
Newsletter
Wall Street Porak-Poranda, IHSG Disikat Habis Hari Ini?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 December 2018 06:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Performa pasar keuangan dalam negeri bertolak belakang pada pekan lalu. Dalam sepekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 1,16% sementara nilai tukar rupiah justru melemah 1,15% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot.
IHSG menutup pekan lalu di level 6.126,36, sedangkan rupiah bercokol di level Rp 14.465/dolar AS. Meski di akhir pekan mampu melaju kencang, rupiah tak mampu menutupi koreksi selama tiga hari berturut-turut sebelumnya.
IHSG menjadi bursa saham dengan performa terbaik di Asia dalam sepekan lalu. Mayoritas bursa saham Benua Kuning justru harus berkubang di zona merah. Dalam sepekan, indeks Nikkei jeblok 3,01%, indeks Hang Seng amblas 1,67%, indeks Kospi turun 1,01%, indeks Straits Times koreksi 0,21%, dan indeks Shanghai naik 0,68%.
Sebaliknya, nilai tukar rupiah justru menjadi yang terlemah kedua di Asia, kala mata uang utama lainnya bergerak variatif terhadap greenback. Performa mingguan rupiah hanya lebih baik dari rupee India yang terdepresiasi hingga 1,74%. Predikat mata uang Asia terbaik pekan lalu disandang oleh yuan China yang mampu menguat hingga 1,19%.
Perkembangan perang dagang AS-China yang tak kondusif membuat investor bermain defensif. Seiring berjalannya waktu, ternyata pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Xi Jingping di Buenos Aires beberapa waktu lalu menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Pernyataan resmi dari masing-masing negara menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Perbedaan tersebut meliputi tenggat waktu 90 hari untuk menyelesaikan konflik dagang serta klaim dari Presiden AS Donald Trump yang menyatakan bahwa China akan meningkatkan pembelian produk-produk agrikultur dari AS secepatnya.
Pernyataan dari kubu AS juga menyinggung bahwa merger antara Qualcomm dan NXP bisa kembali dipertimbangkan oleh Presiden China Xi Jinping, setelah sempat diblok beberapa waktu yang lalu. Sayangnya, tak ada konfirmasi mengenai hal ini dari kubu China.
Pelaku pasar lantas dibuat bingung. Masing-masing negara memiliki pernyataan versinya sendiri yang menempatnya dirinya sebagai 'pemenang' dalam perundingan di sela-sela KTT G-20 di Argentina.
Memang, dalam perundingan itu tak ada kesepakatan formal yang ditandatangani oleh Trump dan Xi. Damai dagang pun bisa sewaktu-waktu kembali berubah menjadi perang dagang yang tereskalasi.
Beruntung, ada sentimen positif dari dalam negeri yang bisa membuat IHSG menguat, salah satunya rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Pada Kamis sore (6/12/2018), Bank Indonesia (BI) merilis IKK periode November 2018 di level 122,7, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 119,2.
IKK di bulan lalu mampu pulih dari catatan buruk di bulan sebelumnya. Sebagai informasi, IKK di bulan Oktober 2018 merupakan yang terendah dalam 20 bulan terakhir atau sejak Februari 2017.
Momentum perbaikan IKK ini sukses mengatrol indeks sektor barang konsumsi menguat 0,58% menjelang akhir pekan.
NEXT
Beralih ke AS, 3 indeks saham utama di sana terjun bebas sepanjang pekan lalu: indeks Dow Jones anjlok 4,5%, indeks S&P 500 ambruk 4,6%, dan indeks Nasdaq Composite terpangkas 4,93%. Koreksi yang begitu dalam membuat indeks Dow Jones dan S&P 500 kini membukukan imbal hasil negatif secara year-to-date.
Pada perdagangan hari Jumat, indeks Dow Jones turun 2,24%, indeks S&P 500 melemah 2,33%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 3,05%.
Perkembangan perang dagang AS-China yang tak positif sukses memukul bursa saham Negeri Paman Sam. Apalagi, kesepakatan dagang antar keduanya kian sulit tercapai sieiring dengan penahanan Chief Financial Officer (CFO) Huawei global Meng Wanzhou di Kanada.
Penangkapan ini datang menyusul perintah AS yang sedang melakukan investigasi terkait dengan penggunaan sistem perbankan global oleh Huawei untuk menghindari sanksi AS terhadap Iran. Salah satu bank yang terjebak dalam investigasi ini adalah HSBC.
Selain karena perang dagang, saham-saham di AS dilepas seiring dengan indikasi resesi yang ditunjukkan oleh pasar obligasi.
Pada tanggal 4 Desember 2018, terjadi inversi spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps).
Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Namun, yang benar-benar meresahkan sebenarnya bukan itu. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.
Celakanya, spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal bulan lalu, nilainya adalah sebesar 82 bps. Per akhir perdagangan hari Jumat (7/12/2018), nilainya tersisa 45 bps saja.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
NEXT
Untuk hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, tentunya adalah ‘kebakaran’ yang melanda Wall Street. Biasanya, hawa negatif dari Wall Street akan terasa juga di perdagangan bursa Asia.
Kedua, perkembangan hubungan AS-China yang semakin suram seiring dengan sikap AS yang memberikan perintah kepada otoritas Kanada untuk menangkap CFO Huawei global Meng Wanzhou.
Pada hari Minggu (9/12/2018) waktu setempat, Kementerian Luar Negeri China memanggil duta besar AS dalam rangka mengajukan keberatan terkait penahanan Meng Wanzhou, sekaligus menuntut pihak AS untuk segera membebaskan sang petinggi Huawei tersebut.
Sebelumnya, kantor berita Xinhua yang mengutip situs resmi Kementerian Luar Negeri China melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri China Le Yucheng juga sudah memanggil duta besar Kanada John McCallum pada hari Sabtu (8/12/2018), dengan urusan yang sama.
Tidak tanggung-tanggung, Le memberitahu Callum bahwa hukuman bagi Meng Wanzhou adalah “pelanggaran luar biasa”. Le juga mengancam akan ada konsekuensi yang berat jika Kanada tidak segera membebaskan Meng Wanzhou.
“Langkah seperti itu (menahan Meng Wanzhou) adalah menghiraukan hukum dan tidak masuk akal, tidak berbudi, dan buruk secara moral, ujar Le seperti dikutip dari CNBC International.
“China secara tegas menuntut pihak Kanada segera membebaskan eksekutif Huawei […] atau menerima konsekuensi berat bahwa pihak Kanada seharusnya bertanggung jawab akan hal ini,” tambah Le.
Apabila tanggapan dari pihak Kanada dan AS ternyata tidak memuaskan pihak China, tentu hal ini akan menjadi risiko masif bagi negosiasi dagang yang sedang berlangsung. Kemungkinan terjadinya deadlock akan semakin besar. Tentu hal ini akan menjadi sentimen kurang sedap bagi pasar keuangan regional.
Sentimen ketiga yang perlu dicermati pelaku pasar adalah sinyal resesi di AS yang kian kuat terasa. Pada hari Jumat (7/12/2018), data resmi versi pemerintah AS menunjukkan bahwa pada bulan November tercipta 155.000 lapangan kerja sektor non-pertanian, di bawah konsensus yang sebesar 198.000, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sementara itu, rata-rata upah per jam di AS untuk periode yang sama hanya tumbuh sebesar 0,2% MoM, lebih rendah dibandingkan proyeksi yang sebesar 0,3% MoM.
Jika spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun terus saja menipis pada perdagangan hari ini (semakin mengarah ke inversi), pelaku pasar di Benua Kuning harus bersiap-siap. Sell-off sangat mungkin melanda.
NEXT
Sentimen keempat yang perlu diperhatikan pelaku pasar adalah pergerakan dolar AS. Memang, buruknya data-data ekonomi di AS membuka peluang untuk mendorong The Federal Reserve supaya tak terlalu agresif dalam melakukan normalisasi suku bunga acuan.
Bahkan, pelaku pasar sejatinya sudah meyakini hal ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 9 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan hanyalah sebesar 2,8% (dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps dulu pada bulan ini), anjlok dari posisi 1 bulan lalu yang sebesar 19,4%.
Justru, pelaku pasar kini meyakini bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan. Probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% pada tahun 2019 adalah sebesar 38,3%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 10,7%.
Probabilitas untuk kenaikan suku bunga acuan sebesar 1 kali juga cukup besar, yakni 34,6%. Untuk kenaikan 2 kali, probabilitasnya adalah 13,6%.
Pada kondisi normal, hal ini tentu berpotensi membuat dolar AS loyo. Tapi jangan senang dulu. Pasalnya ya itu tadi, sinyal resesi di AS masih kental terasa. Kala perekonomian AS mengalami resesi, tentu negara-negara Asia akan merasakan dampaknya. Akibatnya, dolar AS selaku safe haven bisa menjadi incaran investor.
Sejatinya, AS menjadi pihak yang paling dirugikan ketika resesi terjadi di sana. Saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas investor.
Namun, mengingat kini resesi belum benar-benar terjadi (bahkan belum ‘dikonfirmasi’ oleh inversi spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun), dolar AS selaku safe haven masih bisa menjadi pilihan oleh investor.
Ketika resesi memang benar-benar terjadi nantinya, saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas dan investor akan beralih memeluk emas yang juga merupakan safe haven. Hal ini terjadi pada krisis subprime mortgage tahun 2007-2009.
Sentimen kelima datang dari pergerakan harga minyak mentah dunia. Pada perdagangan hari Jumat (7/12/2018), harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 menguat 1,24% ke level US$ 52,13/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 menguat 2,68% ke level US$ 61,67/barel.
Harga minyak mentah menguat pasca negara-negara eksportir minyak dunia, baik OPEC maupun non-OPEC, menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel per hari. Rincinya adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.
Kesepakatan itu lebih rendah dari yang awalnya direncanakan. Sebelumnya, Arab Saudi mengindikasikan ingin OPEC dan sekutunya menahan pasokan paling tidak 1,3 juta barel per hari.
Namun begitu, pemotongan yang saat ini disepakati tetap saja besar, sehingga berpotensi mendorong naik harga minyak mentah dengan signifikan pada perdagangan hari ini.
Melesatnya harga minyak mentah akan memunculkan kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) masih akan tertekan pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.
Pada akhirnya, rupiah dan IHSG bisa dibawa ke zona merah.
NEXT
Sejauh ini, sentimen dari sisi eksternal nampaknya tak mendukung bagi pasar keuangan tanah air hari ini. Namun investor jangan bersedih dulu. Sentimen dari dalam negeri justru berpotensi menyelamatkan laju rupiah dan IHSG.
Pada pukul 15:15 WIB, BI dijadwalkan untuk merilis data pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Oktober 2018, seperti dilansir dari Trading Economics. Data ini menjadi penting guna mengukur tingkat konsumsi masyarakat Indonesia pada kuartal-IV 2018.
Pada awal bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal-III 2018 sebesar 5,17% YoY, mengalahkan konsensus yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia sebesar 5,145% YoY.
Namun, terdapat tekanan yang cukup besar bagi pos konsumsi rumah tangga. Pos ini hanya tumbuh sebesar 5,01% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan capaian kuartal-II 2018 yang sebesar 5,14% YoY.
Memang, pada kuartal-II 2018 terdapat bulan puasa dan lebaran yang sangat signifikan mendongkrak konsumsi. Tetapi di kuartal-III 2018, terdapat pagelaran Asian Games 2018 dan hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus yang juga mendongrak konsumsi, walaupun memang tak akan sesignifikan bulan puasa dan lebaran. Tetap saja, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya sebesar 5,01% YoY tergolong lambat.
Mengingat konsumsi rumah tangga berkontribusi lebih dari 50% terhadap perekonomian Indonesia, kuat-lemahnya pos ini akan banyak mendikte laju perekonomian Indonesia.
NEXT
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data pembacaan akhir pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal III-2018 (6.50 WIB)
- Rilis data Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia (tentatif)
- Rilis data pertumbuhan ekonomi Inggris bulan Oktober 2018 (16.30 WIB)
- Rilis data produksi manufaktur Inggris bulan Oktober 2018 (16.30 WIB)
- Rilis data pembukaan lapangan kerja AS bulan Oktober 2018 versi JOLTS (22.00 WIB)
Investor juga perlu mencermati agenda emiten yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
IHSG menutup pekan lalu di level 6.126,36, sedangkan rupiah bercokol di level Rp 14.465/dolar AS. Meski di akhir pekan mampu melaju kencang, rupiah tak mampu menutupi koreksi selama tiga hari berturut-turut sebelumnya.
IHSG menjadi bursa saham dengan performa terbaik di Asia dalam sepekan lalu. Mayoritas bursa saham Benua Kuning justru harus berkubang di zona merah. Dalam sepekan, indeks Nikkei jeblok 3,01%, indeks Hang Seng amblas 1,67%, indeks Kospi turun 1,01%, indeks Straits Times koreksi 0,21%, dan indeks Shanghai naik 0,68%.
Sebaliknya, nilai tukar rupiah justru menjadi yang terlemah kedua di Asia, kala mata uang utama lainnya bergerak variatif terhadap greenback. Performa mingguan rupiah hanya lebih baik dari rupee India yang terdepresiasi hingga 1,74%. Predikat mata uang Asia terbaik pekan lalu disandang oleh yuan China yang mampu menguat hingga 1,19%.
Perkembangan perang dagang AS-China yang tak kondusif membuat investor bermain defensif. Seiring berjalannya waktu, ternyata pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Xi Jingping di Buenos Aires beberapa waktu lalu menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Pernyataan resmi dari masing-masing negara menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Perbedaan tersebut meliputi tenggat waktu 90 hari untuk menyelesaikan konflik dagang serta klaim dari Presiden AS Donald Trump yang menyatakan bahwa China akan meningkatkan pembelian produk-produk agrikultur dari AS secepatnya.
Pernyataan dari kubu AS juga menyinggung bahwa merger antara Qualcomm dan NXP bisa kembali dipertimbangkan oleh Presiden China Xi Jinping, setelah sempat diblok beberapa waktu yang lalu. Sayangnya, tak ada konfirmasi mengenai hal ini dari kubu China.
Pelaku pasar lantas dibuat bingung. Masing-masing negara memiliki pernyataan versinya sendiri yang menempatnya dirinya sebagai 'pemenang' dalam perundingan di sela-sela KTT G-20 di Argentina.
Memang, dalam perundingan itu tak ada kesepakatan formal yang ditandatangani oleh Trump dan Xi. Damai dagang pun bisa sewaktu-waktu kembali berubah menjadi perang dagang yang tereskalasi.
Beruntung, ada sentimen positif dari dalam negeri yang bisa membuat IHSG menguat, salah satunya rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Pada Kamis sore (6/12/2018), Bank Indonesia (BI) merilis IKK periode November 2018 di level 122,7, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 119,2.
IKK di bulan lalu mampu pulih dari catatan buruk di bulan sebelumnya. Sebagai informasi, IKK di bulan Oktober 2018 merupakan yang terendah dalam 20 bulan terakhir atau sejak Februari 2017.
Momentum perbaikan IKK ini sukses mengatrol indeks sektor barang konsumsi menguat 0,58% menjelang akhir pekan.
NEXT
Pada perdagangan hari Jumat, indeks Dow Jones turun 2,24%, indeks S&P 500 melemah 2,33%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 3,05%.
Perkembangan perang dagang AS-China yang tak positif sukses memukul bursa saham Negeri Paman Sam. Apalagi, kesepakatan dagang antar keduanya kian sulit tercapai sieiring dengan penahanan Chief Financial Officer (CFO) Huawei global Meng Wanzhou di Kanada.
Penangkapan ini datang menyusul perintah AS yang sedang melakukan investigasi terkait dengan penggunaan sistem perbankan global oleh Huawei untuk menghindari sanksi AS terhadap Iran. Salah satu bank yang terjebak dalam investigasi ini adalah HSBC.
Selain karena perang dagang, saham-saham di AS dilepas seiring dengan indikasi resesi yang ditunjukkan oleh pasar obligasi.
Pada tanggal 4 Desember 2018, terjadi inversi spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps).
Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Namun, yang benar-benar meresahkan sebenarnya bukan itu. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.
Celakanya, spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal bulan lalu, nilainya adalah sebesar 82 bps. Per akhir perdagangan hari Jumat (7/12/2018), nilainya tersisa 45 bps saja.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
NEXT
Untuk hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, tentunya adalah ‘kebakaran’ yang melanda Wall Street. Biasanya, hawa negatif dari Wall Street akan terasa juga di perdagangan bursa Asia.
Kedua, perkembangan hubungan AS-China yang semakin suram seiring dengan sikap AS yang memberikan perintah kepada otoritas Kanada untuk menangkap CFO Huawei global Meng Wanzhou.
Pada hari Minggu (9/12/2018) waktu setempat, Kementerian Luar Negeri China memanggil duta besar AS dalam rangka mengajukan keberatan terkait penahanan Meng Wanzhou, sekaligus menuntut pihak AS untuk segera membebaskan sang petinggi Huawei tersebut.
Sebelumnya, kantor berita Xinhua yang mengutip situs resmi Kementerian Luar Negeri China melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri China Le Yucheng juga sudah memanggil duta besar Kanada John McCallum pada hari Sabtu (8/12/2018), dengan urusan yang sama.
Tidak tanggung-tanggung, Le memberitahu Callum bahwa hukuman bagi Meng Wanzhou adalah “pelanggaran luar biasa”. Le juga mengancam akan ada konsekuensi yang berat jika Kanada tidak segera membebaskan Meng Wanzhou.
“Langkah seperti itu (menahan Meng Wanzhou) adalah menghiraukan hukum dan tidak masuk akal, tidak berbudi, dan buruk secara moral, ujar Le seperti dikutip dari CNBC International.
“China secara tegas menuntut pihak Kanada segera membebaskan eksekutif Huawei […] atau menerima konsekuensi berat bahwa pihak Kanada seharusnya bertanggung jawab akan hal ini,” tambah Le.
Apabila tanggapan dari pihak Kanada dan AS ternyata tidak memuaskan pihak China, tentu hal ini akan menjadi risiko masif bagi negosiasi dagang yang sedang berlangsung. Kemungkinan terjadinya deadlock akan semakin besar. Tentu hal ini akan menjadi sentimen kurang sedap bagi pasar keuangan regional.
Sentimen ketiga yang perlu dicermati pelaku pasar adalah sinyal resesi di AS yang kian kuat terasa. Pada hari Jumat (7/12/2018), data resmi versi pemerintah AS menunjukkan bahwa pada bulan November tercipta 155.000 lapangan kerja sektor non-pertanian, di bawah konsensus yang sebesar 198.000, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sementara itu, rata-rata upah per jam di AS untuk periode yang sama hanya tumbuh sebesar 0,2% MoM, lebih rendah dibandingkan proyeksi yang sebesar 0,3% MoM.
Jika spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun terus saja menipis pada perdagangan hari ini (semakin mengarah ke inversi), pelaku pasar di Benua Kuning harus bersiap-siap. Sell-off sangat mungkin melanda.
NEXT
Sentimen keempat yang perlu diperhatikan pelaku pasar adalah pergerakan dolar AS. Memang, buruknya data-data ekonomi di AS membuka peluang untuk mendorong The Federal Reserve supaya tak terlalu agresif dalam melakukan normalisasi suku bunga acuan.
Bahkan, pelaku pasar sejatinya sudah meyakini hal ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 9 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan hanyalah sebesar 2,8% (dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps dulu pada bulan ini), anjlok dari posisi 1 bulan lalu yang sebesar 19,4%.
Justru, pelaku pasar kini meyakini bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan. Probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% pada tahun 2019 adalah sebesar 38,3%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 10,7%.
Probabilitas untuk kenaikan suku bunga acuan sebesar 1 kali juga cukup besar, yakni 34,6%. Untuk kenaikan 2 kali, probabilitasnya adalah 13,6%.
Pada kondisi normal, hal ini tentu berpotensi membuat dolar AS loyo. Tapi jangan senang dulu. Pasalnya ya itu tadi, sinyal resesi di AS masih kental terasa. Kala perekonomian AS mengalami resesi, tentu negara-negara Asia akan merasakan dampaknya. Akibatnya, dolar AS selaku safe haven bisa menjadi incaran investor.
Sejatinya, AS menjadi pihak yang paling dirugikan ketika resesi terjadi di sana. Saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas investor.
Namun, mengingat kini resesi belum benar-benar terjadi (bahkan belum ‘dikonfirmasi’ oleh inversi spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun), dolar AS selaku safe haven masih bisa menjadi pilihan oleh investor.
Ketika resesi memang benar-benar terjadi nantinya, saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas dan investor akan beralih memeluk emas yang juga merupakan safe haven. Hal ini terjadi pada krisis subprime mortgage tahun 2007-2009.
Sentimen kelima datang dari pergerakan harga minyak mentah dunia. Pada perdagangan hari Jumat (7/12/2018), harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 menguat 1,24% ke level US$ 52,13/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 menguat 2,68% ke level US$ 61,67/barel.
Harga minyak mentah menguat pasca negara-negara eksportir minyak dunia, baik OPEC maupun non-OPEC, menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel per hari. Rincinya adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.
Kesepakatan itu lebih rendah dari yang awalnya direncanakan. Sebelumnya, Arab Saudi mengindikasikan ingin OPEC dan sekutunya menahan pasokan paling tidak 1,3 juta barel per hari.
Namun begitu, pemotongan yang saat ini disepakati tetap saja besar, sehingga berpotensi mendorong naik harga minyak mentah dengan signifikan pada perdagangan hari ini.
Melesatnya harga minyak mentah akan memunculkan kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) masih akan tertekan pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.
Pada akhirnya, rupiah dan IHSG bisa dibawa ke zona merah.
NEXT
Sejauh ini, sentimen dari sisi eksternal nampaknya tak mendukung bagi pasar keuangan tanah air hari ini. Namun investor jangan bersedih dulu. Sentimen dari dalam negeri justru berpotensi menyelamatkan laju rupiah dan IHSG.
Pada pukul 15:15 WIB, BI dijadwalkan untuk merilis data pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Oktober 2018, seperti dilansir dari Trading Economics. Data ini menjadi penting guna mengukur tingkat konsumsi masyarakat Indonesia pada kuartal-IV 2018.
Pada awal bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal-III 2018 sebesar 5,17% YoY, mengalahkan konsensus yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia sebesar 5,145% YoY.
Namun, terdapat tekanan yang cukup besar bagi pos konsumsi rumah tangga. Pos ini hanya tumbuh sebesar 5,01% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan capaian kuartal-II 2018 yang sebesar 5,14% YoY.
Memang, pada kuartal-II 2018 terdapat bulan puasa dan lebaran yang sangat signifikan mendongkrak konsumsi. Tetapi di kuartal-III 2018, terdapat pagelaran Asian Games 2018 dan hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus yang juga mendongrak konsumsi, walaupun memang tak akan sesignifikan bulan puasa dan lebaran. Tetap saja, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya sebesar 5,01% YoY tergolong lambat.
Mengingat konsumsi rumah tangga berkontribusi lebih dari 50% terhadap perekonomian Indonesia, kuat-lemahnya pos ini akan banyak mendikte laju perekonomian Indonesia.
NEXT
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data pembacaan akhir pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal III-2018 (6.50 WIB)
- Rilis data Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia (tentatif)
- Rilis data pertumbuhan ekonomi Inggris bulan Oktober 2018 (16.30 WIB)
- Rilis data produksi manufaktur Inggris bulan Oktober 2018 (16.30 WIB)
- Rilis data pembukaan lapangan kerja AS bulan Oktober 2018 versi JOLTS (22.00 WIB)
Investor juga perlu mencermati agenda emiten yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) | RUPSLB | 11:00 WIB |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular