Newsletter

Hati-hati, Perang Dagang Bisa Panas Lagi

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 October 2018 06:31
Hati-hati, Perang Dagang Bisa Panas Lagi
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masih belum mampu pulih pada perdagangan awal pekan ini. Sempat menguat hingga 0,51%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri hari dengan melemah 0,52%. Sementara rupiah berakhir stagnan, sama dengan penutupan akhir pekan lalu. 

Nasib IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga berakhir di zona merah, walaupun menguat pada awal perdagangan. Indeks Nikkei 225 ditutup turun 0,16%, Shanghai Composite anjlok 2,18%, dan Kospi terpangkas 1,53%. 


Sementara itu, setelah nyaris sepanjang hari terdepresiasi, rupiah akhirnya ditutup stagnan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Meski hanya stagnan, pencapaian rupiah cukup impresif. Bahkan rupiah jadi mata uang terbaik di Asia karena mata uang lainnya melemah.  


Berbagai kabar negatif membuat investor memilih bermain aman dan kurang melirik pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Asia, risiko datang dari data ekonomi China yang kurang kece.  

Biro Statistik Nasional China mencatat pertumbuhan laba industrial naik 4,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada September 2018 menjadi CNY 545,5 miliar. Laju pertumbuhan tersebut tidak sampai separuh dari pencapaian bulan sebelumnya dan menjadi yang paling lambat sejak Maret.  

Sepertinya perang dagang AS vs China begitu berpengaruh terhadap dunia usaha di Negeri Tirai Bambu. Maklum, AS adalah pasar ekspor terbesar China. Tahun lalu, nilai ekspor China ke AS mencapai US$ 431,7 miliar atau 19% dari total ekspor.  

Ketika sang konsumen terbesar itu mulai menutup diri, maka akan sangat mempengaruhi kinerja ekspor China. Akibatnya, dunia usaha terpukul dan laba mereka mengecil.  
Sementara dari Eropa, problem anggaran Italia masih menjadi momok. Pelaku pasar mengkhawatirkan fiskal Negeri Pizza tahun anggaran 2019 yang dinilai terlalu agresif dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).  

Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) yang menurunkan proyeksi (outlook) Italia dari stabil menjadi negatif. Menurut S&P, rencana anggaran ini akan membebani pertumbuhan ekonomi dan upaya menurunkan utang pemerintah.  

Beruntung, dari dalam negeri ada sentimen yang mencegah pasar keuangan Indonesia jatuh terlalu dalam. Pelemahan IHSG tertahan oleh saham ASII. Aksi beli atas saham perusahaan dipicu oleh rilis kinerja keuangan yang menggembirakan.

Sepanjang kuartal-III 2018, perusahaan membukukan pendapatan senilai Rp 62,3 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv senilai Rp 61,99 triliun. Sementara itu, laba bersih tercatat sebesar Rp 6,69 triliun, juga di atas ekspektasi analis yang sebesar Rp 5,53 triliun.
 

Sementara itu, rupiah mampu berbalik arah karena adanya arus modal masuk terutama di di pasar obligasi. Pada pukul 16:36 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 0,3 basis poin ke 8,664%. Penurunan yield berarti harga instrumen ini sedang naik karena bertambahnya permintaan.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama lagi-lagi harus finis di jalur merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,99%, S&P 500 melemah 0,65%, dan Nasdaq Composite amblas 2,02%. 

Kabar buruk melanda sejak awal perdagangan. Tersiar kabar bahwa AS siap menerapkan bea masuk baru kepada produk-produk China apabila pertemuan Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping tidak membuahkan hasil. Keduanya dikabarkan akan melakukan pembicaraan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina), bulan depan. 

Mengutip Reuters, sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan Washington sudah menyiapkan bea masuk baru sebagai skenario terburuk. Kemungkinan bea masuk itu adalah untuk importasi produk-produk made in China bernilai US$ 257 miliar seperti yang sering dikemukakan Trump. 

Tensi perang dagang AS vs China yang kembali tinggi membuat pelaku pasar was-was. Sebenarnya tidak hanya China yang terluka karena perang dagang, AS pun merasakan efek buruknya. 

Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2018 adalah 3,5% secara kuartalan yang disetahunkan (quatrerly annualized). Melambat lumayan signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 4,2%. 

Salah satu biang keladi perlambatan ini adalah anjloknya ekspor AS, terutama kedelai. AS adalah eksportir kedelai terbesar kedua dunia dengan volume 59,16 juta metrik ton pada 2017 dan China adalah pasar terbesarnya dengan volume 35,85 juta metrik ton (63,83%). 

Pada Juli lalu, China resmi mengenakan bea masuk 25% untuk impor kedelai asal AS. Akibatnya ekspor kedelai AS berkurang drastis dan itu menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam. 

"Perang dagang lebih lanjut tentu akan menghasilkan dampak yang lebih buruk dari apa yang terjadi sekarang," keluh Mark Luschini, Chief Investment Strategist di Janney Montgomery Scott yang berbasis di Philadelphia, dikutip dari Reuters.  

Melihat Nasdaq yang mengalami koreksi dalam, saham-saham teknologi mengalami tekanan berat. Facebook anjlok 2,26%, Amazon amblas 6,33%, Apple ambrol 1,88%, Netflix jatuh 4,99%, Alphabet (induk usaha Google) terpangkas 4,52%, Intel turun 0,63%, dan Microsoft terperosok 2,91%. 

Saham-saham teknologi mendapat hantaman dari rencana Inggris yang akan mengenakan pajak baru yang menyasar pelaku usaha jasa digital. Mengutip Reuters, pemerintah Negeri Ratu Elizabeth akan memajaki pendapatan platform online yang diperoleh di Inggris. 

"Jelas tidak adil apabila bisnis digital ini bisa mendapatkan pemasukan yang besar tanpa membayar pajak. Harus ada pajak untuk setiap bisnis," tegas Philip Hammond, Menteri Keuangan Inggris, dikutip dari Reuters. 

Menurut Hammond, pajak ini akan lebih menyasar kepada perusahaan-perusahaan raksasa, bukan start-up skala kecil. Perusahaan yang memperoleh laba akan dikenakan pajak 2% mulai April 2020. Potensi penerimaan negara ditaksir mencapai 400 juta poundsterling atau sekitar dua kali lipat dari biaya transfer Neymar Jr dari Barcelona ke Paris St Germain. 

Apa yang dilakukan Inggris dikhawatirkan bakal menjadi preseden bagi negara lain. Ketika negara-negara lain menerapkan hal serupa, tentu pendapatan para gergasi teknologi akan tergerus signifikan karena terpangkas oleh pajak. 

"Pajak 400 juta poundsterling mungkin kecil bagi perusahaan sebesar Amazon, yang penjualannya mencapai US$ 233 miliar. Namun apa yang dilakukan Inggris akan adalah lemparan kerikil yang akan menjadi tanah longsor longsor jika negara-negara lain menerapkan hal serupa," kata Laith Khalaf, Analis di Hargreaves Landsdown, mengutip Reuters. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu performa Wall Street yang kurang ciamik. Dikhawatirkan koreksi Wall Street menjalar hingga ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia. 

Kedua adalah rilis data terbaru di AS yaitu Core Personal Comsumption Expenditure (Core PCE) yang menjadi preferensi The Federal Reserve/The Fed dalam mengukur inflasi. Pada September 2018, Core PCE tercatat 2% YoY atau sejalan dengan target The Fed. 

Ke depan, ada potensi Core PCE akan terus meningkat dan berada sedikit di atas target 2% yang dipatok The Fed. Pasalnya walau pertumbuhan ekonomi AS melambat, tetapi konsumsi rumah tangga tetap tumbuh impresif. Pada kuartal III-2018, pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai 4%, tercepat sejak kuartal IV-2014.  

Dengan laju inflasi AS yang kemungkinan terakselerasi, maka bisa menjadi alasan bagi The Fed untuk kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate 25 basis poin pada 19 Desember adalah 69,7%, naik dari posisi kemarin yaitu 66,9%. 

Kabar kenaikan suku bunga akan menjadi alarm pemanggil bagi penguatan dolar AS. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan menaikkan imbalan investasi, utamanya di instrumen berpendapatan tetap. Aliran modal akan merapat ke AS sehingga greenback akan kembali perkasa, tentu bukan kabar baik bagi rupiah dan IHSG. 

Sentimen ketiga adalah perkembangan perang dagang AS vs China. Sentimen ini berhasil membuat Wall Street rontok, dan bila terkonfirmasi bahwa AS siap menerapkan bea masuk baru maka akan menjadi hantaman bagi perekonomian Asia dan sentimen negatif di pasar keuangan. 

Terbukti bahwa perlambatan aktivitas ekonomi di China mampu membuat pasar keuangan Asia terbeban pada perdagangan kemarin. Jadi apabila China mendapat serangan lebih lanjut, maka beban bagi China dan Asia akan semakin berat. 

Sentimen keempat, kali ini dari Eropa, yaitu tersiar kabar bahwa Angela Merkel tidak akan lagi mencalonkan diri sebagai Kanselir Jerman setelah menjabat selama 13 tahun. Merkel adalah sosok yang berhasil mengantar Uni Eropa selamat dari terjangan krisis fiskal pada 2009-2010. 

"Pasar melihat Merkel sebagai Iron Lady of Europe. Kabar ini tentu bukan berita baik bagi euro," ujar Karl Schamotta, Chief Market Strategist di Cambridge Global Payment yang berbasis di Toronto, mengutip Reuters. 

Berita ini membuat euro berpotensi melemah dan semakin melapangkan jalan bagi dolar AS untuk menguat. Oleh karena itu, rupiah wajib waspada. 

Sentimen kelima adalah dari dalam negeri, yaitu rilis data realisasi investasi langsung kuartal III-2018. Pada kuartal sebelumnya, investasi hanya tumbuh 3,1% YoY, bahkan Penanaman Modal Asing (PMA) terkontraksi alias minus 12,9%. Selama era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), baru kali ini PMA tercatat menurun secara tahunan.  

Apabila performa negatif investasi kembali terulang, pelaku pasar wajib waspada. Buruknya PMA menggambarkan situasi dunia usaha sebenarnya sedang lesu. Terutama investor asing, yang justru terlihat menghindari Indonesia. Sinyal ini tentu akan menjadi sentimen negatif di pasar keuangan.  



(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data tingkat pengangguran Jepang periode September 2018 (06:30 WIB).
  • Rilis data investasi langsung Indonesia kuartal III-2018 (13:30 WIB).
  • Rilis pembacaan data awal pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018 zona Eropa (17:00 WIB).
  • Rilis data keyakinan konsumen AS periode Oktober 2018 (21:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk (ABDA)RUPS Tahunan14:00
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM)Earnings Call16:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (September 2018)US$ 114.8 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular