
Newsletter
Selamat Dolar AS, Anda Jadi Primadona Pasar
Hidayat Setiaji & Yazid Muamar & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
09 October 2018 07:11

Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 0,15%, S&P 500 melemah tipis 0,04%, dan Nasdaq Composite terpangkas 0,62%.
Pelaku pasar mencemaskan perkembangan perang dagang AS vs China yang semakin lama semakin tidak sehat. China dinilai sengaja melemahkan nilai tukar yuan agar ekspor mereka tetap kompetitif di pasar global di tengah friksi dagang dengan Negeri Adidaya.
"Dalam hal mata uang China, kami terus memonitor perkembangan yuan. Kami mengkhawatirkan perkembangan terkini mengenai depresiasi yuan. Kami khawatir China semakin berpaling dari kebijakan-kebijakan yang berorientasi pasar menjadi mekanisme non-pasar yang mempengaruhi kondisi makroekonomi dan perdagangan," papar seorang pejabat Kementerian Keuangan AS, dikutip dari Reuters.
Juli lalu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menegaskan pihaknya akan memantau depresiasi yuan dan akn melihat apakah ada tanda-tanda manipulasi kurs. Presiden AS Donald Trump bahkan beberapa kali menuding China memainkan kurs untuk mendapatkan keuntungan saat berdagang.
Mnuchin dijadwalkan menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Dunia-Dana Moneter Internasiona (IMF) di Bali, tetapi tidak dengan mitra dialognya dari China yaitu Wakil Perdana Menteri Liu He. Oleh karena itu, sepertinya dialog dagang AS-China tidak akan terjadi di Pulau Dewata.
Perkembangan ini memaksa pelaku pasar untuk bermain aman, ogah mengambil risiko. Instrumen yang dituju tak lain dan tak bukan adalah dolar AS. Seretnya aliran modal ke instrumen berisiko seperti saham membuat Wall Street cenderung terkoreksi.
Selain itu, pelemahan Wall Street juga dipicu oleh kondisi di Italia yang semakin panas. Kemarin, pelaku pasar 'menghukum' Italia sehingga indeks MIB ambrol 2,43% dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 4,8 basis poin.
Hal ini justru membuat Italia murka dan menuding Uni Eropa sengaja membuat opini yang menakut-nakuti pasar. Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Dalvini menegaskan bahwa Presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker dan Komisioner Ekonomi Uni Eropa Pierre Moscovici sebagai musuh.
"Musuh Eropa yang sebenarnya bersembunyi di balik bunker di Brussel. Mereka adalah Juncker dan Moscovici yang membawa ketakutan dan membuat lapangan kerja menjadi tidaj pasti di Eropa," tegas Salvini, dikutip dari Reuters.
Italia yang sepat adem kini bergejolak lagi. Risiko besar di Eropa membuat pelaku pasar memilih bermain aman dan mengarahkan uangnya ke pasar valas untuk berburu dolar AS.
Bursa saham New York pun sepi pembeli karena tingginya ketidakpastian. Volume perdagangan 'hanya' 6,93 unit saham, cukup jauh dibandingkan rata-rata dalam 20 hari perdagangan terakhir yaitu 7,22 miliar unit.
(aji/aji)
Pelaku pasar mencemaskan perkembangan perang dagang AS vs China yang semakin lama semakin tidak sehat. China dinilai sengaja melemahkan nilai tukar yuan agar ekspor mereka tetap kompetitif di pasar global di tengah friksi dagang dengan Negeri Adidaya.
"Dalam hal mata uang China, kami terus memonitor perkembangan yuan. Kami mengkhawatirkan perkembangan terkini mengenai depresiasi yuan. Kami khawatir China semakin berpaling dari kebijakan-kebijakan yang berorientasi pasar menjadi mekanisme non-pasar yang mempengaruhi kondisi makroekonomi dan perdagangan," papar seorang pejabat Kementerian Keuangan AS, dikutip dari Reuters.
Juli lalu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menegaskan pihaknya akan memantau depresiasi yuan dan akn melihat apakah ada tanda-tanda manipulasi kurs. Presiden AS Donald Trump bahkan beberapa kali menuding China memainkan kurs untuk mendapatkan keuntungan saat berdagang.
Mnuchin dijadwalkan menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Dunia-Dana Moneter Internasiona (IMF) di Bali, tetapi tidak dengan mitra dialognya dari China yaitu Wakil Perdana Menteri Liu He. Oleh karena itu, sepertinya dialog dagang AS-China tidak akan terjadi di Pulau Dewata.
Perkembangan ini memaksa pelaku pasar untuk bermain aman, ogah mengambil risiko. Instrumen yang dituju tak lain dan tak bukan adalah dolar AS. Seretnya aliran modal ke instrumen berisiko seperti saham membuat Wall Street cenderung terkoreksi.
Selain itu, pelemahan Wall Street juga dipicu oleh kondisi di Italia yang semakin panas. Kemarin, pelaku pasar 'menghukum' Italia sehingga indeks MIB ambrol 2,43% dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 4,8 basis poin.
Hal ini justru membuat Italia murka dan menuding Uni Eropa sengaja membuat opini yang menakut-nakuti pasar. Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Dalvini menegaskan bahwa Presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker dan Komisioner Ekonomi Uni Eropa Pierre Moscovici sebagai musuh.
"Musuh Eropa yang sebenarnya bersembunyi di balik bunker di Brussel. Mereka adalah Juncker dan Moscovici yang membawa ketakutan dan membuat lapangan kerja menjadi tidaj pasti di Eropa," tegas Salvini, dikutip dari Reuters.
Italia yang sepat adem kini bergejolak lagi. Risiko besar di Eropa membuat pelaku pasar memilih bermain aman dan mengarahkan uangnya ke pasar valas untuk berburu dolar AS.
Bursa saham New York pun sepi pembeli karena tingginya ketidakpastian. Volume perdagangan 'hanya' 6,93 unit saham, cukup jauh dibandingkan rata-rata dalam 20 hari perdagangan terakhir yaitu 7,22 miliar unit.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular