Newsletter

Mari Sambut MoU, Eh, Kesepakatan Dagang AS-China

Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
25 February 2019 05:51
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Presiden AS Donald Trump (REUTERS / Kevin Lamarque)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah perkembangan perundingan dagang AS-China, yang diperpanjang selama 2 hari pada akhir pekan waktu Washington.

Setelah menyepakati gambaran besar dari MoU, maaf maksudnya kesepakatan dagang, AS dan China akan membahas hal-hal yang lebih detil, misalnya nasib korporasi yang terseret di pusaran perang dagang. Utamanya adalah perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi dan semikonduktor. 

Ada kemungkinan kesepakatan dagang AS-China akan menyertakan nasib perusahaan-perusahaan yang tengah mengalami masalah seperti Huawei. Sebagai catatan, penegak hukum AS telah resmi menuntut Huawei ke ranah hukum karena ditengarai melakukan perdagangan dengan Iran dan mencuri teknologi robotik yang dikembangkan T-Mobile. Kasus Huawei akan disidangkan pada beberapa pekan ke depan. 

Namun ada kemungkinan nasib Huawei justru akan ditentukan oleh kesepakatan dagang AS-China, bukan putusan pengadilan. Trump memberi isyarat bahwa kesepakatan dagang AS-China kemungkinan akan memasukkan unsur semacam itu. 

"Kami sedang mendiskusikannya," ungkap Trump, mengutip Reuters. 

Oleh karena itu, pelaku pasar sepertinya jangan bosan dulu memasang mata dan telinga untuk mencermati dinamika dialog dagang di Washington. Setiap perkembangan di sana, baik positif maupun negatif, akan menjadi sentimen besar yang berpotensi menggerakkan pasar. 

Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS, yang berpotensi melemah. Damai dagang AS-China yang sepertinya semakin mendekati kenyataan tentu membuat investor beringas dan enggan bermain aman. Lagi-lagi arus modal akan menyemut di aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Sementara dolar AS yang sampai saat ini masih memegang status sebagai aset aman (safe haven) tentu bukan lagi pilihan utama. Aliran modal kemungkinan tidak akan terlalu memihak mata uang Negeri Adidaya. 

Selain itu, dolar AS juga kemungkinan tertekan akibat pernyataan para pejabat The Federal Reserves/The Fed. Kini, sejumlah pejabat teras di Bank Sentral AS mulai mencemaskan kondisi inflasi yang adem-ayem, pertanda ekonomi sedang kurang bergairah. 

"Angka pengangguran turun ke level terendah dalam hampir 50 tahun, tetapi inflasi jarang menyentuh target 2%. Kita harus waspada dengan ekspektasi inflasi, jangan sampai terjangkar terlalu rendah," tegas John Williams, Presiden The Fed New York, seperti dikutip dari Reuters. 

"Inflasi sudah cukup lama berada di bawah target. Jangan terlalu cepat puas," tambah Mary Daly, Presiden The Fed San Francisco, juga mengutip Reuters. 

Pernyataan Williams dan Daly bisa diartikan bahwa The Fed akan membiarkan laju inflasi agak terakselerasi. Kesimpulannya, suku bunga acuan mungkin tidak akan naik untuk beberapa waktu ke depan. Sebab, yang namanya kenaikan suku bunga acuan salah satu tujuannya adalah menjangkar ekspektasi inflasi sementara The Fed tidak ingin ekspektasi inflasi terjangkar terlalu rendah. 

Semakin tipisnya peluang kenaikan Federal Funds Rate membuat berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik. Ini akan menjadi beban tambahan bagi langkah greenback

Jadi, ada peluang bagi rupiah untuk melanjutkan tren positif seperti pekan lalu. Tampaknya awal pekan ini cukup menjanjikan buat rupiah. 

Akan tetapi, rupiah masih harus waspada dengan sentimen ketiga yaitu kenaikan harga minyak. Dalam sepekan terakhir, harga minyak jenis brent naik 1,31% dan light sweet melonjak 3%. 


Ada potensi harga minyak kembali naik pada awal pekan ini. Pasalnya, damai dagang AS-China juga menjadi faktor yang bisa mendongkrak harga si emas hitam. 

Kala dua kekuatan ekonomi terbesar di bumi sudah tidak lagi saling hambat, maka arus perdagangan global akan kembali semarak. Rantai pasok (supply chain) juga akan lancar. Dampaknya adalah pertumbuhan ekonomi dunia bisa saja lebih baik, tidak lagi gloomy seperti yang diperkirakan banyak institusi. 


Saat pertumbuhan ekonomi global membaik, maka permintaan energi akan meningkat sehingga mendongrak harga minyak. Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak bukan sebuah kabar gembira. 

Sebab, Indonesia adalah negara net importir minyak. Produksi dalam negeri yang tidak memadai membuat Indonesia harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan.  

Ketika harga minyak naik, maka biaya impornya tentu menjadi lebih mahal. Artinya semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk keperluan impor minyak. Rupiah jadi kekurangan darah dan rawan melemah. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 4)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular