Rupiah Memang 'Cuma' Stagnan, Tapi Jadi Nomor 1 di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 October 2018 16:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil keluar dari zona merah kala penutupan pasar spot. Namun rupiah tidak ke zona hijau juga, lebih tepatnya di tengah-tengah yaitu stagnan.
Kala penutupan pasar spot valas Indonesia, Senin (29/10/2018), US$ 1 berada di Rp 15.215. Tidak berubah dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Rupiah mengawali hari dengan penguatan 0,1%. Setelah itu penguatan rupiah terkikis dan sudah habis pada pukul 09:00 WIB.
Kemudian rupiah bertahan cukup lama di teritori depresiasi, bahkan nyaris sepanjang hari. Sebelum akhirnya rupiah mampu berbalik arah dan tidak lagi melemah, walau gagal menguat juga.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang perdagangan hari ini:
Meski hanya stagnan, pencapaian rupiah cukup impresif. Bahkan rupiah jadi mata uang terbaik di Asia karena mata uang lainnya melemah di hadapan dolar AS.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:15 WIB:
Dolar AS memang masih digdaya. Pada pukul 16:24 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,2%. Sudah seharian indeks ini terus bertahan di zona hijau.
Berbagai kabar negatif membuat investor memilih bermain aman dan menuju ke pelukan aset-aset safe haven, salah satunya dolar AS. Risiko itu tersebar dari Asia hingga Eropa.
Di Asia, risiko datang dari data ekonomi China yang kurang kece. Biro Statistik Nasional China mencatat pertumbuhan laba industrial naik 4,1% year-on-year (YoY) pada September 2018 menjadi CNY 545,5 miliar. Laju pertumbuhan tersebut tidak sampai separuh dari pencapaian bulan sebelumnya dan menjadi yang paling lambat sejak Maret.
Sepertinya perang dagang AS vs China begitu berpengaruh terhadap dunia usaha di Negeri Tirai Bambu. Maklum, AS adalah pasar ekspor terbesar China. Tahun lalu, nilai ekspor China ke AS mencapai US$ 431,7 miliar atau 19% dari total ekspor.
Ketika sang konsumen terbesar itu mulai menutup diri, maka akan sangat mempengaruhi kinerja ekspor China. Akibatnya, dunia usaha terpukul dan laba mereka mengecil.
Belum adanya solusi untuk mengakhiri perang dagang membuat dunia usaha di China kemungkinan akan terus mengalami tekanan. Prospek pertumbuhan ekonomi China pun menjadi penuh tanda tanya.
China adalah perekonomian terbesar kedua di dunia, dan nomor 1 di Asia. Risiko perlambatan ekonomi China tentunya akan ikut mempengaruhi negara-negara lain di Asia.
Pelaku pasar pun kemudian beraksi dengan memihak dolar AS. Arus modal yang masih berkerumun di sekitar dolar AS membuat mata uang ini semakin perkasa di Asia.
Sementara dari Eropa, problem anggaran Italia masih menjadi momok. Pelaku pasar mengkhawatirkan fiskal Negeri Pizza tahun anggaran 2019 yang dinilai terlalu agresif dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) yang menurunkan proyeksi (outlook) Italia dari stabil menjadi negatif. Menurut S&P, rencana anggaran ini akan membebani pertumbuhan ekonomi dan upaya menurunkan utang pemerintah.
"Kebijakan ekonomi dan anggaran pemerintah Italia akan membebani pertumbuhan ekonomi, yang menjadi kunci untuk menurunkan rasio utang. Dalam pandangan kami, rencana ekonomi dan fiskal Italia terlah menggerus kepercayaan investor, terlihat dari peningkatan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah," papar S&P dalam keterangan tertulisnya.
Uni Eropa menolak rencana anggaran ini dan meminta Roma untuk melakukan revisi. Namun sejauh ini pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte masih keukeuh mempertahankan kebijakan mereka.
Matteo Salvini, Wakil Perdana Menteri Italia, menilai hasil kajian S&P tidak kredibel. Dia pun merujuk ke krisis keuangan global 2008, yang disebutnya akibat kegagalan lembaga pemeringkat untuk melihat risiko.
"Mereka adalah lembaga yang sama yang tidak melihat risiko krisis keuangan. Kami tidak akan mundur bahkan setengah milimeter," tegas Salvini, dikutip dari Reuters.
Perkembangan-perkembangan ini membuat investor memilih bermain aman. Risiko yang besar di Asia dan Eropa membuat pelaku pasar tentu enggan mencoba-coba masuk ke negara berkembang.
Kemungkinan rupiah mampu berbalik arah karena adanya arus modal masuk terutama di di pasar obligasi. Pada pukul 16:36 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 0,3 basis poin ke 8,664%. Penurunan yield berarti harga instrumen ini sedang naik karena bertambahnya permintaan.
Ada dua kemungkinan. Pertama, yield obligasi yang sudah naik tajam membuatnya menarik di mata investor. Sejak awal Oktober, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun sudah menanjak 63,8 basis poin. Imbalan yang menarik tentu membuat investor tergiur dan masuk ke pasar obligasi.
Kedua, ada intervensi Bank Indonesia (BI). Bank sentral berkomitmen untuk menjaga stabilitas rupiah dengan intervensi di dua pasar, valas dan obligasi pemerintah. Ada kemungkinan BI melakukan intervensi dengan masuk ke pasar obligasi. Tingginya permintaan dari BI menyebabkan permintaan terhadap rupiah meningkat, dan nilai mata uang ini menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Kala penutupan pasar spot valas Indonesia, Senin (29/10/2018), US$ 1 berada di Rp 15.215. Tidak berubah dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Rupiah mengawali hari dengan penguatan 0,1%. Setelah itu penguatan rupiah terkikis dan sudah habis pada pukul 09:00 WIB.
Kemudian rupiah bertahan cukup lama di teritori depresiasi, bahkan nyaris sepanjang hari. Sebelum akhirnya rupiah mampu berbalik arah dan tidak lagi melemah, walau gagal menguat juga.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang perdagangan hari ini:
Meski hanya stagnan, pencapaian rupiah cukup impresif. Bahkan rupiah jadi mata uang terbaik di Asia karena mata uang lainnya melemah di hadapan dolar AS.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:15 WIB:
Dolar AS memang masih digdaya. Pada pukul 16:24 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,2%. Sudah seharian indeks ini terus bertahan di zona hijau.
Berbagai kabar negatif membuat investor memilih bermain aman dan menuju ke pelukan aset-aset safe haven, salah satunya dolar AS. Risiko itu tersebar dari Asia hingga Eropa.
Di Asia, risiko datang dari data ekonomi China yang kurang kece. Biro Statistik Nasional China mencatat pertumbuhan laba industrial naik 4,1% year-on-year (YoY) pada September 2018 menjadi CNY 545,5 miliar. Laju pertumbuhan tersebut tidak sampai separuh dari pencapaian bulan sebelumnya dan menjadi yang paling lambat sejak Maret.
Sepertinya perang dagang AS vs China begitu berpengaruh terhadap dunia usaha di Negeri Tirai Bambu. Maklum, AS adalah pasar ekspor terbesar China. Tahun lalu, nilai ekspor China ke AS mencapai US$ 431,7 miliar atau 19% dari total ekspor.
Ketika sang konsumen terbesar itu mulai menutup diri, maka akan sangat mempengaruhi kinerja ekspor China. Akibatnya, dunia usaha terpukul dan laba mereka mengecil.
Belum adanya solusi untuk mengakhiri perang dagang membuat dunia usaha di China kemungkinan akan terus mengalami tekanan. Prospek pertumbuhan ekonomi China pun menjadi penuh tanda tanya.
China adalah perekonomian terbesar kedua di dunia, dan nomor 1 di Asia. Risiko perlambatan ekonomi China tentunya akan ikut mempengaruhi negara-negara lain di Asia.
Pelaku pasar pun kemudian beraksi dengan memihak dolar AS. Arus modal yang masih berkerumun di sekitar dolar AS membuat mata uang ini semakin perkasa di Asia.
Sementara dari Eropa, problem anggaran Italia masih menjadi momok. Pelaku pasar mengkhawatirkan fiskal Negeri Pizza tahun anggaran 2019 yang dinilai terlalu agresif dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) yang menurunkan proyeksi (outlook) Italia dari stabil menjadi negatif. Menurut S&P, rencana anggaran ini akan membebani pertumbuhan ekonomi dan upaya menurunkan utang pemerintah.
"Kebijakan ekonomi dan anggaran pemerintah Italia akan membebani pertumbuhan ekonomi, yang menjadi kunci untuk menurunkan rasio utang. Dalam pandangan kami, rencana ekonomi dan fiskal Italia terlah menggerus kepercayaan investor, terlihat dari peningkatan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah," papar S&P dalam keterangan tertulisnya.
Uni Eropa menolak rencana anggaran ini dan meminta Roma untuk melakukan revisi. Namun sejauh ini pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte masih keukeuh mempertahankan kebijakan mereka.
Matteo Salvini, Wakil Perdana Menteri Italia, menilai hasil kajian S&P tidak kredibel. Dia pun merujuk ke krisis keuangan global 2008, yang disebutnya akibat kegagalan lembaga pemeringkat untuk melihat risiko.
"Mereka adalah lembaga yang sama yang tidak melihat risiko krisis keuangan. Kami tidak akan mundur bahkan setengah milimeter," tegas Salvini, dikutip dari Reuters.
Perkembangan-perkembangan ini membuat investor memilih bermain aman. Risiko yang besar di Asia dan Eropa membuat pelaku pasar tentu enggan mencoba-coba masuk ke negara berkembang.
Kemungkinan rupiah mampu berbalik arah karena adanya arus modal masuk terutama di di pasar obligasi. Pada pukul 16:36 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 0,3 basis poin ke 8,664%. Penurunan yield berarti harga instrumen ini sedang naik karena bertambahnya permintaan.
Ada dua kemungkinan. Pertama, yield obligasi yang sudah naik tajam membuatnya menarik di mata investor. Sejak awal Oktober, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun sudah menanjak 63,8 basis poin. Imbalan yang menarik tentu membuat investor tergiur dan masuk ke pasar obligasi.
Kedua, ada intervensi Bank Indonesia (BI). Bank sentral berkomitmen untuk menjaga stabilitas rupiah dengan intervensi di dua pasar, valas dan obligasi pemerintah. Ada kemungkinan BI melakukan intervensi dengan masuk ke pasar obligasi. Tingginya permintaan dari BI menyebabkan permintaan terhadap rupiah meningkat, dan nilai mata uang ini menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular