
Newsletter
Siap-siap, Dolar AS Kemungkinan 'Galak' Lagi
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
19 October 2018 05:39

Dari Wall Street, badai koreksi kembali terjadi. Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 1,27%, S&P 500 jatuh 1,44%, dan Nasdaq Composite anjlok 2,23%.
Faktor eksternal menjadi penyebab koreksi dalam di bursa saham New York. Pertama adalah perkembangan 'drama' fiskal Italia.
Belum lama ini, pemerintah Negeri Pizza sudah mengesahkan rancangan anggara negara 2019 dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rancangan tersebut sudah dikirimkan ke Uni Eropa untuk mendapatkan pengesahan.
Namun situasi memanas kala Komisi Eropa mengirimkan surat kepada Menteri Ekonom Italia Giovanni Tria. Surat tersebut berisi kekhawatiran Brussel terhadap rancangan anggaran Roma yang dinilai terlalu agresif. Belanja negara terlampau tinggi, defisit berpotensi membengkak, dan utang pemerintah tidak akan menurun.
"Tiga faktor tersebut sepertinya adalah bentuk ketidakpatuhan serius terhadap kesepakatan. Dengan utang pemerintah Italia yang mencapai 130% PDB, rencana ini tidak akan membuat jumlah utang turun ke angka sesuai peraturan yaitu 60% PDB," tulis surat tersebut.
Pada 2019, belanja pemerintah Italia naik 2,7% sementara kesepakatan dengan Uni Eropa menyatakan hanya boleh ada pertumbuhan 0,1%. Untuk defisit, semestinya pemerintah Italia mematok di angka 0,6% PDB.
Uni Eropa meminta pemerintah Italia memberikan penjelasan pada Senin Waktu setempat. Jika tidak ada perubahan yang berarti, maka kemungkinan besar Uni Eropa akan menolak rancangan anggaran Italia.
Investor sudah cemas ketika Italia ngotot mempertahankan rencana anggaran dengan defisit yang besar tersebut. Sebab Italia punya pengalaman terjerembab ke jurang krisis fiskal pada 2009-2010. Kala itu, krisis fiskal Italia (dan beberapa negara lain di Eropa) menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan global.
Samentara faktor kedua adalah hubungan AS-Arab Saudi yang menegang akibat hilangnya kolumnis Washington Post, Jamal Khasoggi. Meski belum ada pengumuman resmi, Presiden AS Donald Trump menganggap Khasoggi sudah tewas. Khasoggi terakhir kali terlihat di Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki).
"Sepertinya begitu (Khasoggi sudah tewas). Ini sangat menyedihkan," kata Trump, dikutip dari Reuters.
Namun Trump masih ingin menunggu kejelasan dari kasus ini. Trump telah mengutus Menteri Luar Negeri Mike Pompeo ke Riyadh dan Istanbul untuk 'mengawal' kasus hilangnya Khasoggi, yang merupakan warga negara AS.
"Masih sedikit terlalu awal untuk menyimpulkan. Saya akan menunggu hasil (investigasi) sehingga kita semua akan bisa mengungkapnya segera," lanjut Trump.
Namun bila Arab Saudi terbukti terlibat dan melakukan pembunuhan terhadap Khasoggi, maka Trump akan sangat marah. Konsekuensinya akan sangat berat bagi Negeri Padang Pasir.
"Well, itu (konsekuensi) harus sangat berat karena ini hal yang buruk, sangat buruk. Namun kita lihat apa yang terjadi nanti," ujarnya.
Sebelumnya, New York Times mengabarkan Khasoggi dibunuh dan dimutilasi di sana meski belum ada hasil investigasi resmi dari aparat gabungan Turki-Arab Saudi. Yeni Safak, surat kabar terkemuka di Turki, juga melaporkan hal serupa. Khasoggi disiksa saat interogasi, dipotong jarinya, kemudian dipenggal dan dimutilasi. Perlakuan yang sangat tidak beradab, jika memang terbukti.
Ketegangan ini membuat Menteri Keuangan Steven Mnuchin membatalkan rencana kunjungan ke Arab Saudi untuk menghadiri sebuah konferensi. Sebenarnya tidak hanya Mnuchin, Bruno Le Maire (Menteri Keuangan Prancis) dan Liam Fox (MenteriP Perdagangan Inggris) juga urung hadir karena kasus Khasoggi. Menteri Keuangan Belanda Wopka Hoekstra juga membatalkan kunjungan ke Arab Saudi bulan depan dengan alasan serupa.
Investor cemas sanksi AS dan negara-negara barat akan menyangkut hal yang paling mendasar yaitu blokade ekspor minyak. Arab Saudi adalah produsen minyak terbesar kedua dunia setelah AS dengan produksi mencapai 12,08 juta barel/hari.
Potensi ini bisa hilang atau minimal berkurang bila Arab Saudi sampai terkena sanksi blokade, seperti yang akan dijatuhkan AS kepada Iran pada 4 November mendatang. Risiko berkurangnya pasokan dari Arab Saudi (dan Iran) membuat harga si emas hitam bisa semakin mahal.
Dua faktor ini menyebabkan ketidakpastian dan risiko besar di pasar keuangan. Akibatnya investor cabut dari instrumen berisiko seperti saham dan masuk ke safe haven misalnya dolar AS. Jadi bersiaplah, sepertinya dolar AS akan kembali mengamuk di Asia hari ini.
(aji/aji)
Faktor eksternal menjadi penyebab koreksi dalam di bursa saham New York. Pertama adalah perkembangan 'drama' fiskal Italia.
Belum lama ini, pemerintah Negeri Pizza sudah mengesahkan rancangan anggara negara 2019 dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rancangan tersebut sudah dikirimkan ke Uni Eropa untuk mendapatkan pengesahan.
Namun situasi memanas kala Komisi Eropa mengirimkan surat kepada Menteri Ekonom Italia Giovanni Tria. Surat tersebut berisi kekhawatiran Brussel terhadap rancangan anggaran Roma yang dinilai terlalu agresif. Belanja negara terlampau tinggi, defisit berpotensi membengkak, dan utang pemerintah tidak akan menurun.
"Tiga faktor tersebut sepertinya adalah bentuk ketidakpatuhan serius terhadap kesepakatan. Dengan utang pemerintah Italia yang mencapai 130% PDB, rencana ini tidak akan membuat jumlah utang turun ke angka sesuai peraturan yaitu 60% PDB," tulis surat tersebut.
Pada 2019, belanja pemerintah Italia naik 2,7% sementara kesepakatan dengan Uni Eropa menyatakan hanya boleh ada pertumbuhan 0,1%. Untuk defisit, semestinya pemerintah Italia mematok di angka 0,6% PDB.
Uni Eropa meminta pemerintah Italia memberikan penjelasan pada Senin Waktu setempat. Jika tidak ada perubahan yang berarti, maka kemungkinan besar Uni Eropa akan menolak rancangan anggaran Italia.
Investor sudah cemas ketika Italia ngotot mempertahankan rencana anggaran dengan defisit yang besar tersebut. Sebab Italia punya pengalaman terjerembab ke jurang krisis fiskal pada 2009-2010. Kala itu, krisis fiskal Italia (dan beberapa negara lain di Eropa) menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan global.
Samentara faktor kedua adalah hubungan AS-Arab Saudi yang menegang akibat hilangnya kolumnis Washington Post, Jamal Khasoggi. Meski belum ada pengumuman resmi, Presiden AS Donald Trump menganggap Khasoggi sudah tewas. Khasoggi terakhir kali terlihat di Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki).
"Sepertinya begitu (Khasoggi sudah tewas). Ini sangat menyedihkan," kata Trump, dikutip dari Reuters.
Namun Trump masih ingin menunggu kejelasan dari kasus ini. Trump telah mengutus Menteri Luar Negeri Mike Pompeo ke Riyadh dan Istanbul untuk 'mengawal' kasus hilangnya Khasoggi, yang merupakan warga negara AS.
"Masih sedikit terlalu awal untuk menyimpulkan. Saya akan menunggu hasil (investigasi) sehingga kita semua akan bisa mengungkapnya segera," lanjut Trump.
Namun bila Arab Saudi terbukti terlibat dan melakukan pembunuhan terhadap Khasoggi, maka Trump akan sangat marah. Konsekuensinya akan sangat berat bagi Negeri Padang Pasir.
"Well, itu (konsekuensi) harus sangat berat karena ini hal yang buruk, sangat buruk. Namun kita lihat apa yang terjadi nanti," ujarnya.
Sebelumnya, New York Times mengabarkan Khasoggi dibunuh dan dimutilasi di sana meski belum ada hasil investigasi resmi dari aparat gabungan Turki-Arab Saudi. Yeni Safak, surat kabar terkemuka di Turki, juga melaporkan hal serupa. Khasoggi disiksa saat interogasi, dipotong jarinya, kemudian dipenggal dan dimutilasi. Perlakuan yang sangat tidak beradab, jika memang terbukti.
Ketegangan ini membuat Menteri Keuangan Steven Mnuchin membatalkan rencana kunjungan ke Arab Saudi untuk menghadiri sebuah konferensi. Sebenarnya tidak hanya Mnuchin, Bruno Le Maire (Menteri Keuangan Prancis) dan Liam Fox (MenteriP Perdagangan Inggris) juga urung hadir karena kasus Khasoggi. Menteri Keuangan Belanda Wopka Hoekstra juga membatalkan kunjungan ke Arab Saudi bulan depan dengan alasan serupa.
Investor cemas sanksi AS dan negara-negara barat akan menyangkut hal yang paling mendasar yaitu blokade ekspor minyak. Arab Saudi adalah produsen minyak terbesar kedua dunia setelah AS dengan produksi mencapai 12,08 juta barel/hari.
Potensi ini bisa hilang atau minimal berkurang bila Arab Saudi sampai terkena sanksi blokade, seperti yang akan dijatuhkan AS kepada Iran pada 4 November mendatang. Risiko berkurangnya pasokan dari Arab Saudi (dan Iran) membuat harga si emas hitam bisa semakin mahal.
Dua faktor ini menyebabkan ketidakpastian dan risiko besar di pasar keuangan. Akibatnya investor cabut dari instrumen berisiko seperti saham dan masuk ke safe haven misalnya dolar AS. Jadi bersiaplah, sepertinya dolar AS akan kembali mengamuk di Asia hari ini.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular