
Newsletter
The Fed Tahan Bunga Acuan, Rupiah Siap Bangkit?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 January 2019 05:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat, tetapi rupiah tidak mampu mencatatkan prestasi serupa.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,43%. Bursa saham utama Asia agak mixed, di mana indeks Nikke 25 turun 0,52%, Shanghai Composite melemah 0,72%, Straits Times minus 0,42% sementara Kospi naik 0,91% dan Hang Seng bertambah 0,4%.
Sementara rupiah menyudahi perdagangan pasar spot dengan pelemahan 0,25% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Nasib rupiah betul-betul apes, karena melemah sendirian di antara mata uang utama Asia.
Sentimen yang mewarnai perdagangan kemarin sebenarnya agak positif. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan, kasus yang melibatkan Huawei adalah hal yang terpisah dengan dialog dagang AS-China.
Sebelumnya, pemerintah AS resmi menjatuhkan tuntutan hukum kepada perusahaan telekomunikasi asal China tersebut. Huawei dituding berbisnis dengan Iran (yang sedang dikenai sanksi ekonomi) dan mencuri teknologi robotik milik T-Mobile.
Kejadian itu kebetulan berdekatan dengan kedatangan Wakil Perdana Menteri China Liu He ke Washington pada 30-31 Januari waktu setempat. Pelaku pasar khawatir tuntutan hukum kepada Huawei akan mengacaukan proses damai dagang AS-China.
"Itu (kasus Huawei) adalah isu yang terpisah, dialog yang berbeda. Jadi itu tidak akan dibahas dalam dialog perdagangan. Isu-isu yang terkait pelanggaran hukum jalurnya berbeda," tegas Mnuchin dalam wawancara dengan Fox Business, mengutip Reuters.
Pernyataan Mnuchin sedikit banyak melegakan pelaku pasar. Harapan damai dagang AS-China masih terbuka, sehingga investor bisa kembali fokus untuk mengoleksi aset-aset berisiko di negara berkembang.
Selain itu, rilis data ekonomi Jepang juga menggembirakan. Penjualan ritel periode Desember 2018 diumumkan tumbuh 1,3% year-on-year (YoY) YoY, mengalahkan konsensus Trading Economics yang memperkirakan di angka 0,8%.
IHSG berhasil memanfaatkan momentum ini, tetapi tidak dengan rupiah. Mata uang Tanah Air terbebani oleh berbagai sentimen negatif.
Pertama, rupiah sudah menguat tajam dalam beberapa waktu terakhir. Sejak awal tahun, rupiah sudah menguat 1,74% di hadapan dolar AS. Penguatan rupiah menjadi salah satu yang terbaik di Asia.
Penguatan rupiah yang luar biasa ini membuatnya rawan koreksi teknikal. Koreksi itu bisa terjadi kapan saja.
Kedua, mendekati akhir bulan biasanya kebutuhan valas korporasi meningkat. Permintaan valas yang tinggi membuat rupiah mengalami tekanan jual sehingga nilainya melemah.
Ketiga, ada rilis data ekonomi yang kurang menggembirakan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat pertumbuhan investasi pada kuartal IV-2018 hanya 3,5% YoY. Sementara sepanjang 2018, investasi tumbuh 4,1% YoY.
Catatan ini jauh melambat dibandingkan 2017. Pada kuartal IV-2017, investasi tumbuh 12,7% YoY sementara sepanjang tahun tumbuh 13,1% YoY.
Ditambah dengan net ekspor yang kemungkinan besar negatif, perlambatan investasi tentu semakin membebani pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia, pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan sebesar 5,15%. Lumayan dibandingkan negara-negara lain, tapi jauh di bawah asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yaitu 5,4%.
Bursa saham New York mendapatkan dorongan dari keputusan rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserves/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% atau median 2,375%. Sesuai dengan ekspektasi pasar.
Selain itu, lagi-lagi sesuai ekspektasi pasar, The Fed juga mengeluarkan pernyataan bernada kalem alias dovish. The Fed bakal lebih bersabar dalam mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan.
"Dalam situasi ekonomi global dan pasar keuangan saat ini, serta tekanan inflasi yang minim, Komite akan bersabar dalam menentukan kenaikan suku bunga acuan berikutnya," tulis pernyataan The Fed.
"Pasar mendapat apa yang mereka inginkan dari The Fed. Termasuk kesabaran dalam menaikkan suku bunga," ujar Mohammed El-Erian, Chief Economic Advisor di Allianz yang berbasis di California, mengutip Reuters.
Saham adalah instrumen yang bekerja optimal dalam lingkungan suku bunga rendah, karena kenaikan suku bunga akan mendongrak biaya emiten sehingga laba tergerus. Oleh karena itu, hasil rapat FOMC kali ini betul-betul positif buat Wall Street.
Kemudian, faktor lain yang melambungkan Wall Street adalah laporan keuangan Apple. Investor begitu menanti laporan ini, karena sebelumnya sudah ada firasat buruk seperti penurunan penjualan, pengurangan produksi, dan sebagainya.
Namun ternyata hasilnya bertolak belakang, laporan keuangan Apple justru memuaskan. Pada kuartal IV-2018, Apple membukukan pendapatan bersih US$ 84,3 miliar. Jumlah ini di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu US$ 84 miliar.
Sedangkan laba per saham (Earnings per Share/EPS) Apple berada di US$ 4,18. Juga di atas konsensus pasar yang memperkirakan US$ 4,17.
Namun memang penjualan iPhone pada kuartal IV-2018 anjlok 15% YoY menjadi US$ 51,9 miliar. Tim Cook, CEO Apple, menyebutkan perlambatan ekonomi di China menjadi faktor yang sangat mempengaruhi hal tersebut. Oleh karena itu, Cook mempertimbangkan untuk memangkas harga jual iPhone di luar AS.
"Di negara dengan mata uang yang melemah terhadap dolar AS, harga iPhone tentu akan semakin naik. Jadi, setelah kita semua memasuki tahun yang baru dan kami mengkaji kondisi makroekonomi di negara-negara tersebut, kami akan menyesuaikan harga agar mampu menaikkan penjualan di sana," ungkap Cook dalam wawancara dengan Reuters.
Langkah ini sepertinya mendapat apresiasi dari investor. Ditambah dengan laporan keuangan yang ciamik, saham Apple diborong sehingga harganya melonjak 6,83%.
Lonjakan saham Apple kemudian mengerek saham-saham teknologi lainnya. Facebook naik 4,32%, Amazon menguat 4,8%, Netflix menguat 3,58%, Alphabet (induk usaha Google) bertambah 2,61%, Mirosoft melesat 3,34%, dan Intel melonjak 2,15%. Tidak heran Nasdaq mampu menguat lebih tajam dibandingkan DJIA dan S&P 500.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang mengesankan. Diharapkan bursa saham Asia dapat mencatatkan pencapaian serupa, atau bahkan lebih baik.
Kedua adalah nilai tukar dolar AS yang anjlok karena keputusan The Fed menahan suku bunga. Pada pukul 04:28 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,39%.
Berkebalikan dengan saham, mata uang sangat diuntungkan dengan kenaikan suku bunga. Sebab, kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang tidak tergerus.
Jika dolar AS terus tertekan sepanjang hari ini, maka rupiah punya peluang untuk bangkit. Setelah melemah 2 hari beruntun, rupiah sepertinya punya kesempatan untuk keluar dari zona merah.
Namun rupiah perlu hati-hati dengan sentimen ketiga yaitu harga minyak. Pada pukul 04:30 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,7% dan light sweet melonjak 1,88%.
Kenaikan harga minyak disebabkan oleh penambahan stok di AS yang tidak sebanyak perkiraan. Pada pekan yang berakhir 25 Januari, cadangan minyak AS bertambah 919.000 barel. Jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu naik 3,2 jta barel.
Ketika harga minyak naik, biaya impornya tentu bakal lebih mahal. Ini akan menambah beban di neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan (current account). Tanpa dukungan pasokan devisa yang memadai dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah akan kesulitan bermanuver sehingga berpotensi melemah.
Sentimen keempat, investor wajib memantau perkembangan dialog dagang AS-China. Liu He sudah tiba di Washington dan langsung melakukan pembicaraan dengan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.
AS dan China sepakat untuk melakukan 'gencatan senjata' selama 90 hari, yang akan berakhir awal Maret. Pelaku pasar berharap Washington dan Beijing bisa menyelesaikan segala perbedaan di antara mereka dalam waktu sebulan ini, sehingga ancaman perang dagang lanjutan bisa dihindari.
Sebab jika masa 'gencatan senjata' selesai dan belum ada kesepakatan, maka AS akan menaikkan tarif bea masuk bagi impor produk-produk made in China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Kalau AS sampai melakukannya, maka kemungkinan besar China bakal membalas. Perang dagang pun kembali berkobar.
Oleh karena itu, mari berdoa dialog dagang di Washington ini berjalan lancar dan membuahkan hasil positif. Bukan apa-apa, damai dagang AS-China adalah faktor signifikan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dunia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,43%. Bursa saham utama Asia agak mixed, di mana indeks Nikke 25 turun 0,52%, Shanghai Composite melemah 0,72%, Straits Times minus 0,42% sementara Kospi naik 0,91% dan Hang Seng bertambah 0,4%.
Sementara rupiah menyudahi perdagangan pasar spot dengan pelemahan 0,25% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Nasib rupiah betul-betul apes, karena melemah sendirian di antara mata uang utama Asia.
Sentimen yang mewarnai perdagangan kemarin sebenarnya agak positif. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan, kasus yang melibatkan Huawei adalah hal yang terpisah dengan dialog dagang AS-China.
Sebelumnya, pemerintah AS resmi menjatuhkan tuntutan hukum kepada perusahaan telekomunikasi asal China tersebut. Huawei dituding berbisnis dengan Iran (yang sedang dikenai sanksi ekonomi) dan mencuri teknologi robotik milik T-Mobile.
Kejadian itu kebetulan berdekatan dengan kedatangan Wakil Perdana Menteri China Liu He ke Washington pada 30-31 Januari waktu setempat. Pelaku pasar khawatir tuntutan hukum kepada Huawei akan mengacaukan proses damai dagang AS-China.
"Itu (kasus Huawei) adalah isu yang terpisah, dialog yang berbeda. Jadi itu tidak akan dibahas dalam dialog perdagangan. Isu-isu yang terkait pelanggaran hukum jalurnya berbeda," tegas Mnuchin dalam wawancara dengan Fox Business, mengutip Reuters.
Pernyataan Mnuchin sedikit banyak melegakan pelaku pasar. Harapan damai dagang AS-China masih terbuka, sehingga investor bisa kembali fokus untuk mengoleksi aset-aset berisiko di negara berkembang.
Selain itu, rilis data ekonomi Jepang juga menggembirakan. Penjualan ritel periode Desember 2018 diumumkan tumbuh 1,3% year-on-year (YoY) YoY, mengalahkan konsensus Trading Economics yang memperkirakan di angka 0,8%.
IHSG berhasil memanfaatkan momentum ini, tetapi tidak dengan rupiah. Mata uang Tanah Air terbebani oleh berbagai sentimen negatif.
Pertama, rupiah sudah menguat tajam dalam beberapa waktu terakhir. Sejak awal tahun, rupiah sudah menguat 1,74% di hadapan dolar AS. Penguatan rupiah menjadi salah satu yang terbaik di Asia.
Penguatan rupiah yang luar biasa ini membuatnya rawan koreksi teknikal. Koreksi itu bisa terjadi kapan saja.
Kedua, mendekati akhir bulan biasanya kebutuhan valas korporasi meningkat. Permintaan valas yang tinggi membuat rupiah mengalami tekanan jual sehingga nilainya melemah.
Ketiga, ada rilis data ekonomi yang kurang menggembirakan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat pertumbuhan investasi pada kuartal IV-2018 hanya 3,5% YoY. Sementara sepanjang 2018, investasi tumbuh 4,1% YoY.
Catatan ini jauh melambat dibandingkan 2017. Pada kuartal IV-2017, investasi tumbuh 12,7% YoY sementara sepanjang tahun tumbuh 13,1% YoY.
Ditambah dengan net ekspor yang kemungkinan besar negatif, perlambatan investasi tentu semakin membebani pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia, pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan sebesar 5,15%. Lumayan dibandingkan negara-negara lain, tapi jauh di bawah asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yaitu 5,4%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama membukukan lesatan signifikan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melonjak 1,77%, S&P 500 terdongkrak 1,57%, dan Nasdaq Composite melambung 2,18%. Bursa saham New York mendapatkan dorongan dari keputusan rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserves/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% atau median 2,375%. Sesuai dengan ekspektasi pasar.
Selain itu, lagi-lagi sesuai ekspektasi pasar, The Fed juga mengeluarkan pernyataan bernada kalem alias dovish. The Fed bakal lebih bersabar dalam mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan.
"Dalam situasi ekonomi global dan pasar keuangan saat ini, serta tekanan inflasi yang minim, Komite akan bersabar dalam menentukan kenaikan suku bunga acuan berikutnya," tulis pernyataan The Fed.
"Pasar mendapat apa yang mereka inginkan dari The Fed. Termasuk kesabaran dalam menaikkan suku bunga," ujar Mohammed El-Erian, Chief Economic Advisor di Allianz yang berbasis di California, mengutip Reuters.
Saham adalah instrumen yang bekerja optimal dalam lingkungan suku bunga rendah, karena kenaikan suku bunga akan mendongrak biaya emiten sehingga laba tergerus. Oleh karena itu, hasil rapat FOMC kali ini betul-betul positif buat Wall Street.
Kemudian, faktor lain yang melambungkan Wall Street adalah laporan keuangan Apple. Investor begitu menanti laporan ini, karena sebelumnya sudah ada firasat buruk seperti penurunan penjualan, pengurangan produksi, dan sebagainya.
Namun ternyata hasilnya bertolak belakang, laporan keuangan Apple justru memuaskan. Pada kuartal IV-2018, Apple membukukan pendapatan bersih US$ 84,3 miliar. Jumlah ini di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu US$ 84 miliar.
Sedangkan laba per saham (Earnings per Share/EPS) Apple berada di US$ 4,18. Juga di atas konsensus pasar yang memperkirakan US$ 4,17.
Namun memang penjualan iPhone pada kuartal IV-2018 anjlok 15% YoY menjadi US$ 51,9 miliar. Tim Cook, CEO Apple, menyebutkan perlambatan ekonomi di China menjadi faktor yang sangat mempengaruhi hal tersebut. Oleh karena itu, Cook mempertimbangkan untuk memangkas harga jual iPhone di luar AS.
"Di negara dengan mata uang yang melemah terhadap dolar AS, harga iPhone tentu akan semakin naik. Jadi, setelah kita semua memasuki tahun yang baru dan kami mengkaji kondisi makroekonomi di negara-negara tersebut, kami akan menyesuaikan harga agar mampu menaikkan penjualan di sana," ungkap Cook dalam wawancara dengan Reuters.
Langkah ini sepertinya mendapat apresiasi dari investor. Ditambah dengan laporan keuangan yang ciamik, saham Apple diborong sehingga harganya melonjak 6,83%.
Lonjakan saham Apple kemudian mengerek saham-saham teknologi lainnya. Facebook naik 4,32%, Amazon menguat 4,8%, Netflix menguat 3,58%, Alphabet (induk usaha Google) bertambah 2,61%, Mirosoft melesat 3,34%, dan Intel melonjak 2,15%. Tidak heran Nasdaq mampu menguat lebih tajam dibandingkan DJIA dan S&P 500.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang mengesankan. Diharapkan bursa saham Asia dapat mencatatkan pencapaian serupa, atau bahkan lebih baik.
Kedua adalah nilai tukar dolar AS yang anjlok karena keputusan The Fed menahan suku bunga. Pada pukul 04:28 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,39%.
Berkebalikan dengan saham, mata uang sangat diuntungkan dengan kenaikan suku bunga. Sebab, kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang tidak tergerus.
Jika dolar AS terus tertekan sepanjang hari ini, maka rupiah punya peluang untuk bangkit. Setelah melemah 2 hari beruntun, rupiah sepertinya punya kesempatan untuk keluar dari zona merah.
Namun rupiah perlu hati-hati dengan sentimen ketiga yaitu harga minyak. Pada pukul 04:30 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,7% dan light sweet melonjak 1,88%.
Kenaikan harga minyak disebabkan oleh penambahan stok di AS yang tidak sebanyak perkiraan. Pada pekan yang berakhir 25 Januari, cadangan minyak AS bertambah 919.000 barel. Jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu naik 3,2 jta barel.
Ketika harga minyak naik, biaya impornya tentu bakal lebih mahal. Ini akan menambah beban di neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan (current account). Tanpa dukungan pasokan devisa yang memadai dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah akan kesulitan bermanuver sehingga berpotensi melemah.
Sentimen keempat, investor wajib memantau perkembangan dialog dagang AS-China. Liu He sudah tiba di Washington dan langsung melakukan pembicaraan dengan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.
AS dan China sepakat untuk melakukan 'gencatan senjata' selama 90 hari, yang akan berakhir awal Maret. Pelaku pasar berharap Washington dan Beijing bisa menyelesaikan segala perbedaan di antara mereka dalam waktu sebulan ini, sehingga ancaman perang dagang lanjutan bisa dihindari.
Sebab jika masa 'gencatan senjata' selesai dan belum ada kesepakatan, maka AS akan menaikkan tarif bea masuk bagi impor produk-produk made in China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Kalau AS sampai melakukannya, maka kemungkinan besar China bakal membalas. Perang dagang pun kembali berkobar.
Oleh karena itu, mari berdoa dialog dagang di Washington ini berjalan lancar dan membuahkan hasil positif. Bukan apa-apa, damai dagang AS-China adalah faktor signifikan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dunia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data pembacaan awal klaim pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 26 Januari (20:30 WIB).
- Rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur China periode Januari 2019 (08:00 WIB).
- Rilis data produksi industri Jepang periode Desember 2018 (12:00 WIB).
- Rilis data produksi industri Korea Selatan periode Desember 2018 (06:00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Mega Manunggal Property Tbk (MMLP) | RUPSLB | 09:30 WIB |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Desember 2018 YoY) | 3,13% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2018) | -3,37% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2018) | -US$ 4,39 miliar |
Cadangan devisa (Desember 2018) | US$ 120,7 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular