Newsletter

Siap-siap, Dolar AS Kemungkinan 'Galak' Lagi

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
19 October 2018 05:39
Siap-siap, Dolar AS Kemungkinan 'Galak' Lagi
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan kemarin dengan melemah 0,4%. Senasib dengan IHSG, nilai tukar rupiah juga melemah 0,28% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). 

Pelemahan IHSG kemarin sejalan dengan bursa utama Asia yang terseret ke zona merah. Shanghai Composite amblas 2,94%, Strait Times terkoreksi 0,05%, Nikkei turun 0,8%, Kospi melemah 0,89%, dan Hang Seng minus 0,03%.


Mata uang di Asia pun mayoritas melemah terhadap greenback pada perdagangan kemarin. Namun mata uang Tanah Air harus ikhlas menjadi yang terlemah kedua.
 


Penyebab koreksi pasar keuangan Asia adalah arus modal yang terkonsentrasi ke AS setelah rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi September 2018. Pasalnya, notulensi tersebut semakin tegas menggambarkan bahwa kenaikan suku bunga acuan secara gradual masih akan ditempuh oleh Jerome 'Jay' Powell dan rekan. Kebijakan ini dipandang tepat untuk mengawal perekonomian Negeri Paman Sam agar bisa tumbuh berkelanjutan.

 
"Dengan perkiraan ekonomi ke depan, peserta rapat mengantisipasi akan ada kenaikan suku bunga lebih lanjut dalam target yang ditetapkan, sehingga konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah," sebut notulensi itu. 

"Pendekatan (kenaikan suku bunga acuan) secara bertahap akan menyeimbangkan risiko akibat pengetatan moneter yang terlalu cepat yang bisa menyebabkan perlambatan ekonomi dan inflasi di bawah target Komite. Namun bila (kenaikan suku bunga acuan) dilakukan terlalu lambat, maka akan menyebabkan inflasi bergerak di atas target dan menyebabkan ketidakseimbangan di sistem keuangan," tulis notulensi rapat tersebut.  

Persepsi kenaikan suku bunga acuan AS tersebut lantas mengerek naik imbal hasil (yield) obligasi di Negeri Paman Sam. Pada perdagangan kemarin, yield obligasi AS tenor 10 tahun naik sebesar 3,37 basis poin (bps) ke 3,2127%. Sehari sebelumnya, yield naik 2,3 bps. 

Diiming-imingi imbalan investasi yang menggiurkan, pelaku pasar pun berbondong-bondong berburu greenback untuk masuk ke pasar obligasi Negeri Adidaya. Otomatis nilai mata uang ini semakin kuat.  

Terlebih, dampak perang dagang AS-China juga nampaknya mulai meluas. Dari data teranyar, ekspor Jepang turun 1,2% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada September 2018. Penurunan ini menjadi yang pertama kalinya sejak November 2016, sekaligus jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan kenaikan 1,9%. 

Ekspor Jepang ke AS tercatat turun 0,2%. Sedangkan ekspor ke China, mitra dagang terbesar Negeri Sakura, juga jatuh 1,7%. Turunnya ekspor ke Negeri Panda merupakan penurunan pertama kalinya dalam 7 bulan terakhir. 

Data ini lantas semakin menegaskan bahwa perang dagang yang berkepanjangan antara Washington-Beijing mulai menyebabkan dampak negatif bagi perekonomian dunia. Investor pun semakin menjauhi aset-aset berisiko, dan beralih memeluk dolar AS. 

Dari Wall Street, badai koreksi kembali terjadi. Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 1,27%, S&P 500 jatuh 1,44%, dan Nasdaq Composite anjlok 2,23%. 

Faktor eksternal menjadi penyebab koreksi dalam di bursa saham New York. Pertama adalah perkembangan 'drama' fiskal Italia.

Belum lama ini, pemerintah Negeri Pizza sudah mengesahkan rancangan anggara negara 2019 dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rancangan tersebut sudah dikirimkan ke Uni Eropa untuk mendapatkan pengesahan. 

Namun situasi memanas kala Komisi Eropa mengirimkan surat kepada Menteri Ekonom Italia Giovanni Tria. Surat tersebut berisi kekhawatiran Brussel terhadap rancangan anggaran Roma yang dinilai terlalu agresif. Belanja negara terlampau tinggi, defisit berpotensi membengkak, dan utang pemerintah tidak akan menurun. 

"Tiga faktor tersebut sepertinya adalah bentuk ketidakpatuhan serius terhadap kesepakatan. Dengan utang pemerintah Italia yang mencapai 130% PDB, rencana ini tidak akan membuat jumlah utang turun ke angka sesuai peraturan yaitu 60% PDB," tulis surat tersebut. 

Pada 2019, belanja pemerintah Italia naik 2,7% sementara kesepakatan dengan Uni Eropa menyatakan hanya boleh ada pertumbuhan 0,1%. Untuk defisit, semestinya pemerintah Italia mematok di angka 0,6% PDB. 

Uni Eropa meminta pemerintah Italia memberikan penjelasan pada Senin Waktu setempat. Jika tidak ada perubahan yang berarti, maka kemungkinan besar Uni Eropa akan menolak rancangan anggaran Italia. 

Investor sudah cemas ketika Italia ngotot mempertahankan rencana anggaran dengan defisit yang besar tersebut. Sebab Italia punya pengalaman terjerembab ke jurang krisis fiskal pada 2009-2010. Kala itu, krisis fiskal Italia (dan beberapa negara lain di Eropa) menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan global. 

Samentara faktor kedua adalah hubungan AS-Arab Saudi yang menegang akibat hilangnya kolumnis Washington Post, Jamal Khasoggi. Meski belum ada pengumuman resmi, Presiden AS Donald Trump menganggap Khasoggi sudah tewas. Khasoggi terakhir kali terlihat di Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki). 

"Sepertinya begitu (Khasoggi sudah tewas). Ini sangat menyedihkan," kata Trump, dikutip dari Reuters. 

Namun Trump masih ingin menunggu kejelasan dari kasus ini. Trump telah mengutus Menteri Luar Negeri Mike Pompeo ke Riyadh dan Istanbul untuk 'mengawal' kasus hilangnya Khasoggi, yang merupakan warga negara AS.  

"Masih sedikit terlalu awal untuk menyimpulkan. Saya akan menunggu hasil (investigasi) sehingga kita semua akan bisa mengungkapnya segera," lanjut Trump. 

Namun bila Arab Saudi terbukti terlibat dan melakukan pembunuhan terhadap Khasoggi, maka Trump akan sangat marah. Konsekuensinya akan sangat berat bagi Negeri Padang Pasir. 

"Well, itu (konsekuensi) harus sangat berat karena ini hal yang buruk, sangat buruk. Namun kita lihat apa yang terjadi nanti," ujarnya. 

Sebelumnya, New York Times mengabarkan Khasoggi dibunuh dan dimutilasi di sana meski belum ada hasil investigasi resmi dari aparat gabungan Turki-Arab Saudi. Yeni Safak, surat kabar terkemuka di Turki, juga melaporkan hal serupa. Khasoggi disiksa saat interogasi, dipotong jarinya, kemudian dipenggal dan dimutilasi. Perlakuan yang sangat tidak beradab, jika memang terbukti. 

Ketegangan ini membuat Menteri Keuangan Steven Mnuchin membatalkan rencana kunjungan ke Arab Saudi untuk menghadiri sebuah konferensi. Sebenarnya tidak hanya Mnuchin, Bruno Le Maire (Menteri Keuangan Prancis) dan Liam Fox (MenteriP Perdagangan Inggris) juga urung hadir karena kasus Khasoggi. Menteri Keuangan Belanda Wopka Hoekstra juga membatalkan kunjungan ke Arab Saudi bulan depan dengan alasan serupa. 

Investor cemas sanksi AS dan negara-negara barat akan menyangkut hal yang paling mendasar yaitu blokade ekspor minyak. Arab Saudi adalah produsen minyak terbesar kedua dunia setelah AS dengan produksi mencapai 12,08 juta barel/hari.  

Potensi ini bisa hilang atau minimal berkurang bila Arab Saudi sampai terkena sanksi blokade, seperti yang akan dijatuhkan AS kepada Iran pada 4 November mendatang. Risiko berkurangnya pasokan dari Arab Saudi (dan Iran) membuat harga si emas hitam bisa semakin mahal.  

Dua faktor ini menyebabkan ketidakpastian dan risiko besar di pasar keuangan. Akibatnya investor cabut dari instrumen berisiko seperti saham dan masuk ke safe haven misalnya dolar AS. Jadi bersiaplah, sepertinya dolar AS akan kembali mengamuk di Asia hari ini.


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kejatuhan Wall Street yang lumayan dalam. Dikhawatirkan virus koreksi Wall Street menular hingga ke Benua Kuning, termasuk Indonesia. 

Kedua adalah nilai tukar dolar AS yang kemungkinan besar masih perkasa. Pada pukul 05:02 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) naik cukup signifikan yaitu 0,39%. 

Penyebabnya adalah dua faktor yang membuat Wall Street jatuh tadi, 'drama' anggaran Italia dan kasus Khasoggi. Dua hal ini membuat investor menghindari risiko dan cenderung memilih bermain aman dengan memborong aset-aset safe haven seperti dolar AS. 

Jika perilaku ini berlanjut, maka IHSG dan rupiah tidak akan punya harapan. Seperti kemarin, arus modal masih akan terpusat ke AS dan hanya sedikit menyisakan untuk pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia. 

Selain itu, penguatan dolar AS juga didukung oleh faktor internal Negeri Paman Sam yaitu rilis data yang positif. Indeks Manufaktur The Fed Philadelphia edisi Oktober 2018 menanjak ke angka 22,2, melampaui ekspektasi pasar sebesar 19,7. 

Kemudian, jumlah warga yang mengajukan klaim pengangguran di AS turun 5.000 orang ke 210.000 pada pekan lalu, lebih rendah dari konsensus Reuters sebesar 212.000. Data pekan lalu tidak jauh dari level terendah sejak November 1969 yang dicapai pada pertengahan September, yakni sebesar 202.000. 

Kedua data di atas memberikan sinyal bahwa pasar tenaga kerja dan perekonomian AS memang masih berada di posisi yang solid. Artinya, cukup alasan bagi The Fed untuk kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember. 

Kenaikan suku bunga acuan akan ikut menaikkan imbalan investasi di AS sehingga meningkatkan permintaan greenback. Peningkatan permintaan akan membuat dolar AS kian perkasa. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rapat koordinasi membahas moratorium sawit di kantor Menko Perekonomian (09:00 WIB).
  • Rilis data pertumbuhan ekonomi China kuartal III-2018 (09:00 WIB).
  • Pidato Gubernur Bank of Japan Haruhiko Kuroda (13:30 WIB).
  • Pidato Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic (23:00 WIB).
  • Pidato Gubernur Bank of England Mark Carney (23:10 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Agustus 2018)US$ 114.85 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular