
Newsletter
Harga Minyak Anjlok, Awas 'Terpeleset'
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 November 2018 05:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bisa tersenyum lebar pada perdagangan kemarin. Dibuka melemah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah mampu membalikkan keadaan dan berhasil finis di jalur hijau.
Kemarin, IHSG ditutup menguat tajam 1,01%. Padahal IHSG dibuka melemah 0,39%.
Sementara rupiah berhasil mengakhiri hari dengan apresiasi 0,03% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah dibuka melemah 0,17%, dan nyaris seharian berkubang di zona merah.
Pada awalnya, sell-off yang terjadi di Wall Street memberikan tekanan bagi pasar keuangan Benua Kuning. Sebelumnya, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 2,32%, S&P 500 jatuh 1,95%, dan Nasdaq Composite ambrol 2,78%.
Namun, angin segar datang dari China, dan sukses membuat gairah pasar kembali membuncah. Diawali dengan pidato Perdana Menteri China Li Keqiang di KTT ASEAN di Singapura.
Li menegaskan Beijing bersedia untuk berdiskusi dengan negara-negara Asia Tenggara mengenai isu perbatasan Laut China Selatan. Pedoman (code of conduct) mengenai Laut China Selatan diharapkan selesai dalam 3 tahun.
Tidak hanya itu, Li juga menargetkan perundingan pembentukan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) akan rampung tahun depan. Dengan penyelesaian isu Laut China Selatan plus kelahiran RCEP, maka arus perdagangan ASEAN-China diharapkan semakin lancar. Indonesia pun akan menikmati berkahnya, karena bisa meningkatkan kinerja ekspor.
"Kami tidak mencari hegemoni atau ekspansi. Kami akan terus melakukan reformasi karena tidak ada pemenang dalam perang dagang," katanya, mengutip Reuters.
Kemudian disambung rencana kunjungan Wakil PM China Liu He ke Washington. South China Morning Post melaporkan, kedatangan Liu adalah untuk mematangkan rencana dialog Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 akhir bulan ini.
Pelaku pasar menaruh harapan besar kepada pertemuan Washington-Beijing. Bahkan doa investor adalah hasil pembicaraan ini begitu positif hingga membuat Trump dan Xi mencabut seluruh bea masuk yang sudah diterapkan. Jika itu terjadi, maka perang dagang resmi berakhir.
Meski masih belum terjadi, tapi ekspektasi ini berhasil mendorong risk appetite di pasar. Investor lebih berani mengambil risiko dengan masuk ke pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia. Hasilnya, IHSG dan rupiah mampu mencetak sweet comeback.
Saham-saham sektor energi menjadi biang keladi koreksi DJIA dan S&P 500. Indeks sektor energi di DJIA anjlok 2,07% sementara di S&P 500 jatuh 2,34%. Sektor ini menjadi yang terlemah baik di DJIA maupun S&P 500.
Kalau melihat perkembangan harga minyak, wajar saham sektor energi begitu terpukul. Pada pukul 04:51 WIB, harga minyak jenis brent amblas 7,06% dan light sweet jeblok 7,83%. Ini adalah koreksi terdalam dalam hampir 3 tahun terakhir.
"Ini seperti nasabah yang berbondong-bondong menarik uang mereka di bank. Sepertinya investor sudah tidak peduli ke fundamental," tegas Phil Flynn, Analis di Price Futures Group yang berbasis di Chicago, dikutip dari Reuters.
Koreksi harga si emas hitam sepertinya masih disebabkan oleh sentimen sebelumnya, yaitu penolakan Presiden AS Donald Trump terhadap rencana Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) untuk memangkas produksi pada 2019. Sebelumnya, Menteri Energi Arab Saudi Khalid el-Falih mengungkapkan OPEC siap mengurangi produksi hingga 1 juta barel/hari, tetapi Trump menentangnya.
"Berharap Arab Saudi dan OPEC tidak mengurangi produksi minyak. Harga minyak seharusnya lebih rendah karena (tingginya) pasokan," cuit Trump.
Selain itu, investor juga melihat ada risiko ketidakseimbangan di pasar minyak dunia. Dalam laporan edisi November 2018, OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan (over supply) sebesar 1,36 juta barel/hari.
"Meski pasar minyak dunia telah lebih seimbang, tetapi pertumbuhan pasokan mengindikasikan volume yang lebih tinggi melebihi permintaan yang berujung pada ekses yang membesar. Kemudian revisi ke bawah dari pertumbuhan ekonomi global menyebabkan tekanan terhadap permintaan minyak dalam beberapa bulan terakhir," sebut laporan OPEC yang menyinggung risiko terhadap harga minyak.
Akibat anjloknya harga minyak, harga saham emiten migas di AS ikut amblas. Harga saham Exxon Mobil jatuh 2,29% sementara Chevron ambrol 1,74%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah risiko. Pertama tentu kinerja Wall Street yang cenderung melemah. Dikhawatirkan merahnya bursa saham New York membuat mood pelaku pasar di Asia menjadi suram. Semoga tidak terjadi.
Sentimen kedua adalah harga minyak, yang sukses menjegal Wall Street. Penurunan harga minyak bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG karena emiten energi akan kurang mendapat apresiasi, seperti yang terjadi di Wall Street.
Namun bagi rupiah, koreksi harga minyak adalah berkah karena dapat mengurangi biaya impor migas. Defisit di neraca migas adalah biang kerok tekornya neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account).
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS yang melemah. Pada pukul 05:16 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) turun 0,39%.
Hawa damai dagang AS-China berhasil mengembalikan risk appetite di pasar, sehingga instrumen safe haven seperti dolar AS menjadi kurang peminat. Selain itu, sudah ada titik terang dalam pembahasan perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit).
Pada Rabu waktu setempat, Perdana Menteri Inggris Theresa May akan menggelar rapat kabinet untuk membahas poin-poin kesepakatan Brexit. Jika sudah ada kesepakatan di London, hasilnya akan dibawa ke Brussel dan dibahas dalam rapat pada 25 November. Apabila disetujui, Uni Eropa akan mengesahkan kesepakatan ini dan Inggris pun bisa resmi berpisah secara baik-baik.
Harapan ini membuat investor kembali bergairah. Tidak ada lagi istilah bermain aman, sehingga dolar AS pun semakin ditinggalkan. Apabila pelemahan dolar AS berlanjut, maka rupiah akan mendapat dorongan untuk kembali menguat.
Sentimen keempat adalah rilis data-data ekonomi di China. Salah satu data penting yang akan diumumkan adalah Investasi Aset Tetap periode Januari-Oktober 2018. Dalam periode Januari-September, investasi tumbuh 5,4% secara tahunan (year-on-year/YoY), naik dari periode Januari-Agustus sebesar 5,3%.
Kemudian, data lainnya yang perlu dicermati adalah Produksi Industri periode Oktober 2018. Pada September, pertumbuhannya melambat ke 5,8% YoY dari bulan sebelumnya 6,1% YoY. Bahkan, capaian pada September sudah turun cukup jauh dari April yang mencapai 7% YoY.
Jika data-data China mengecewakan, pelaku pasar tampaknya mesti mewaspadai bursa saham Asia yang akan berguguran. Investor akan semakin dibuat khawatir terhadap kerusakan yang diakibatkan perang dagang Washington-Beijing.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, IHSG ditutup menguat tajam 1,01%. Padahal IHSG dibuka melemah 0,39%.
Sementara rupiah berhasil mengakhiri hari dengan apresiasi 0,03% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah dibuka melemah 0,17%, dan nyaris seharian berkubang di zona merah.
Pada awalnya, sell-off yang terjadi di Wall Street memberikan tekanan bagi pasar keuangan Benua Kuning. Sebelumnya, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 2,32%, S&P 500 jatuh 1,95%, dan Nasdaq Composite ambrol 2,78%.
Namun, angin segar datang dari China, dan sukses membuat gairah pasar kembali membuncah. Diawali dengan pidato Perdana Menteri China Li Keqiang di KTT ASEAN di Singapura.
Li menegaskan Beijing bersedia untuk berdiskusi dengan negara-negara Asia Tenggara mengenai isu perbatasan Laut China Selatan. Pedoman (code of conduct) mengenai Laut China Selatan diharapkan selesai dalam 3 tahun.
Tidak hanya itu, Li juga menargetkan perundingan pembentukan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) akan rampung tahun depan. Dengan penyelesaian isu Laut China Selatan plus kelahiran RCEP, maka arus perdagangan ASEAN-China diharapkan semakin lancar. Indonesia pun akan menikmati berkahnya, karena bisa meningkatkan kinerja ekspor.
"Kami tidak mencari hegemoni atau ekspansi. Kami akan terus melakukan reformasi karena tidak ada pemenang dalam perang dagang," katanya, mengutip Reuters.
Kemudian disambung rencana kunjungan Wakil PM China Liu He ke Washington. South China Morning Post melaporkan, kedatangan Liu adalah untuk mematangkan rencana dialog Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 akhir bulan ini.
Pelaku pasar menaruh harapan besar kepada pertemuan Washington-Beijing. Bahkan doa investor adalah hasil pembicaraan ini begitu positif hingga membuat Trump dan Xi mencabut seluruh bea masuk yang sudah diterapkan. Jika itu terjadi, maka perang dagang resmi berakhir.
Meski masih belum terjadi, tapi ekspektasi ini berhasil mendorong risk appetite di pasar. Investor lebih berani mengambil risiko dengan masuk ke pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia. Hasilnya, IHSG dan rupiah mampu mencetak sweet comeback.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif cenderung melemah. DJIA turun 0,4%, S&P 500 terkoreksi 0,15%, tetapi Nasdaq menguat tipis 0,03%. Saham-saham sektor energi menjadi biang keladi koreksi DJIA dan S&P 500. Indeks sektor energi di DJIA anjlok 2,07% sementara di S&P 500 jatuh 2,34%. Sektor ini menjadi yang terlemah baik di DJIA maupun S&P 500.
Kalau melihat perkembangan harga minyak, wajar saham sektor energi begitu terpukul. Pada pukul 04:51 WIB, harga minyak jenis brent amblas 7,06% dan light sweet jeblok 7,83%. Ini adalah koreksi terdalam dalam hampir 3 tahun terakhir.
"Ini seperti nasabah yang berbondong-bondong menarik uang mereka di bank. Sepertinya investor sudah tidak peduli ke fundamental," tegas Phil Flynn, Analis di Price Futures Group yang berbasis di Chicago, dikutip dari Reuters.
Koreksi harga si emas hitam sepertinya masih disebabkan oleh sentimen sebelumnya, yaitu penolakan Presiden AS Donald Trump terhadap rencana Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) untuk memangkas produksi pada 2019. Sebelumnya, Menteri Energi Arab Saudi Khalid el-Falih mengungkapkan OPEC siap mengurangi produksi hingga 1 juta barel/hari, tetapi Trump menentangnya.
"Berharap Arab Saudi dan OPEC tidak mengurangi produksi minyak. Harga minyak seharusnya lebih rendah karena (tingginya) pasokan," cuit Trump.
Selain itu, investor juga melihat ada risiko ketidakseimbangan di pasar minyak dunia. Dalam laporan edisi November 2018, OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan (over supply) sebesar 1,36 juta barel/hari.
"Meski pasar minyak dunia telah lebih seimbang, tetapi pertumbuhan pasokan mengindikasikan volume yang lebih tinggi melebihi permintaan yang berujung pada ekses yang membesar. Kemudian revisi ke bawah dari pertumbuhan ekonomi global menyebabkan tekanan terhadap permintaan minyak dalam beberapa bulan terakhir," sebut laporan OPEC yang menyinggung risiko terhadap harga minyak.
Akibat anjloknya harga minyak, harga saham emiten migas di AS ikut amblas. Harga saham Exxon Mobil jatuh 2,29% sementara Chevron ambrol 1,74%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah risiko. Pertama tentu kinerja Wall Street yang cenderung melemah. Dikhawatirkan merahnya bursa saham New York membuat mood pelaku pasar di Asia menjadi suram. Semoga tidak terjadi.
Sentimen kedua adalah harga minyak, yang sukses menjegal Wall Street. Penurunan harga minyak bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG karena emiten energi akan kurang mendapat apresiasi, seperti yang terjadi di Wall Street.
Namun bagi rupiah, koreksi harga minyak adalah berkah karena dapat mengurangi biaya impor migas. Defisit di neraca migas adalah biang kerok tekornya neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account).
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS yang melemah. Pada pukul 05:16 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) turun 0,39%.
Hawa damai dagang AS-China berhasil mengembalikan risk appetite di pasar, sehingga instrumen safe haven seperti dolar AS menjadi kurang peminat. Selain itu, sudah ada titik terang dalam pembahasan perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit).
Pada Rabu waktu setempat, Perdana Menteri Inggris Theresa May akan menggelar rapat kabinet untuk membahas poin-poin kesepakatan Brexit. Jika sudah ada kesepakatan di London, hasilnya akan dibawa ke Brussel dan dibahas dalam rapat pada 25 November. Apabila disetujui, Uni Eropa akan mengesahkan kesepakatan ini dan Inggris pun bisa resmi berpisah secara baik-baik.
Harapan ini membuat investor kembali bergairah. Tidak ada lagi istilah bermain aman, sehingga dolar AS pun semakin ditinggalkan. Apabila pelemahan dolar AS berlanjut, maka rupiah akan mendapat dorongan untuk kembali menguat.
Sentimen keempat adalah rilis data-data ekonomi di China. Salah satu data penting yang akan diumumkan adalah Investasi Aset Tetap periode Januari-Oktober 2018. Dalam periode Januari-September, investasi tumbuh 5,4% secara tahunan (year-on-year/YoY), naik dari periode Januari-Agustus sebesar 5,3%.
Kemudian, data lainnya yang perlu dicermati adalah Produksi Industri periode Oktober 2018. Pada September, pertumbuhannya melambat ke 5,8% YoY dari bulan sebelumnya 6,1% YoY. Bahkan, capaian pada September sudah turun cukup jauh dari April yang mencapai 7% YoY.
Jika data-data China mengecewakan, pelaku pasar tampaknya mesti mewaspadai bursa saham Asia yang akan berguguran. Investor akan semakin dibuat khawatir terhadap kerusakan yang diakibatkan perang dagang Washington-Beijing.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data pertumbuhan ekonomi (preliminary) Jepang kuartal III-2018 (06:50 WIB).
- Rilis data investasi aset tetap China periode Januari-Oktober 2018 (09:00 WIB).
- Rilis data produksi sektor industri China periode Oktober 2018 (09:00 WIB).
- Rilis data penjualan ritel China periode Oktober 2018 (09:00 WIB).
- Rilis data tingkat pengangguran China periode Oktober 2018 (09:00 WIB).
- Rilis data pertumbuhan ekonomi (flash estimated) zona Eropa kuartal III-2018 (17:00 WIB).
- Rilis data inflasi AS periode Oktober 2018 (20:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Oktober 2018 YoY) | 3,16% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2,19% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2018) | -3,37% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2018) | -US$ 4,39 miliar |
Cadangan devisa (Oktober 2018) | US$ 115,16 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular