
Newsletter
Pantau Kabar dari Inggris dan Pengumuman Bunga Acuan BI
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
17 January 2019 07:18

Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS yang berpotensi menguat. Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,02%.
Dolar AS mendapat keperkasaannya karena euro yang melemah. Penyebabnya adalah sentimen negatif yang melanda Benua Biru. Pertumbuhan ekonomi Jerman pada 2018 tercatat 1,5%, laju paling lambat dalam 5 tahun terakhir. Dibandingkan dengan 2017 yang tumbuh 2,2%, terjadi perlambatan yang lumayan signifikan.
Selain itu, Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB) Mario Draghi juga mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan. Menurut Draghi, Eropa ternyata masih membutuhkan stimulus moneter karena laju pertumbuhan ekonomi yang lesu.
"Stimulus moneter yang signifikan masih dibutuhkan untuk mendukung kenaikan harga di tingkat domestik dan inflasi dalam jangka menengah," ungkap Draghi di depan Parlemen Uni Eropa, mengutip Reuters.
Pernyataan Draghi bisa membuat kenaikan suku bunga acuan tertunda. ECB berencana mulai menaikkan suku bunga acuan pada pertengahan 2019. Namun jika ternyata ekonomi Eropa masih membutuhkan dorongan dari otoritas moneter, maka rencana ini bisa pupus.
Artinya, bisa jadi belum ada kenaikan suku bunga acuan di Eropa tahun ini. Berinvestasi di euro menjadi kurang menarik sehingga mata uang ini mengalami tekanan jual.
Dolar AS pun berhasil bangkit. Kebangkitan dolar AS patut diwaspadai karena berpotensi menjegal rupiah seperti yang terjadi kemarin.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuan di angka 6%.
Hal ini semakin jelas kala Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah mendekati titik puncaknya. Ini bisa diartikan laju kenaikan suku bunga acuan bisa diperlambat.
"Untuk memperkuat stabilitas, mengendalikan inflasi, memang stance moneter yang preemtif dan ahead of the curve masih akan kami pertahankan. Walaupun tingkat suku bunga kami pada saat ini sudah hampir mencapai puncaknya," ungkap Perry, kemarin.
Rupiah yang relatif stabil cenderung menguat sejak awal 2019 bisa menjadi dasar bagi BI untuk menahan suku bunga acuan. Rupiah belum membutuhkan suntikan negara dari kenaikan suku bunga acuan, karena arus modal masih deras masuk ke Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Dolar AS mendapat keperkasaannya karena euro yang melemah. Penyebabnya adalah sentimen negatif yang melanda Benua Biru. Pertumbuhan ekonomi Jerman pada 2018 tercatat 1,5%, laju paling lambat dalam 5 tahun terakhir. Dibandingkan dengan 2017 yang tumbuh 2,2%, terjadi perlambatan yang lumayan signifikan.
Selain itu, Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB) Mario Draghi juga mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan. Menurut Draghi, Eropa ternyata masih membutuhkan stimulus moneter karena laju pertumbuhan ekonomi yang lesu.
"Stimulus moneter yang signifikan masih dibutuhkan untuk mendukung kenaikan harga di tingkat domestik dan inflasi dalam jangka menengah," ungkap Draghi di depan Parlemen Uni Eropa, mengutip Reuters.
Pernyataan Draghi bisa membuat kenaikan suku bunga acuan tertunda. ECB berencana mulai menaikkan suku bunga acuan pada pertengahan 2019. Namun jika ternyata ekonomi Eropa masih membutuhkan dorongan dari otoritas moneter, maka rencana ini bisa pupus.
Artinya, bisa jadi belum ada kenaikan suku bunga acuan di Eropa tahun ini. Berinvestasi di euro menjadi kurang menarik sehingga mata uang ini mengalami tekanan jual.
Dolar AS pun berhasil bangkit. Kebangkitan dolar AS patut diwaspadai karena berpotensi menjegal rupiah seperti yang terjadi kemarin.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuan di angka 6%.
Hal ini semakin jelas kala Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah mendekati titik puncaknya. Ini bisa diartikan laju kenaikan suku bunga acuan bisa diperlambat.
"Untuk memperkuat stabilitas, mengendalikan inflasi, memang stance moneter yang preemtif dan ahead of the curve masih akan kami pertahankan. Walaupun tingkat suku bunga kami pada saat ini sudah hampir mencapai puncaknya," ungkap Perry, kemarin.
Rupiah yang relatif stabil cenderung menguat sejak awal 2019 bisa menjadi dasar bagi BI untuk menahan suku bunga acuan. Rupiah belum membutuhkan suntikan negara dari kenaikan suku bunga acuan, karena arus modal masih deras masuk ke Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular