Newsletter

Hati-hati, Perang Dagang Bisa Panas Lagi

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 October 2018 06:31
Perang Dagang dan Pajak Online Bikin Wall Street Merah
Perdagangan Saham di Wall Street (REUTERS/Stephen Yang)
Dari Wall Street, tiga indeks utama lagi-lagi harus finis di jalur merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,99%, S&P 500 melemah 0,65%, dan Nasdaq Composite amblas 2,02%. 

Kabar buruk melanda sejak awal perdagangan. Tersiar kabar bahwa AS siap menerapkan bea masuk baru kepada produk-produk China apabila pertemuan Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping tidak membuahkan hasil. Keduanya dikabarkan akan melakukan pembicaraan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina), bulan depan. 

Mengutip Reuters, sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan Washington sudah menyiapkan bea masuk baru sebagai skenario terburuk. Kemungkinan bea masuk itu adalah untuk importasi produk-produk made in China bernilai US$ 257 miliar seperti yang sering dikemukakan Trump. 

Tensi perang dagang AS vs China yang kembali tinggi membuat pelaku pasar was-was. Sebenarnya tidak hanya China yang terluka karena perang dagang, AS pun merasakan efek buruknya. 

Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2018 adalah 3,5% secara kuartalan yang disetahunkan (quatrerly annualized). Melambat lumayan signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 4,2%. 

Salah satu biang keladi perlambatan ini adalah anjloknya ekspor AS, terutama kedelai. AS adalah eksportir kedelai terbesar kedua dunia dengan volume 59,16 juta metrik ton pada 2017 dan China adalah pasar terbesarnya dengan volume 35,85 juta metrik ton (63,83%). 

Pada Juli lalu, China resmi mengenakan bea masuk 25% untuk impor kedelai asal AS. Akibatnya ekspor kedelai AS berkurang drastis dan itu menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam. 

"Perang dagang lebih lanjut tentu akan menghasilkan dampak yang lebih buruk dari apa yang terjadi sekarang," keluh Mark Luschini, Chief Investment Strategist di Janney Montgomery Scott yang berbasis di Philadelphia, dikutip dari Reuters.  

Melihat Nasdaq yang mengalami koreksi dalam, saham-saham teknologi mengalami tekanan berat. Facebook anjlok 2,26%, Amazon amblas 6,33%, Apple ambrol 1,88%, Netflix jatuh 4,99%, Alphabet (induk usaha Google) terpangkas 4,52%, Intel turun 0,63%, dan Microsoft terperosok 2,91%. 

Saham-saham teknologi mendapat hantaman dari rencana Inggris yang akan mengenakan pajak baru yang menyasar pelaku usaha jasa digital. Mengutip Reuters, pemerintah Negeri Ratu Elizabeth akan memajaki pendapatan platform online yang diperoleh di Inggris. 

"Jelas tidak adil apabila bisnis digital ini bisa mendapatkan pemasukan yang besar tanpa membayar pajak. Harus ada pajak untuk setiap bisnis," tegas Philip Hammond, Menteri Keuangan Inggris, dikutip dari Reuters. 

Menurut Hammond, pajak ini akan lebih menyasar kepada perusahaan-perusahaan raksasa, bukan start-up skala kecil. Perusahaan yang memperoleh laba akan dikenakan pajak 2% mulai April 2020. Potensi penerimaan negara ditaksir mencapai 400 juta poundsterling atau sekitar dua kali lipat dari biaya transfer Neymar Jr dari Barcelona ke Paris St Germain. 

Apa yang dilakukan Inggris dikhawatirkan bakal menjadi preseden bagi negara lain. Ketika negara-negara lain menerapkan hal serupa, tentu pendapatan para gergasi teknologi akan tergerus signifikan karena terpangkas oleh pajak. 

"Pajak 400 juta poundsterling mungkin kecil bagi perusahaan sebesar Amazon, yang penjualannya mencapai US$ 233 miliar. Namun apa yang dilakukan Inggris akan adalah lemparan kerikil yang akan menjadi tanah longsor longsor jika negara-negara lain menerapkan hal serupa," kata Laith Khalaf, Analis di Hargreaves Landsdown, mengutip Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular