Newsletter

No Deal Brexit?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
16 January 2019 05:46
No Deal Brexit?
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menampilkan performa impresif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rui=piah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sama-sama mencetak penguatan. 

Kemarin, IHSG ditutup dengan lonjakan 1,15%. Bahkan IHSG mampu menembus level 6.400, kali pertama sejak Maret 2018. 

IHSG bergerak searah dengan bursa saham Asia lainnya yang juga ditutup signifikan. Indeks Nikkei 225 naik 0,96%, Hang Seng meroket 2,02%, Shanghai Composite melejit 1,36%, Kospi melesat 1,58%, dan Straits Times lompat 1,22%. 


Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,25% di hadapan dolar AS. Penguatan rupiah bahkan menjadi yang terbaik di antara mata uang utama Asia.

 
Sentimen positif bertebaran pada perdagangan kemarin. Tidak heran investor begitu bernafsu memburu aset-aset berisiko di negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. 

Pertama, hawa damai dagang AS-China semakin jelas terasa. Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa perundingan dagang dengan Negeri Tirai Bambu berjalan lancar dan kesepakatan kemungkinan besar bisa dicapai. 

"Hubungan dengan China sangat baik. Saya rasa kami bisa mencapai kesepakaatan dengan China," ujar Trump kepada wartawan di Gedung Putih, dikutip dari Reuters. 

Kedua, pemerintah dan Bank Sentral China (PBoC) menyatakan komitmen untuk menjaga perekonomian Negeri Panda agar tidak mengalami hard landing. Reuters mengabarkan Beijing menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 6-6,5%. Melambat dibandingkan tahun lalu yang diperkirakan 6,6%.

Agar ekonomi tidak terlalu terpuruk, pemerintah dan bank sentral akan menggelontorkan berbagai kebijakan counter-cyclical. Stimulus tetap akan dikucurkan, meski menurut Wakil Ketua Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China Lian Weiliang tidak sampai berlebihan. 

Investor sepertinya menanggapi positif arah kebijakan fiskal dan moneter ini. Pelaku pasar kini bisa tenang, pemerintah dan bank sentral China akan mengawal pertumbuhan ekonomi agar tidak terlampau lambat. 

Ketiga, Richard Clarida, Wakil Gubernur The Federal Reserve/The Fed, menyatakan bank sentral AS akan lebih sabar dalam menentukan arah kebijakan moneter. Sang The Fed-2 menyatakan perekonomian Negeri Paman Sam masih tumbuh baik, tetapi ada risiko di luar yang tidak bisa dikesampingkan. 

"Kami bisa sabar pada 2019, ada momentum untuk itu. Bank sentral akan menentukan suku bunga acuan di setiap rapat dengan mengacu kepada data. Kami akan melihat perkembangan ekonomi global, dan beberapa data menunjukkan ada perlambatan," papar Clarida dalam wawancara di Fox Business, mengutip Reuters. 

Pernyataan Clarida semakin menegaskan bahwa The Fed tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Pelaku pasar memperkirakan setidaknya sampai semester-I tidak akan ada kenaikan Federal Funds Rate. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate untuk ditahan di 2,25-2,5% pada rapat 30 Januari mencapai 99,5%. Kemudian pada rapat 20 Maret, kemungkinan suku bunga untuk kembali ditahan juga 99,5%. 

Pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Mei, kemungkinan Federal Funds Rate tetap juga masih sangat tinggi yaitu 91,5%. Lalu pada rapat Juni, probabilitasnya mulai turun tetapi masih tinggi di 82,4%. 

Keempat, Chosun Ilbo, harian di Korea Selatan, mengabarkan AS dan Korea Utara akan mengadakan pertemuan di Washington pekan ini untuk membahas rencana dialog Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Pertemuan di Washington pekan ini akan melibatkan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Wakil Ketua Partai Pekerja Korea Utara Kim Yong Chol, tulis Chosun Ilbo dikutip dari Reuters.  

Kabar ini semakin meyakinkan pasar bahwa denuklirisasi dan perdamaian di Semenanjung Korea bukan sebuah harapan kosong. Aura damai di Korea membuat investor semakin berani mengambil risiko, tidak ada istilah bermain aman.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kabar baik datang dari New York. Setelah terkoreksi dalam 2 hari perdagangan terakhir, Wall Street berhasil membukukan penguatan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,65%, S&P 500 melonjak 1,07%, dan Nasdaq Composite melesat 1,71%. 

Melihat Nasdaq yang mengalami penguatan paling tajam, bisa ditebak bahwa saham-saham teknologi menjadi pendorong utama penguatan di bursa saham New York. Saham teknologi dengan penguatan paling mencolok adalah Netflix, yang mencapai 6,52%. 

Penyebab lonjakan saham Netflix adalah kenaikan biaya berlangganan bagi konsumen di AS sebesar 13-18%. Ini adalah kenaikan pertama sejak 2017. 

Meski naik, tetapi biaya berlangganan Netflix terhitung masih murah dibandingkan kompetitornya. Misalnya untuk paket standar, harganya naik dari US$ 10,99 menjadi US$ 12,99 per bulan. Lebih terjangkau ketimbang HBO Now yaitu US$ 14,99 per bulan. 

Dengan kenaikan biaya berlangganan, investor meyakini bahwa keuangan Netflix akan semakin kuat sehingga mampu menyediakan konten yang lebih bermutu. Selain itu, Netflix juga akan lebih punya modal untuk terus berekspansi di luar AS. 

Kemudian, investor di Wall Street juga menyambut gembira stimulus yang siap digelontorkan oleh pemerintah dan bank sentral China. Diharapkan stimulus tersebut dapat menjaga perekonomian China tetap tumbuh dengan baik sehingga mampu menopang perekonomian dunia. 

"Kami harus mencapai start yang bagus pada kuartal I untuk mencapai target-target pembangunan secara tahunan (full year). Pembangunan di negara ini semakin kompleks pada 2019, dengan kesulitan dan tantangan serta risiko ke bawah (downward pressure) yang meningkat," kata Li Keqiang, Perdana Menteri China, mengutip Reuters. 

Ditambah dengan hubungan Washington-Beijing yang kembali pulih, investor berharap perlambatan ekonomi di China tidak terlalu parah. Dengan begitu, China bisa kembali menjadi salah satu mesin penggerak ekonomi dunia. 

Berbagai sentimen positif ini mampu menutupi laporan keuangan emiten di Wall Street yang kurang memuaskan. JPMorgan Chase melaporkan laba per saham (Earnings per Share/EPS) pada kuartal-IV 2018 sebesar US$ 1,98. Lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun Refinitiv yaitu US$ 2,2. Sementara pendapatan bersih naik 4,1% year-on-year (YoY) menjadi US$ 26,8 miliar, sedikit di bawah ekspektasi yang sebesar US$ 26,83 miliar. 

Kinerja Wells Fargo pun tidak bagus-bagus amat. Pendapatan bersih pada kuartal IV-2018 adalah US$ 86,4 miliar, turun 2,26% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Lalu, investor di Wall Street juga cukup imun dengan perkembangan di Inggris. Sebab, hasil voting proposal keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) di parlemen baru keluar jelang akhir perdagangan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu lonjakan di Wall Street, yang diharapkan bisa menular ke Asia termasuk Indonesia. 

Sentimen kedua, seperti yang sudah sedikit disinggung sebelumnya, adalah hasil voting Brexit di parlemen. Proposal Brexit yang diusung pemerintahan Perdana Menteri Theresa May ditolak, dengan hasil 432 berbanding 202. Ini adalah kekalahan pemerintah terbesar dalam sejarah Inggris modern. 

Pilihan yang tersisa bagi May kini tinggal yang pahit-pahit. Inggris tidak memperoleh kompensasi apa-apa dari Brexit (No Deal Brexit), mencoba melobi Uni Eropa untuk meminta konsesi, menunda Brexit yang sedianya berlangsung 29 Maret 2019, referendum dan melakukan pemungutan suara Brexit kedua bagi rakyat Inggris, atau mundur dari jabatannya dan menggelar pemilu. 

Kini nasib Brexit menjadi buram. Investor menantikan langkah selanjutnya dari pemerintahan May, yang dibayangi oleh mosi tidak percaya dari parlemen. Jeremy Corbyn, Pimpinan Partai Buruh, menegaskan mosi tidak percaya kemungkinan akan diumumkan dalam waktu 24 jam. 

Ketidakpastian di Inggris sedikit banyak akan mempengaruhi psikologis pasar. Dikhawatirkan runyamnya Brexit akan mempengaruhi kinerja ekonomi Negeri Ratu Elizabeth, perekonomian nomor 5 dunia.

Jika Inggris sampai terjebak dalam krisis gara-gara Brexit, dampaknya pasti bakal meluas. Oleh karena itu, investor perlu waspada terhadap perkembangan di Inggris. Setiap langkah dan pernyataan May perlu disimak untuk mendapat kejelasan mengenai arah nasib Inggris ke depan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS yang kemungkinan bergerak menguat. Pada pukul 05:11 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,37%. 

Kekuatan dolar AS utamanya datang dari pelemahan poundsterling akibat sengkarut Brexit. Sterling sempat melemah sampai 1,5% di hadapan dolar AS setelah kekalahan May di voting parlemen. Meski koreksi dalam itu tidak berlangsung lama, tetapi posisi mata uang Negeri John Bull masih agak rawan. 

Apabila penguatan dolar AS bertahan lama, maka akan menjadi ancaman bagi rupiah. Oleh karena itu, investor patut waspada. 

Sentimen keempat, yang juga bisa mempengaruhi rupiah, adalah perkembangan harga minyak. Pada pukul 05:18 WIB, harga minyak jenis brent meleat 2,56% dan light sweet melejit 2,91%. 

Seperti Wall Street, harga si emas hitam juga terdongkrak karena komitmen stimulus dari China. Stimulus tersebut diharapkan mampu membuat ekonomi China tetap menggeliat sehingga permintaan energi tidak berkurang. 

"Kekhawatiran mengenai perlambatan ekonomi pada 2019 sedikit demi sedikit mulai mereda. Pelaku pasar kini berharap ekonomi bahkan bisa lebih baik," kata Gene McGillian, Director of Market Research di Tradition Energy uang berbasis di Connecticut, mengutip Reuters. 

Ditambah lagi ada sentimen damai dagang AS-China yang akan membuat perdagangan dunia kembali semarak. Ada harapan ekonomi global tidak sesuram yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini tentu positif bagi komoditas minyak. 

Namun kenaikan harga minyak bukan kabar baik bagi rupiah. Saat harga minyak naik, biaya impornya tentu menjadi tambah mahal. Akibatnya, semakin banyak devisa yang terkuras sehingga rupiah kekurangan modal untuk menguat. 

Apalagi kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data defisit neraca perdagangan Desember 2018 sebesar US$ 1,1 miliar. Ini membuat neraca perdagangan selama kuartal IV-2018 selalu defisit, yang memunculkan tanda tanya besar terhadap nasib transaksi berjalan (current account). 

Kemungkinan transaksi berjalan pada kuartal IV-2018 masih akan membukukan defisit yang cukup dalam, sekitar 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menurut perkiraan Bank Indonesia (BI). Oleh karena itu, fundamental penyokong rupiah sejatinya agak rapuh sehingga mata uang Tanah Air masih berpotensi melemah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data indeks harga produsen (PPI) Jepang periode Desember 2018 (06:50 WIB).
  • Rilis data cadangan minyak AS pada pekan yang berakhir 11 Januari 2019 (22:30 WIB). 

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu: 

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Darma Henwa Tbk (DEWA)RUPSLB09:00 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (Desember 2018 YoY)3,13%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2018)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (Desember 2018)US$ 120,7 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular