Newsletter

Kalau Tidak Ada Kabar Baik dari China, Bisa Bahaya...

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
14 February 2019 05:54
Kalau Tidak Ada Kabar Baik dari China, Bisa Bahaya...
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, sementara nilai tukar rupiah mampu menguat. 

Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,11%. IHSG seakan galau, bolak-balik ke zona merah dan hijau. Padahal bursa saham utama Asia mantap bergerak di zona hijau. 


Sementara rupiah menguat tipis 0,07% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan rupiah sempat mencapai kisaran 0,4%, tetapi perlahan-lahan berkurang. 


Sentimen positif bernama damai dagang AS-China memayungi pasar keuangan Asia kemarin. Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin sudah tiba di Beijing untuk meneruskan dialog dagang yang dimulai sejak awal pekan.  

Untuk menambah optimisme, South China Morning Post memberitakan Presiden China Xi Jinping dijadwalkan untuk berkunjung ke arena dialog dagang. Menurut seorang sumber, Presiden Xi akan datang pada Jumat ini. 


Kehadiran Xi akan menjadi morale booster yang ampuh untuk mempercepat laju perundingan. Diharapkan damai dagang menjadi lebih cepat tercipta dan perekonomian global kembali bergeliat. 

Hubungan Washington-Beijing yang membaik juga tampak dari itikad Presiden AS Donald Trump yang mempertimbangkan untuk memperpanjang masa 'gencatan senjata' yang sedianya berakhir pada 1 Maret. Meski langkah itu tidak menjadi pilihan, tetapi mulai dipertimbangkan. 

"Kami bekerja dengan baik di China. Kalau kesepakatan (dengan China) sudah dekat, maka kita akan bisa selesaikan. Saya mungkin bisa menoleransi kesepakatan mundur sedikit (dari tenggat waktu 1 Maret), tetapi saya lebih suka tidak," ujar Trump saat rapat kabinet, mengutip Reuters. 

Hawa damai dagang yang semakin terasa membuat pelaku pasar ogah bermain aman. Aset-aset berisiko di negara berkembang Asia kembali menjadi buruan.

Namun ternyata investor belum sepenuhnya move on dari penyakit lama yang diidap Indonesia, yaitu transaksi berjalan (current account). Kekhawatiran terhadap risiko pelebaran defisit transaksi berjalan muncul lagi seiring lonjakan harga minyak dunia. 


Saat impor minyak semakin mahal karena kenaikan harga minyak, artinya defisit di neraca migas berpotensi semakin menganga. Kalau defisit migas membengkak, maka defisit transaksi berjalan bisa semakin dalam. Artinya, fondasi penopang rupiah menjadi semakin rapuh dan mata uang ini masih dihantui oleh risiko pelemahan. 

Melihat rupiah yang masih berpotensi melemah, investor pun enggan mengoleksi aset-aset berbasis mata uang ini. Sebab, siapa yang mau memiliki aset yang nilainya berpotensi turun? 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama melanjutkan perjalanan di jalur pendakian. Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 0,46%, S&P 500 naik 0,3%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,08%. 

Penguatan Wall Street didorong oleh harapan damai dagang AS-China. Presiden Trump kembali mengeluarkan pernyataan bernada positif. 

"Tim kami sedang melakukan negosiasi di China. Semuanya berjalan baik. Kita lihat saja nanti, tetapi semuanya baik. China sangat menunjukkan rasa hormatnya," kata Trump, mengutip Reuters. 

Harapan semakin membumbung tinggi kala Trump dikabarkan bakal bertemu dengan Presiden Xi pada Maret, tetapi tanggalnya belum dipastikan. "Saya harap kedua pemimpin bisa bertemu untuk memfinalkan kesepakatan," ungkap Stephen Censky, Deputi Menteri Pertanian AS, dikutip dari Reuters. 

Selain sentimen damai dagang, pelaku pasar juga menyambut gembira kemungkinan pemerintahan AS bisa menghindari penutupan sebagian (partial shutdown) setelah anggaran sementara yang berlaku sekarang berakhir pada 15 Februari. Sebab, Trump disebut-sebut bisa menerima usulan anggaran dari Kongres. 

"Saya tidak mau ada shutdown. Poin saya sudah tersampaikan kala shutdown beberapa waktu lalu, yaitu betapa buruknya perbatasan kita, betapa tidak amannya perbatasan kita. Sekarang beberapa perbaikan sudah dilakukan," kata Trump, mengutip Reuters. 

Dalam rancangan anggaran yang akan diajukan Kongres, memang tidak ada pembangunan tembok senilai US$ 5,7 miliar di perbatasan AS-Meksiko seperti yang diinginkan Trump. Namun Kongres merestui pembangunan pagar tinggi di sepanjang perbatasan dengan anggaran US$ 1,37 miliar. 

Jika berjalan lancar, maka Trump sepertinya akan meneken rancangan anggaran baru pada akhir pekan ini. Dengan begitu, AS bisa terhindar dari shutdown

Sentimen positif lainnya bagi bursa saham New York adalah laju inflasi AS yang masih 'jinak'. Pada Januari 2019, laju inflasi Negeri Paman Sam tercatat 1,6% year-on-year (YoY). Ini merupakan laju paling lambat sejak Juni 2017. Sementara inflasi inti berada di angka 2,2% YoY, tidak berubah selama 3 bulan terakhir. 

Laju inflasi yang mild itu membuat pelaku pasar menduga The Federal Reserves/The Fed tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga acuan. Ini adalah kabar gembira bagi pasar saham, karena saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah. 

"The Fed baru akan bereaksi saat inflasi sudah tinggi. Sekarang kita belum melihat itu," ujar Mohammed Kazmi, Portfolio Manager di UBP yang berbasis di Jenewa (Swiss), mengutip Reuters. 

Sentimen positif yang berlimpah membuat Wall Street tidak punya pilihan selain menguat. Semoga hal serupa bisa menular ke pasar keuangan Asia hari ini, termasuk Indonesia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan dialog dagang AS-China di Beijing. Setelah dimulai dengan pembicaraan tingkat wakil menteri mulai awal pekan, hari ini dialog berlanjut dengan pembicaraan tingkat menteri selama 2 hari. 

Menteri Keuangan Mnuchin sudah menerima laporan mengenai perkembangan negosiasi yang akan menjadi bekal diskusi hari ini. "Sejauh ini bagus," ujarnya, mengutip Reuters. 

Semoga kabar baik terus bermunculan dari arena perundingan dagang AS-China. Berbagai berita positif dari sana akan menjadi obat kuat yang ampuh bagi pasar keuangan Asia, tidak terkecuali Indonesia. 

Namun Indonesia perlu mewaspadai sentimen kedua yaitu keperkasaan dolar AS yang masih berlanjut. Pada pukul 05:09 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat hingga 0,5%. Dalam sebulan terakhir, penguatan indeks ini mencapai 1,65%. 

Ternyata ada multitafsir terhadap data inflasi. Di satu sisi, inflasi umum yang tergolong 'jinak' dinilai membatasi ruang kenaikan Federal Funds Rate, setidaknya dalam waktu dekat. Namun di sisi lain, inflasi inti yang stabil di kisaran 2% dianggap menunjukkan konsumsi masyarakat sudah kuat dan mantap sehingga menambah probabilitas Jerome 'Jay' Powell dan kolega untuk menaikkan suku bunga acuan. 

Apapun itu, yang jelas hasilnya adalah dolar AS kembali menguat. Rupiah dkk di Asia perlu waspada, karena dolar AS bisa menerkam kapan saja. 

Sentimen ketiga juga tidak suportif terhadap Indonesia, khususnya rupiah, yaitu tren kenaikan harga minyak yang masih berlangsung. Pada pukul 05:15 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 1,97% dan light sweet melesat 1,6%. Dalam sebulan terakhir, harga brent dan light sweet meroket masing-masing 7,98% dan 6,85%. 

Seperti kemarin, kenaikan harga minyak akan menimbulkan kecemasan terhadap nasib transaksi berjalan Indonesia. Harga minyak yang semakin mahal akan membuat defisit transaksi berjalan semakin dalam, sehingga rupiah kehilangan keseimbangan karena fondasinya begitu rapuh. 

Defisit transaksi berjalan sudah menjadi penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh. Sebelum masalah ini selesai, rupiah memang akan selalu dihantui oleh risiko depresiasi karena fundamentalnya memang tidak mendukung penguatan. 

Sentimen keempat, yang juga bisa membebani pasar keuangan Indonesia, adalah risiko ambil untung (profit taking). Kekhawatiran ini beralasan, karena rupiah dan IHSG sudah melonjak tajam sejak awal tahun. 

IHSG melonjak 3,85% sementara rupiah terapresiasi 2,23%. Kenaikan yang sudah tinggi ini membuka peluang terjadinya koreksi teknikal, Indonesia harus hati-hati. 

Oleh karena itu, sepertinya Indonesia sangat membutuhkan kabar baik dari negosiasi dagang AS-China di Beijing. Sebab sentimen lainnya tidak bisa diandalkan, dan malah berbahaya karena bisa membawa ke arah koreksi.


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data klaim pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 4 Februari (20:30 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel AS periode Desember 2018 (20:30 WIB).
  • Rilis data neraca perdagangan China periode Januari 2019 (tentatif).
  • Rilis data pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal IV-2018 (06:50 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Jerman kuartal IV-2018 (14:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN)RUPS Tahunan09:00 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Januari 2019 YoY)2,82%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Januari 2019)US$ 120,07 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular