan para pemimpin negara dan arah kebijakan ke depan.
Pekan lalu, ada tanda-tanda pelaku pasar (terutama domestik) mulai wait and see karena menunggu Pemilu. Ada kemungkinan investor kembali melakukan hal yang sama, apalagi Pemilu tinggal menghitung hari bahkan jam.
Selamat datang di pekan demokrasi...
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Sentimen kedua, kinerja Wall Street yang memuaskan membuat investor mulai berani mengambil risiko. Aset-aset aman ditinggalkan, salah satunya dolar AS.
Pada pukul 02:31 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,34%. Jika pelemahan dolar AS terus bertahan, maka rupiah akan berpeluang melanjutkan penguatan.
Sentimen ketiga, seperti pekan lalu, investor perlu waspada dengan pernyataan dari IMF. Dalam pertemuan musim semi (Spring Meeting) IMF-Bank Dunia di Washington pada 12-14 April lalu, suasananya tidak begitu ceria.
"Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan membaik tahun depan, tetapi tensi perdagangan, risiko geopolitik, dan instabilitas politik tetap menjadi tantangan. Kita semua harus sepakat untuk terus memelihara momentum pertumbuhan ekonomi," kata Lesetja Kganyago, Gubernur Bank Sentral Afrika Selatan yang juga ketua komite pertemuan, seperti dikutip dari Reuters.
"Meski tahun depan diperkirakan ada perbaikan, tetapi jika perlambatan ekonomi negara-negara maju mempengaruhi negara-negara lain, maka prospek pertumbuhan akan menipis. Ini akan menciptakan ketidakpastian," tambah Menteri Keuangan Jepang Taro Aso, mengutip Reuters.
Jadi layaknya pekan lalu, investor harus waspada dengan aura gloomy dari IMF (dan juga Bank Dunia). Jangan-jangan hal ini bisa mengarahkan pasar ke jurang koreksi, seperti yang terjadi pada awal pekan lalu.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional Indonesia periode Maret. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi alias minus 10,75% year-on-year (YoY). Sementara impor juga diperkirakan terkontraksi, tetapi hanya 4,15% YoY.
Ini membuat neraca perdagangan diramal defisit US$ 217 juta. Pada bulan sebelumnya, neraca perdagangan masih bisa mencatat surplus US$ 300 juta.
Jika neraca perdagangan Maret benar-benar defisit, maka selama kuartal I-2019 hanya terjadi sekali surplus yaitu pada Februari. Dengan begitu, nasib transaksi berjalan (current account) kuartal I-2019 akan menjadi tanda tanya besar.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa transaksi berjalan pada kuartal I-2019 akan mencatat defisit US$ 6,7 miliar. Lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya, tetapi melebar dibandingkan kuartal I-2018.
Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan devisa yang masuk dan keluar dari ekspor-impor barang dan jasa. Sumber devisa dari sektor perdagangan ini lebih bertahan lama, tidak gampang keluar-masuk seperti dari kamar sebelah yaitu investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money.
Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi fondasi yang sangat penting bagi stabilitas nilai tukar mata uang. Kalau transaksi berjalan masih defisit, nilai tukar mata uang menjadi cenderung fluktuatif karena menggantungkan nasib dari hot money yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik. J
adi, data neraca perdagangan kemungkinan akan menentukan nasib rupiah hari ini. Apabila terjadi defisit yang lebih dalam dari ekspektasi pasar, maka akan menjadi alamat buruk buat rupiah. Sebaliknya kalau defisitnya lebih sedikit, apalagi bisa surplus, maka rupiah akan mendapatkan angin segar dan mungkin bisa kembali terapresiasi.
Sentimen kelima, lagi-lagi dari dalam negeri, adalah pelaksanaan Pemilu yang semakin dekat. Lima menit untuk lima tahun, suara rakyat akan menentukan para pemimpin negara dan arah kebijakan ke depan.
Pekan lalu, ada tanda-tanda pelaku pasar (terutama domestik) mulai wait and see karena menunggu Pemilu. Ada kemungkinan investor kembali melakukan hal yang sama, apalagi Pemilu tinggal menghitung hari bahkan jam.
Selamat datang di pekan demokrasi...
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular