Newsletter

Hari Ini Harinya Bank Sentral

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
20 December 2018 05:28
Hari Ini Harinya Bank Sentral
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mencatatkan performa yang memuaskan pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terapresiasi, dan imbal hasil (yield) obligasi negara bergerak turun. 

Kemarin, IHSG berakhir dengan menguat tajam 1,55%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga mengakhiri hari di zona hijau. 


Sementara rupiah ditutup menguat 0,41% di hadapan greenback. Mayoritas mata uang Asia juga menguat, tetapi rupiah berhasil keluar menjadi mata uang terbaik kedua setelah rupee India.  


Sedangkan yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun cukup tajam yaitu 11,3 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini tengah naik karena tingginya permintaan. 

Selera investor sedang agak aneh. Investor sepertinya berminat terhadap apa saja kecuali dolar AS. 

Biasanya dolar AS diburu jelang rapat The Federal Reserve/The Fed. Apalagi dalam rapat tersebut, Jerome 'Jay' Powell dan kolega diperkirakan menaikkan suku bunga acuan menjadi 2,25-2,5%. 

Kenaikan suku bunga acuan lazimnya adalah energi positif buat dolar AS. Namun kali ini dolar AS justru melempem.  

Sepertinya pelaku pasar sudah memasukkan kenaikan Federal Funds Rate dalam kalkulasi mereka. Lebih jauh lagi, pelaku pasar malah memperkirakan The Fed tidak akan terlalu agresif tahun depan.

Jika tahun ini kemungkinan besar suku bunga acuan naik empat kali, maka tahun depan bisa saja hanya naik dua kali.
 Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali pada 2019. Lebih sedikit dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali. 

Sebab, AS sendiri menghadapi risiko yang tidak kecil. Dalam jajak pendapat terpisah, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi, yaitu yield tenor jangka panjang lebih rendah ketimbang jangka pendek. 

Inverted yield merupakan pertanda awal terjadinya resesi, karena investor menilai risiko jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang. Bahkan pelaku pasar memperkirakan resesi bisa terjadi pada 2020. 

Tidak hanya AS, ekonomi global juga berpotensi melambat pada 2019. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,7% tahun depan, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Sementara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. 

Oleh karena itu, kebutuhan untuk mengencangkan kebijakan moneter menjadi kurang relevan. Di tengah risiko yang begitu besar, pengetatan kebijakan moneter bukan langkah yang bijak. 

Artinya, ke depan dolar AS akan menjadi kurang menarik karena kebijakan moneter yang tidak tidak lagi ketat. Arus modal keluar dari Negeri Paman Sam, berhamburan ke berbagai negara termasuk Indonesia. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kabar buruk datang dari Wall Street, di mana tiga indeks utama melemah tajam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,49%, S&P 500 amblas 1,36%, dan Nasdaq Composite ambrol 2,17%. 

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, hasil rapat The Fed memainkan peran penting dalam menentukan pergerakan pasar, termasuk di bursa saham New York hari ini. Sesuai perkiraan, Federal Funds Rate benar-benar naik 25 bps menjadi 2,25-2,5% atau median 2,375%.

The Fed juga mengubah target median suku bunga acuan dari 3,1% menjadi 2,8% pada akhir 2019. Artinya hanya butuh kenaikan sekitar 50 bps, yang bisa dicapai melalui dua kali kenaikan suku bunga saja. Sesuai perkiraan, ucapkan selamat tinggal kepada kenaikan suku bunga acuan tiga kali pada 2019. 

Namun yang membuat pelaku pasar grogi adalah pernyataan Powell pada konferensi pers usai rapat, yaitu The Fed akan melanjutkan normalisasi neraca. Sejak krisis keuangan global 1 dekade lalu, The Fed memang rajin membeli surat-surat berharga untuk memberikan stimulus kepada perekonomian (quantitative easing). Sekarang ekonomi AS sudah jauh lebih baik, sehingga The Fed ingin merampingkan neracanya yang begitu gemuk akibat banyaknya koleksi surat berharga. 

Sebenarnya normalisasi neraca The Fed pun bukan sesuatu yang baru, sudah digaungkan sejak tahun lalu. Namun entah mengapa investor cemas ketika Powell kembali menegaskan akan melepas kepemilikan The Fed di berbagai surat berharga secara bertahap. 

"Saya rasa pengurangan di neraca berlangsung mulus dan sesuai dengan tujuan awalnya. Saya tidak akan mengubah itu," tegas Powell dalam konferensi pers, mengutip Reuters. 

Investor menilai kala The Fed melepas kepemilikan surat-surat berharga, maka efeknya akan hampir sama dengan menaikkan suku bunga acuan yaitu menyedot likuiditas. Artinya, ke depan likuiditas akan masih cenderung ketat sehingga sepertinya perlambatan ekonomi akan sulit dihindari. 

The Fed memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,3% pada 2019. Melambat cukup signifikan dibandingkan 2018 yang diperkirakan sekitar 3%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan di Wall Street. Dampak dari hasil rapat The Fed sudah membuat Wall Street terpukul, dan dikhawatirkan bursa saham Asia (termasuk Indonesia) akan mengalami hal yang sama. 

Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS yang berpotensi masih melemah. Pada pukul 04:40 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,07%. 

Kenaikan suku bunga acuan pada 2019 yang lebih sedikit dari perkiraan sebelumnya membuat dolar AS masih lesu dan belum mampu bangkit. Situasi ini lagi-lagi bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia untuk mencatatkan apresiasi. 

Sentimen ketiga adalah harga minyak. Setelah sempat anjlok, harga di emas hitam bangkit dan terus naik sejak kemarin. 

Pada pukul 04:47 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,3% dan light sweet melonjak 3,72%. Setelah anjlok cukup dalam, memang wajar jika harga minyak rebound

Selain itu, kenaikan harga minyak juga disebabkan oleh penurunan cadangan minyak AS. US Energy Information Administration mencatat cadangan minyak Negeri Paman Sam pada pekan lalu turun 497.000 barel. 

Jika kenaikan harga minyak terus berlanjut, maka bisa menjadi kabar baik bagi IHSG karena saham-saham emiten energi dan pertambangan akan diapresiasi oleh investor. Namun bagi rupiah ceritanya agak berbeda. 

Indonesia adalah negara net importir migas. Impor migas yang tinggi berperan besar dalam menciptakan defisit di neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan. 

Pada Januari-November 2018, neraca perdagangan migas Indonesia mencatat defisit US$ 12,15 miliar. Akibatnya, neraca perdagangan secara keseluruhan menjadi minus US$ 7,51 miliar karena surplus neraca perdagangan non-migas yang sebesar US$ 4,64 tidak mampu menambal. 

Ketika neraca perdagangan defisit, maka transaksi berjalan (yang mencerminkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa) tentu akan ikut defisit. Tekornya transaksi berjalan membuat rupiah sulit menguat, karena tidak punya modal devisa yang memadai. 

Sentimen keempat adalah pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 Day Reverse Repo Rate hari ini. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih bertahan di 6%.  

Dari 12 ekonom yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, 11 di antaranya memperkirakan suku bunga acuan tidak berubah. Hanya satu yang memperkirakan ada kenaikan 25 bps ke 6,25%. 


Dengan posisi The Fed yang agak dovish pada tahun depan, semakin ada alasan bagi BI untuk tidak lagi terlalu hawkish. Pelaku pasar pun sepertinya bisa memahami jika BI tidak menaikkan suku bunga hari ini, meski Federal Funds Rate dinaikkan. 

Lagipula, BI sudah menaikkan suku bunga acuan bulan lalu, langkah yang di luar ekspektasi pasar. Kenaikan tersebut sepertinya sudah memberi bekal yang cukup untuk menghadapi kenaikan Federal Funds Rate hari ini.  

Rupiah menguat di kisaran 5% selama November, dan terapresiasi selama 3 hari terakhir. Dolar AS juga masih dalam posisi defensif, karena sentimen negatif kebijakan moneter AS yang sedikit dovish pada 2019. Oleh karena itu, BI mungkin tidak perlu terlalu mencemaskan rupiah dan ikut menaikkan 7 Day Reverse Repo Rate hari ini. 

Jadi selalin memantau dampak hasil rapat The Fed, investor juga harus menyimak dengan seksama hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bi. Sepertinya hari ini adalah harinya bank sentral...


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (standby pukul 14:00 WIB).
  • Pengumuman suku bunga acuan Bank of Japan (tentatif).
  • Rilis data penjualan ritel Inggris periode November 2018 (16:30 WIB).
  • Pengumuman suku bunga acuan Bank of England (19:00 WIB).
  • Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga 14 Desember 2018 (20:30 WIB). 

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK)RUPSLB10:00
PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN)RUPSLB10:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (November 2018 YoY)3,23%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2018)6%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2,19% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (November 2018)US$ 117,21 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Mayday, Mayday! Hantu Resesi AS Buat IHSG Kritis: Ada Peluang Rebound?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular