'Dibantu' The Fed, Rupiah Jadi Terbaik Kedua di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 December 2018 16:37
'Dibantu' The Fed, Rupiah Jadi Terbaik Kedua di Asia
lustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) memang menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Namun performa rupiah agak kurang yahud. 

Pada Rabu (19/12/2018), US$ 1 ditutup di Rp 14.435 di perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,41% dibandingkan posisi penutupan pasar hari sebelumnya. 

Meski menguat, tetapi sebetulnya kinerja rupiah kurang meyakinkan. Rupiah yang sempat menguat nyaris 1% kemudian terus mengendur selepas tengah hari. Penguatan rupiah tidak mampu menembus 1%, bahkan turun ke bawah 0,5%. 


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 

 

Ketika menguat hampir 1%, rupiah pemimpin di Asia dan jauh meninggalkan mata uang lainnya. Namun karena rupiah mengendur, posisinya dikudeta oleh rupee India.



Jadi dalam hal penguatan di hadapan dolar AS, rupiah harus puas finis di posisi runner-up sama seperti kemarin. Rupee lagi-lagi menjadi juara Asia.  


Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:10 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Penguatan rupiah tergerus seiring perkembangan harga minyak. Dini hari tadi, harga minyak jenis brent anjlok sampai di kisaran 5% sementara light sweet jatuh sekitar 7%. 


Namun mulai pagi tadi, harga si emas hitam rebound. Harga minyak terus bertahan di zona hijau hingga sore ini. Pada pukul 16:15 WIB, harga brent naik 0,66% dan light sweet bertambah 0,48%. 

Setelah terkoreksi dalam, wajar apabila harga minyak bisa menguat. Namun penguatan harga minyak, apalagi bisa bertahan seharian, membuat investor khawatir dengan nasib rupiah. 


Maklum, Indonesia adalah negara net importir migas. Impor migas yang tinggi berperan besar dalam menciptakan defisit di neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan. 

Pada Januari-November 2018, neraca perdagangan migas Indonesia mencatat defisit US$ 12,15 miliar. Akibatnya, neraca perdagangan secara keseluruhan menjadi minus US$ 7,51 miliar karena surplus neraca perdagangan non-migas yang sebesar US$ 4,64 tidak mampu menambal. 

Ketika neraca perdagangan defisit, maka transaksi berjalan (yang mencerminkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa) tentu akan ikut defisit. Tekornya transaksi berjalan membuat rupiah sulit menguat, karena tidak punya modal devisa yang memadai. Oleh karena itu, kenaikan harga minyak menjadi sentimen negatif bagi rupiah.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun, rupiah dan mata uang Asia lainnya masih tertolong karena dolar AS sedang dalam tekanan. Pada pukul 16:20 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,3%. Indeks ini melemah sepanjang hari. 

Biasanya dolar AS menguat jelang rapat The Federal Reserve/The Fed. Apalagi dalam rapat yang hasilnya diumumkan pada dini hari nanti waktu Indonesia tersebut, Jerome 'Jay' Powell dan kolega diperkirakan menaikkan suku bunga acuan menjadi 2,25-2,5%. 

Kenaikan suku bunga acuan lazimnya adalah energi positif buat dolar AS. Namun kali ini dolar AS justru melempem.  

Sepertinya pelaku pasar sudah memasukkan kenaikan Federal Funds Rate dalam kalkulasi mereka. Lebih jauh lagi, pelaku pasar malah memperkirakan The Fed tidak akan terlalu agresif tahun depan. Jika tahun ini kemungkinan besar suku bunga acuan naik empat kali, maka tahun depan bisa saja hanya naik dua kali. 

Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali pada 2019. Lebih sedikit dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali. 

Sebab, AS sendiri menghadapi risiko yang tidak kecil. Dalam jajak pendapat terpisah, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi, yaitu yield tenor jangka panjang lebih rendah ketimbang jangka pendek. 

Inverted yield merupakan pertanda awal terjadinya resesi, karena investor menilai risiko jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang. Bahkan pelaku pasar memperkirakan resesi bisa terjadi pada 2020. 

Tidak hanya AS, ekonomi global juga berpotensi melambat pada 2019. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,7% tahun depan, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Sementara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. 

Oleh karena itu, kebutuhan untuk mengencangkan kebijakan moneter menjadi kurang relevan. Di tengah risiko yang begitu besar, pengetatan kebijakan moneter bukan langkah yang bijak. 

Artinya, ke depan dolar AS akan menjadi kurang menarik karena kebijakan moneter yang tidak tidak lagi ketat. Investor pun mulai melepas mata uang ini, sehingga nilainya melemah. Situasi ini mampu dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia untuk mencetak penguatan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular