
Update Polling CNBC Indonesia
Konsensus Pasar: BI Masih Bisa Tahan Bunga Acuan di 5,75%
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 November 2018 14:57

Tse menilai rupiah yang mulai stabil akan menjadi pertimbangan utama BI untuk tidak menaikkan suku bunga acuan. Sebab selama ini tujuan kenaikan suku bunga acuan adalah untuk membuat pasar keuangan Indonesia lebih atraktif, sehingga aliran modal masuk dengan deras dan memperkuat rupiah.
Dalam sebulan terakhir, rupiah bahkan menguat 2,24% di hadapan dolar AS. Aliran modal sudah mulai deras dan menyokong penguatan mata uang Tanah Air. "Cadangan devisa Oktober juga naik US$ 400 juta dari bulan sebelummya menjadi US$ 115,2 miliar," ujar Tse.
Defisit transaksi berjalan (current account deficit), lanjut Tse, juga berpotensi membaik pada kuartal IV-2018. Pasalnya, harga minyak kemungkinan tidak akan naik tajam meski sanksi AS kepada Iran berlaku mulai 4 November.
Harga si emas hitam tidak melonjak karena AS memberikan kelonggaran impor minyak dari Iran untuk delapan negara mulai dari Jepang sampai Turki. Artinya pasokan minyak dunia tidak akan seret-seret amat.
Ditambah lagi ada aura damai dagang AS-China. Sudah terkonfirmasi bahwa Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu dan berdialog di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini.
Pelaku pasar menaruh harapan besar kepada pertemuan tersebut. Bahkan doa investor adalah hasil pembicaraan ini begitu positif hingga membuat Trump dan Xi mencabut seluruh bea masuk yang sudah diterapkan. Jika itu terjadi, maka perang dagang resmi berakhir.
Meski masih belum terjadi, tapi ekspektasi ini berhasil mendorong risk appetite di pasar. Kini investor lebih berani mengambil risiko dengan masuk ke pasar keuangan Asia, termasuk ke Indonesia.
Berbagai faktor tersebut menunjukkan bahwa risiko di sektor keuangan saat ini relatif mereda. Oleh karena itu, sepertinya memang belum ada kebutuhan bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuan. Sebaiknya ajian andalan itu baru dirapal pada Desember.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru)
Dalam sebulan terakhir, rupiah bahkan menguat 2,24% di hadapan dolar AS. Aliran modal sudah mulai deras dan menyokong penguatan mata uang Tanah Air. "Cadangan devisa Oktober juga naik US$ 400 juta dari bulan sebelummya menjadi US$ 115,2 miliar," ujar Tse.
Defisit transaksi berjalan (current account deficit), lanjut Tse, juga berpotensi membaik pada kuartal IV-2018. Pasalnya, harga minyak kemungkinan tidak akan naik tajam meski sanksi AS kepada Iran berlaku mulai 4 November.
Harga si emas hitam tidak melonjak karena AS memberikan kelonggaran impor minyak dari Iran untuk delapan negara mulai dari Jepang sampai Turki. Artinya pasokan minyak dunia tidak akan seret-seret amat.
Ditambah lagi ada aura damai dagang AS-China. Sudah terkonfirmasi bahwa Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu dan berdialog di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini.
Pelaku pasar menaruh harapan besar kepada pertemuan tersebut. Bahkan doa investor adalah hasil pembicaraan ini begitu positif hingga membuat Trump dan Xi mencabut seluruh bea masuk yang sudah diterapkan. Jika itu terjadi, maka perang dagang resmi berakhir.
Meski masih belum terjadi, tapi ekspektasi ini berhasil mendorong risk appetite di pasar. Kini investor lebih berani mengambil risiko dengan masuk ke pasar keuangan Asia, termasuk ke Indonesia.
Berbagai faktor tersebut menunjukkan bahwa risiko di sektor keuangan saat ini relatif mereda. Oleh karena itu, sepertinya memang belum ada kebutuhan bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuan. Sebaiknya ajian andalan itu baru dirapal pada Desember.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular