
Newsletter
Awas, Tariff Man Tebar Ancaman
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
05 December 2018 06:01

Dari Wall Street, kabar agak menakutkan siap menerkam di mana tiga indeks utama terperosok sangat dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 3,1%, S&P 500 amblas 3,24%, dan Nasdaq Composite ambrol 3,8%.
Investor mencemaskan ada risiko tekanan di pasar keuangan, yang tanda-tanda muncul dari imbal hasil (yield) obligasi. Yield untuk obligasi tenor pendek kini lebih tinggi ketimbang tenor panjang.
Pada pukul 05:10 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun adalah 2,7987% dan tenor 3 tahun adalah 2,8079. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yang sebesar 2,7905%.
Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield menjadi indikator bahwa dalam waktu dekat akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta 'jaminan' lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang.
Risiko tersebut dicerna oleh pasar sebagai sentimen negatif yang signifikan karena belum pernah terjadi selama 10 tahun terakhir. Melihat hal tersebut, investor pun meninggalkan instrumen berisiko seperti saham dan berpaling ke pelukan aset-aset aman (safe haven).
"Ada kekhawatiran karena terjadi inverted yield. Sebab, ini merupakan tanda-tanda awal terjadinya resesi," tegas Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, mengutip Reuters.
Selain itu, pelaku pasar juga khawatir terhadap risiko tidak tercapainya kesepakatan damai dagang antara AS dengan China. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama 90 hari.
Dalam periode tersebut, Washington dan Beijing akan bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat tarif bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.
"Kami akan mencoba menyelesaikan (negosiaasi). Namun jika tidak, ingat bahwa saya adalah manusia bea masuk (Tariff Man)!," cuit Trump di Twitter.
Kemunculan sang Tariff Man kembali menebar ancaman dan pelaku pasar kemudian berpikir ulang. Apakah AS- China benar-benar bisa mencapai damai dagang? Apakah euforia pasar yang terjadi selama 2 hari terakhir adalah tindakan berlebihan?
"Sell-off (aksi jual massal) hari ini adalah wujud dari kesadaran bahwa belum ada apa-apa yang telah diselesaikan (antara AS dan China). Masih banyak pekerjaan yang harus dituntaskan, sehingga euforia yang terjadi sebelumnya lebih karena pemberitaan tetapi bukan substansi," papar Delores Rubin, Senior Equities Trader di Deutsche Bank Wealth Management yang berbasis di New York, mengutip Reuters.
Sepertinya hubungan AS-China ternyata tidak mesra-mesra amat. Masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan ada pula risiko mengalami kebuntuan (dealock) yang membuat perang dagang kembali berkobar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Investor mencemaskan ada risiko tekanan di pasar keuangan, yang tanda-tanda muncul dari imbal hasil (yield) obligasi. Yield untuk obligasi tenor pendek kini lebih tinggi ketimbang tenor panjang.
Pada pukul 05:10 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun adalah 2,7987% dan tenor 3 tahun adalah 2,8079. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yang sebesar 2,7905%.
Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield menjadi indikator bahwa dalam waktu dekat akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta 'jaminan' lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang.
Risiko tersebut dicerna oleh pasar sebagai sentimen negatif yang signifikan karena belum pernah terjadi selama 10 tahun terakhir. Melihat hal tersebut, investor pun meninggalkan instrumen berisiko seperti saham dan berpaling ke pelukan aset-aset aman (safe haven).
"Ada kekhawatiran karena terjadi inverted yield. Sebab, ini merupakan tanda-tanda awal terjadinya resesi," tegas Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, mengutip Reuters.
Selain itu, pelaku pasar juga khawatir terhadap risiko tidak tercapainya kesepakatan damai dagang antara AS dengan China. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama 90 hari.
Dalam periode tersebut, Washington dan Beijing akan bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat tarif bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.
"Kami akan mencoba menyelesaikan (negosiaasi). Namun jika tidak, ingat bahwa saya adalah manusia bea masuk (Tariff Man)!," cuit Trump di Twitter.
Kemunculan sang Tariff Man kembali menebar ancaman dan pelaku pasar kemudian berpikir ulang. Apakah AS- China benar-benar bisa mencapai damai dagang? Apakah euforia pasar yang terjadi selama 2 hari terakhir adalah tindakan berlebihan?
"Sell-off (aksi jual massal) hari ini adalah wujud dari kesadaran bahwa belum ada apa-apa yang telah diselesaikan (antara AS dan China). Masih banyak pekerjaan yang harus dituntaskan, sehingga euforia yang terjadi sebelumnya lebih karena pemberitaan tetapi bukan substansi," papar Delores Rubin, Senior Equities Trader di Deutsche Bank Wealth Management yang berbasis di New York, mengutip Reuters.
Sepertinya hubungan AS-China ternyata tidak mesra-mesra amat. Masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan ada pula risiko mengalami kebuntuan (dealock) yang membuat perang dagang kembali berkobar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular