
Newsletter
Yang di Washington Dovish, MH Thamrin Macam Mana?
Taufan Adharsyah & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 March 2019 05:45

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu hasil dari Wall Street yang mixed cenderung minus. Angka-angka yang kurang ciamik tersebut bisa menurunkan mood pelaku pasar di Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah dampak dari hasil rapat The Fed, yaitu nilai tukar dolar AS yang melemah lumayan dalam. Pada pukul 04:39 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) turun 0,39%.
Maklum saja, tahun ini dolar AS sepertinya tidak punya beking berupa kenaikan suku bunga acuan. Tidak seperti tahun lalu di mana The Fed sangat agresif menaikkan suku bunga sehingga dolar AS melaju kencang dan menjadi raja mata uang dunia.
Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS (terutama di aset berpendapatan tetap seperti obligasi) menjadi kurang menarik. Tekanan jual membayangi mata uang Negeri Adidaya sehingga nilainya melemah.
Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia. Arus modal yang menjauhi dolar AS bisa mampir ke pasar keuangan Benua Kuning, termasuk Indonesia, dan menjadi suntikan adrenalin bagi rupiah, IHSG, dan Surat Berharga Negara (SBN).
Sentimen ketiga adalah perkembangan Brexit. Nasib Inggris akan diputuskan dalam pertemuan Uni Eropa pada 21 Maret waktu setempat. Salah satu agenda dalam pertemuan tersebut adalah memutuskan perpanjangan waktu pelaksanaan Brexit.
Sedianya perceraian Inggris dengan Uni Eropa akan terjadi pada 29 Maret. Namun Perdana Menteri Inggris Theresa May meminta extra time menjadi setidaknya 30 Juni.
Brussel sebenarnya setuju saja jika London meminta waktu. Namun harus jelas apakah tambahan waktu tersebut layak diberikan. Jangan-jangan tidak ada gunanya karena proposal Brexit terus-terusan ditolak oleh parlemen Negeri Ratu Elizabeth.
"Saya yakin perpanjangan waktu dimungkinkan. Namun dengan syarat ada perkembangan positif mengenai nasib proposal Brexit di parlemen," tegas Donald Tusk, Presiden Dewan Uni Eropa, dikutip dari Reuters.
Sebagai catatan, proposal Brexit yang diajukan PM May sudah dua kali kandas dalam voting di parlemen. Ini membuat nasib Brexit menjadi tidak jelas, karena masih ada perdebatan di internal Inggris sendiri.
Oleh karena itu, May dengan setengah memohon berharap agar parlemen mau mendukungnya dengan mengesahkan proposal Brexit yang disusun bersama Uni Eropa. May menegaskan bahwa Inggris punya 3 piihan: lepas dari Uni Eropa dengan kesepakatan, meninggalkan Eropa tanpa kesepakatan, atau tetap bersama Uni Eropa.
"Saya sangat berharap parlemen bisa menemukan cara untuk mendukung proposal yang sudah saya negosiasikan dengan Uni Eropa. Kepada seluruh rakyat Inggris, saya berada di sisi Anda," kata May dalam pidato yang disiarkan televisi nasional, seperti dikutip dari Reuters.
Penantian terhadap nasib Brexit bisa membuat pelaku pasar enggan bermain menyerang dan mengambil risiko. Bisa jadi investor memilih main aman sembari menantikan bagaimana keputusan di sidang Uni Eropa. Kalau investor sampai bermain aman dan menghindari risiko, maka akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan negara berkembang Asia, tidak terkecuali Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Sentimen kedua adalah dampak dari hasil rapat The Fed, yaitu nilai tukar dolar AS yang melemah lumayan dalam. Pada pukul 04:39 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) turun 0,39%.
Maklum saja, tahun ini dolar AS sepertinya tidak punya beking berupa kenaikan suku bunga acuan. Tidak seperti tahun lalu di mana The Fed sangat agresif menaikkan suku bunga sehingga dolar AS melaju kencang dan menjadi raja mata uang dunia.
Tanpa kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS (terutama di aset berpendapatan tetap seperti obligasi) menjadi kurang menarik. Tekanan jual membayangi mata uang Negeri Adidaya sehingga nilainya melemah.
Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia. Arus modal yang menjauhi dolar AS bisa mampir ke pasar keuangan Benua Kuning, termasuk Indonesia, dan menjadi suntikan adrenalin bagi rupiah, IHSG, dan Surat Berharga Negara (SBN).
Sentimen ketiga adalah perkembangan Brexit. Nasib Inggris akan diputuskan dalam pertemuan Uni Eropa pada 21 Maret waktu setempat. Salah satu agenda dalam pertemuan tersebut adalah memutuskan perpanjangan waktu pelaksanaan Brexit.
Sedianya perceraian Inggris dengan Uni Eropa akan terjadi pada 29 Maret. Namun Perdana Menteri Inggris Theresa May meminta extra time menjadi setidaknya 30 Juni.
Brussel sebenarnya setuju saja jika London meminta waktu. Namun harus jelas apakah tambahan waktu tersebut layak diberikan. Jangan-jangan tidak ada gunanya karena proposal Brexit terus-terusan ditolak oleh parlemen Negeri Ratu Elizabeth.
"Saya yakin perpanjangan waktu dimungkinkan. Namun dengan syarat ada perkembangan positif mengenai nasib proposal Brexit di parlemen," tegas Donald Tusk, Presiden Dewan Uni Eropa, dikutip dari Reuters.
Sebagai catatan, proposal Brexit yang diajukan PM May sudah dua kali kandas dalam voting di parlemen. Ini membuat nasib Brexit menjadi tidak jelas, karena masih ada perdebatan di internal Inggris sendiri.
Oleh karena itu, May dengan setengah memohon berharap agar parlemen mau mendukungnya dengan mengesahkan proposal Brexit yang disusun bersama Uni Eropa. May menegaskan bahwa Inggris punya 3 piihan: lepas dari Uni Eropa dengan kesepakatan, meninggalkan Eropa tanpa kesepakatan, atau tetap bersama Uni Eropa.
"Saya sangat berharap parlemen bisa menemukan cara untuk mendukung proposal yang sudah saya negosiasikan dengan Uni Eropa. Kepada seluruh rakyat Inggris, saya berada di sisi Anda," kata May dalam pidato yang disiarkan televisi nasional, seperti dikutip dari Reuters.
Penantian terhadap nasib Brexit bisa membuat pelaku pasar enggan bermain menyerang dan mengambil risiko. Bisa jadi investor memilih main aman sembari menantikan bagaimana keputusan di sidang Uni Eropa. Kalau investor sampai bermain aman dan menghindari risiko, maka akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan negara berkembang Asia, tidak terkecuali Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular