Newsletter

The Fed Kian Hati-hati dan Pertemuan Trump-Xi Jadi Kunci

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
30 November 2018 06:10
The Fed Kian Hati-hati dan Pertemuan Trump-Xi Jadi Kunci
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia 'mengamuk' pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kisaran 1%. 

Kemarin, IHSG ditutup melonjak 1,93%. Bursa saham Asia lainnya juga menguat, tetapi penguatan IHSG menjadi yang tertinggi. 


Sementara rupiah menguat 1% di hadapan greenback. Penguatan rupiah menjadi yang terbaik kedua, hanya kalah dari rupee India. 


Ada dua sentimen utama yang memotori penguatan pasar keuangan Benua Kuning. Pertama, optimisme terkait kesepakatan dagang antara AS dengan China.  

Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyatakan bahwa ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan kala Presiden AS Donald Trump bertemu Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20. 

"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu," kata Kudlow, mengutip Reuters. 

Apalagi, pernyataan Kudlow seakan disambut oleh kubu China. Presiden Xi menyatakan bahwa China siap untuk lebih membuka diri terhadap perekonomian global, sesuatu yang selama ini menjadi tuntutan Trump.  

"China akan terus berupaya untuk membuka diri, bahkan lebih dari apa yang dilakukan sekarang. China akan membuka akses kepada pasar, investasi, dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual," tegas Xi di depan parlemen Negeri Tirai Bambu, dikutip dari Reuters.   

Kedua, pernyataan dovish dari Gubernur The Federal Reserve/The Fed Jerome Powell bahwa suku bunga acuan sudah mendekati posisi netral, yang artinya tidak lagi bisa digunakan untuk meredam atau mempercepat pertumbuhan ekonomi. 

"Suku bunga acuan masih rendah berdasarkan standar historis, dan berada sedikit di bawah rentang estimasi yang netral," ucap Powell, mengutip Reuters. 

Pernyataan Powell diartikan sebagai sinyal bahwa The Fed mungkin akan mengurangi kadar kenaikan suku bunga acuan. Kala perang dagang dengan China masih berkecamuk, normalisasi yang tak kelewat agresif memang merupakan pilihan terbaik bagi perekonomian AS dan dunia.  

Di sisi lain, memudarnya prospek kenaikan suku bunga acuan Negeri Paman Sam justru jadi musibah bagi greenback. Dengan stance Powell yang tidak lagi hawkish, dolar AS kehilangan karisma dan mengalami tekanan jual. Hal ini lantas membuat mata uang Asia mendapatkan kekuatan untuk menguat, termasuk rupiah. 

Seiring penguatan rupiah yang signifikan, saham-saham bank BUKU IV menjadi primadona pada perdagangan kemarin. BMRI naik 3,38%, BBCA naik 2,95%, BBNI naik 2,63%, dan BBRI) naik 1,64%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama terkoreksi tipis setelah melonjak pada perdagangan kemarin. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,11%, S&P 500 turun 0,22%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,25%. 

Kemarin, tiga indeks ini menguat di kisaran 2%. Lagi pula bursa saham New York sudah menguat selama 4 hari beruntun sehingga koreksi yang sehat memang dibutuhkan. 

Selain itu, pelaku pasar juga merespons rilis notuensi rapat (minutes of meeting) The Fed episode November 2018. Dalam rapat tersebut, mayoritas pengambil kebijakan di bank sentral Negeri Paman Sam sepakat bahwa kenaikan suku bunga berikutnya sepertinya akan terjadi dalam waktu dekat. 

"Hampir semua peserta rapat menegaskan kembali bahwa kenaikan suku bunga acuan secara gradual adalah kebijakan yang konsisten dengan tujuan mencapai pasar tenaga kerja yang maksimal dan kestabilan harga. Konsisten dengan pandangan bahwa kenaikan suku bunga secara bertahap adalah kebijakan yang masih layak ditempuh, hampir seluruh peserta rapat menyatakan bahwa kenaikan suku bunga acuan sepertinya akan dilakukan dalam waktu dekat, jika data ketenagakerjaan dan inflasi senada atau lebih kuat dari ekspektasi," papar notulensi tersebut. 

Akibat rilis data ini, pelaku pasar semakin meyakini bahwa Powell dan kolega akan menaikkan Federal Funds Ratw pada rapat 19 Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) adalah 82,7%. Naik dibandingkan posisi sepekan sebelumnya yaitu 75,8%. 

Akan tetapi, tetap ada aura dovish dalam notulensi rapat ini. Para peserta rapat semakin menggarisbawahi bahwa ada risiko yang menghantui perekonomian AS. "Ada pertanda perlambatan di sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga," sebut notulensi itu. 

Kemudian, para peserta rapat juga menekankan pentingnya berkaca kepada data (data dependent) dalam pengambilan keputusan. Kalimat ini menjadi semakin kuat, yang menunjukkan The Fed mulai berhati-hati dan bisa berujung pada penurunan agresivitas. 

"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut. 

Sikap The Fed yang mulai dovish mendapat justifikasi dari rilis data ekonomi AS teranyar. Personal Comsumption Expenditure (PCE) inti atau Core PCE, yang menjadi prefensi The Fed dalam mengukur inflasi, mengalami perlambatan. 

Pada Oktober, Core PCE tercatat 1,8% secara year-on-yar (YoY). Melambat dibandingkan September yaitu 1,9%. Pencapaian Oktober menjadi yang paling rendah sejak Februari.  

Data ekonomi lainnya yang mengecewakan adalah jumlah klaim pengangguran AS yang naik 10.000 ke 234.000 pada pekan lalu, lebih tinggi dari konsensus Reuters yang memperkirakan penurunan ke angka 220.000. Capaian pekan lalu juga menjadi yang tertinggi sejak pertengahan Mei. 

Artinya bisa dikatakan menaikkan suku bunga acuan secara agresif mungkin sudah tidak diperlukan. Sebab perekonomian memang sudah menunjukkan tanda-tanda perlambatan, jadi apa lagi yang mau diperlambat? 

Perkembangan ini membuat Wall Street hanya terkoreksi terbatas. Padahal biasanya kenaian suku bunga acuan adalah sentimen negatif yang luar biasa bagi pasar saham. Sebab saham adalah instrumen yang tidak bisa bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi. 

Namun Wall Street masih bisa sedikit bernafas karena ternyata The Fed mulai hati-hati, kadar hawkish sudah berkurang. Masih ada optimisme di benak investor, sehingga Wall Street tidak mengalami koreksi yang terlalu dalam.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu koreksi yang dialami Wall Street.  

Meski koreksinya terbatas, pelemahan tetap pelemahan. Dikhawatirkan merahnya Wall Street akan menjalar ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia. 

Kedua adalah nilai tukar dolar AS yang berpotensi melemah. Pada pukul 05:24 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah tipis 0,03%. 

Sepertinya pasar valas merespons notulensi rapat The Fed dengan cara yang serupa seperti pasar saham. Walau The Fed mulai terlihat dovish, tetapi masih ada peluang kenaikan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Ini membuat koreksi Dollar Index sangat tipis. 

Sepertinya dolar AS akan berada di twilight zone, zona galau yang penuh ambiguitas. Greenback akan ditarik-tarik oleh kenaikan suku bunga acuan dan stance The Fed yang mulai melunak. Masing-masing sama kuat. 

Oleh karena itu, menjadi menarik untuk melihat bagaimana mata uang Asia (termasuk rupiah) merespons perkembangan ini. Apakah rupiah dkk bisa melanjutkan penguatan? Atau kini dolar AS mampu membalikkan kedudukan? 

Sentimen ketiga adalah harga minyak. Pada pukul 05:40 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,88%. 

Kenaikan harga si emas hitam didorong oleh kesiapan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia untuk memangkas produksi. Pelaku pasar memperkirakan produksi minyak tahun depan akan dipotong setidaknya 1 juta barel/hari untuk menghindari kelebihan pasokan alias oversupply

"Rusia dan OPEC perlu mengurangi (produksi minyak). Pertanyaannya adalah kapan dan berapa banyak," ujar seorang sumber di Kremlin, mengutip Reuters. 

Bagi IHSG, kenaikan harga minyak adalah sentimen positif. Saat harga minyak naik, emiten energi dan pertambangan akan lebih mendapat apresiasi dari pelaku pasar. 

Namun bagi rupiah, kenaikan harga minyak bukan kabar baik. Pasalnya, kenaikan harga minyak akan membuat biaya impor migas membengkak. Artinya defisit transaksi berjalan (current account) bisa semakin dalam dan ini sangat mempengaruhi kinerja rupiah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen keempat adalah hari ini menjadi awal Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Pertemuan ini sangat dinanti oleh pelaku pasar. Sebab, Presiden Trump dan Presiden Xi akan mengadakan dialog di sela-sela KTT ini. 

Perdagangan tentunya menjadi isu utama yang dibahas kedua pemimpin ini. Investor sangat berharap ada kesepakatan signifikan yang bisa mengubah perang dagang menjadi damai dagang. 

Investor patut memantau segala perkembangan terkait pertemuan Trump-Xi. Pasalnya, perang dagang adalah isu besar yang sangat mempengaruhi perekonomian dunia. Nasib arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global mungkin ditentukan dalam dialog Trump-Xi. 

Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah penyaluran kredit bank komersial yang tumbuh 13,35% YoY pada Oktober 2018, naik dari capaian bulan sebelumnya yaitu 12,69% YoY. Pertumbuhan Oktober sekaligus menjadi yang paling kencang sejak Agustus 2014 silam atau lebih dari 4 tahun. 

Pada November dan Desember, penyaluran kredit masih bisa dipacu lebih kencang lagi. Pasalnya, ekonomi Indonesia memang biasanya 'panas' pada kuartal IV seiring dengan digenjotnya penyerapan anggaran belanja negara pemerintah dan musim liburan. 

Sentimen ini terbukti ampuh melambung saham perbankan pada perdagangan kemarin. Saat saham-saham perbankan naik, maka IHSG secara keseluruhan pasti akan terangkat. Diharapkan pamor sentimen ini masih ada dan kembali mampu mengangkat IHSG.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • KTT G20 di Buenos Aires.
  • Rilis data tingkat pengangguran Jepang periode Oktober 2018 (06:30 WIB).
  • Rilis data indeks PMI manufaktur China periode November 2018 (08:00 WIB).
  • Rilis data indeks PMI non-manufaktur China periode November 2018 (08:00 WIB).
  • Rilis estimasi data inflasi zona Eropa periode November 2018 (17:00 WIB).
  • Rilis data tingkat pengangguran zona Eropa Oktober 2018 (17:00 WIB).
  • Pidato Presiden The Fed New York John Williams (21:00 WIB).
  • Rilis data indeks PMI Chicago periode November 2018 (21:45 WIB). 

Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Renuka Coalindo Tbk (SQMI)RUPSLB10:00
PT Capitol Nusantara Indonesia Tbk (CANI)RUPSLB14:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 
 
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (Oktober 2018 YoY)3,16%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2018)6%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2,19% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (Oktober 2018)US$ 115,16 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular