Newsletter

Waspada, Wall Street 'Berdarah'

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
13 November 2018 05:56
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Bursa Efek Indonesia (Reuters/Willy Kurniawan)

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kejatuhan Wall Street yang bisa menyebabkan aura negatif bagi bursa saham Asia. Semoga virus koreksi dari New York tidak menyebar sampai ke Benua Kuning, termasuk Indonesia. 

Sebab tentu masih segar di ingatan terjadi dua kali aksi jual besar-besaran (sell-off) di Wall Street pada Oktober. Saat itu Wall Street terkoreksi sangat dalam. 'Kebakaran' di Wall Street kemudian menjalar ke Asia, termasuk IHSG.

Oleh karena itu, Indonesia harus waspada melihat merahnya Wall Street hari ini. Jangan-jangan tragedi Oktober bisa terulang lagi.

Sentimen kedua adalah penguatan nilai tukar dolar AS yang kemungkinan masih berlanjut. Pada pukul 04:46 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat cukup tajam yaitu 0,77% ke 97,656. Ini merupakan posisi tertinggi sejak Juni 2017.

Sentimen negatif dari Eropa dan hawa kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam masih membayangi benak pelaku pasar. Hasilnya adalah dolar AS menjadi pilihan utama, karena selain aman juga menawarkan cuan karena kenaikan suku bunga acuan. 

Jika dolar AS masih perkasa di Asia, maka rupiah akan kembali menghadapi tantangan berat. Akan sulit menghadapi amukan dolar AS sehingga ada kemungkinan rupiah kembali tertekan. 

Namun ada sentimen ketiga yang bisa menolong rupiah, yaitu berlanjutnya tren penurunan harga minyak. Pada pukul 04:51 WIB, harga minyak jenis brent jatuh 1,33% sementara light sweet terperosok 1,94%. Koreksi yang amat dalam. 

Penurunan harga minyak terjadi meski Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) memutuskan untuk mengurangi produksi tahun depan. Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, menyebutkan produksi minyak tahun depan perlu dikurangi sekitar 1 juta barel/hari karena ternyata pasokan komoditas ini cukup berlimpah. 

"Kesepakatan kami adalah pasar harus diseimbangkan. Kalau itu perlu dilakukan dengan mengurangi pasokan 1 juta barel/hari, maka akan kami lakukan. Sanksi (AS kepada Iran) ternyata tidak mengurangi pasokan seperti perkiraan pasar," ungkap al-Falih, dikutip dari Reuters. 

Namun, rencana ini mendapat kritik dari Presiden AS Donald Trump. Melalui cuitan di Twitter, Trump meminta agar Arab Saudi dan OPEC tidak mengurangi pasokan minyak agar harga si emas hitam tidak melambung. 

"Berharap Arab Saudi dan OPEC tidak mengurangi produksi minyak. Harga minyak seharusnya lebih rendah karena (tingginya) pasokan," cuit Trump. 

'Veto' Trump tampaknya sukses, investor lebih condong melihat pasokan akan melimpah meski ada risiko penurunan produksi dan ekspor Iran akibat sanksi AS. Ini membuat harga minyak terjun bebas. 

Penurunan harga minyak bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG, karena emiten energi akan kurang mendapat apresiasi. Namun bagi rupiah, koreksi harga minyak adalah berkah karena dapat mengurangi biaya impor migas. Defisit di neraca migas adalah biang kerok tekornya neraca perdagangan dan transaksi berjalan.

Bicara transaksi berjalan, maka kita bisa masuk sentimen keempat. Pemerintah menegaskan belum ada rencana untuk menambah kebijakan penyelamatan transaksi berjalan. "Pesan yang disampaikan pemerintah dan BI sudah konsisten," ujar Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. 


Pemerintah sudah merilis sejumlah kebijakan seperti kewajiban penggunaan campuran bahan bakar nabati sebesar 20% untuk minyak diesel/solar (B20) hingga kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) impor untuk lebih dari 1.000 produk luar negeri. Tujuannya adalah untuk mengendalikan impor sehingga tidak banyak devisa yang terbuang sehingga transaksi berjalan dan rupiah bisa lebih stabil. 

Sementara BI sudah mengeluarkan ajian pamungkas yaitu kenaikan suku bunga acuan hingga 150 basis poin (bps) sepanjang 2018. Kebijakan ini diharapkan mampu membuat pasar keuangan Indonesia lebih atraktif sehingga mengundang arus modal masuk yang bisa menjadi pijakan bagi penguatan rupiah. 

Namun sejauh ini rupiah masih melemah signifikan. Sejak awal tahun, rupiah terdepresiasi 7,6% terhadap dolar AS. Rupiah adalah mata uang dengan pelemahan terdalam kedua di Asia, hanya lebih baik dari rupee India. 

Tanpa kebijakan baru, bisa muncul kekhawatiran transaksi berjalan akan semakin memburuk pada kuartal IV-2018. Dampaknya adalah rupiah berisiko untuk terus melemah. Apabila sampai muncul persepsi rupiah akan terus melemah ke depannya, maka investor akan menghindari aset-aset berbasis mata uang ini. Investor mana yang mau memegang aset yang harganya bakal turun? 

(BERLANJUT KE HALAMAN 4)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular