
Newsletter
Waspada, Italia Cari Gara-gara
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 October 2018 05:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah dan harga obligasi pemerintah pun terkoreksi.
Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 0,31% secara point-to-point. IHSG yang terkoreksi selama 3 hari perdagangan awal mampu membalas dengan penguatan tajam pada 2 hari perdagangan terakhir dan akhirnya mampu mencetak kenaikan.
Sementara rupiah melemah 0,57% terhadap dolar AS secara point-to-point. Dolar AS kembali menembus level 14.900 untuk kali pertama sejak awal September.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 2,8 basis poin (bps) secara point-to-point. Harga pun turun 1,5 bps, pertanda bahwa instrumen ini sedang sepi peminat atau bahkan mengalami tekanan jual.
Pekan lalu, setidaknya ada dua sentimen besar yang mewarnai pasar. Pertama, dimulainya babak baru perang dagang AS vs China.
Pada 24 September, AS resmi mengenakan bea masuk 10% terhadap impor produk China dengan nilai total US$ 200 miliar. China pun membalas dengan pembebanan bea masuk 10% bagi impor produk AS senilai US$ 60 miliar, juga berlaku 24 September.
Pelaku pasar pun dibuat panik. Perang dagang AS vs China dikhawatirkan terus berlangsung tanpa upaya penyelesaian yang nyata.
Jika perang dagang terus berkobar, maka pertumbuhan ekonomi global dipertaruhkan. AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di bumi, sehingga ketika mereka saling hambat maka akan mengganggu rantai pasok global (global supply chain).
Sentimen kedua adalah rapat The Federal Reserve/The Fed yang hasilnya diumumkan pada 26 September waktu setempat atau 27 September dini hari waktu Indonesia. Investor mengambil posisi karena sudah ada perkiraan sejak lama bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan setidaknya 25 basis poin (bps).
Akhirnya yang ditunggu pun tiba. Jerome Powell dan kolega memutuskan untuk menaikkan Federal Funds Rate 25 bps menjadi 2-2,25% atau median 2,125%. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan laju perekonomian AS yang kencang agar tidak overheating.
Meski tujuan dasarnya adalah mengerem permintaan, tetapi kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di AS menjadi semakin menarik terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Investor berharap ada kenaikan imbalan seiring kenaikan suku bunga acuan.
Arus modal pun merapat ke dolar AS dan instrumen berbasis mata uang tersebut. Pasar keuangan Asia kehilangan pelanggan, transaksi sepi, dan koreksi pun berlanjut. Dolar AS dan obligasi pemerintah Negeri Paman Sam kebanjiran peminat sehingga menekan pasar valas maupun obligasi negara-negara lain.
Namun IHSG masih mampu membukukan penguatan karena ternyata pasar saham Asia masih laku di mata investor. Sebab, investor sudah memasukkan kebijakan The Fed dalam kalkulasi mereka. Sudah priced-in.
Sikap ambil posisi sudah diambil sebelum pengumuman suku bunga oleh The Fed. Ketika kebijakan itu diumumkan dan sesuai ekspektasi, hasilnya adalah investor malah berbunga-bunga dan semakin agresif. Bahkan berani mengambil risiko.
Dari Wall Street, tiga indeks utama bergerak variatif sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi 1,07%, S&P 500 melemah 0,54%, tetapi Nasdaq Composite mampu menguat 0,74%.
Seperti halnya di Asia, bursa saham New York juga terimbas sentimen perang dagang AS vs China. Indeks sektor industri di DJIA mengalami koreksi tajam, mencapai 1,54%. Pasalnya, emiten yang mengandalkan China sebagai pangsa pasar ekspor utama mereka tentu akan kesulitan ketika bea masuk dinaikkan.
Sepekan kemarin, saham Boeing turun 0,09%. Sementara Caterpillar amblas 2,49% dan 3M anjlok 2,59%.
Selain perang dagang, keputusan The Fed menaikkan suku bunga acuan juga menjadi beban bagi indeks sektor keuangan di DJIA, yang ambrol 3,09% selama pekan lalu. Saham-saham bank raksasa berguguran, seperti Citigroup (-3,25%), Wells Fargo (-4,42%), Bank of America (-5.06%), sampai JPMorgan Chase (-4,25%).
Kenaikan suku bunga acuan akan menaikkan bunga deposito, dan kemudian menular ke bunga kredit. Saat bunga kredit naik, tentu permintaan akan berkurang sehingga profitabilitas bank terancam.
Wedbush, sekuritas yang berkantor pusat di Los Angeles, memangkas proyeksi laba per saham (Earnings per Share/EPS) emiten-emiten perbankan. Penyebab utamanya adalah prospek pertumbuhan kredit yang suram.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan dari Wall Street yang kurang menggembirakan. Dikhawatirkan virus koreksi Wall Street bisa menular ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Kedua, investor perlu mewaspadai perkembangan di Eropa, khususnya Italia. Pemerintahan Italia yang populis mengesahkan anggaran tahun fiskal 2019, di mana target defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit anggaran Negeri Pizza akan bertahan di angka yang sama sampai 2021.
"Ini adalah anggaran untuk perubahan!" tegas Luigi Di Maio, Pemimpin Gerakan Bintang Lima, salah satu faksi mayoritas di parlemen bersama Liga.
Awalnya, pemerintah merancang defisit anggaran hanya 0,8% PDB pada 2019, dan bahkan mencapai anggaran seimbang (balance budget) pada 2020. Namun pemerintahan dan parlemen yang kini didominasi kelompok kanan-tengah ingin menambah subsidi pendapatan bagi rakyat miskin dan tunjangan bagi pensiunan.
Kini Italia harus siap menerima konsekuensi dari kebijakan ini. Pelaku pasar khawatir Italia bisa terjerumus dalam lembah utang seperti pada 2010. Perbaikan dan penyehatan anggaran yang sudah berjalan selama sewindu bisa rusak karena ambisi pemerintahan Perdana Menteri Guiseppe Conte.
Pada akhir 2017 utang pemerintah Italia masih sangat tinggi yaitu mencapai 131,8% PDB, itu pun sudah turun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 132% PDB. Jika pemerintahan Conte terus menerapkan kebijakan fiskal yang ekspansif, maka utang pemerintah bakal semakin menggunung dan bisa berujung pada krisis fiskal seperti 2010.
Perkembangan di Italia bisa memicu kecemasan di antara pelaku pasar. Investor kemungkinan akan menghindari Eropa untuk sementara waktu, sehingga mata uang euro akan cenderung melemah.
Selain itu, melihat ada risiko besar di Eropa yang bisa mempengaruhi pasar keuangan dunia, investor berpotensi untuk main aman dan enggan masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang. Gampangnya, investor akan kembali punya alasan untuk memburu dolar AS karena greenback dipandang sebagai salah satu aset aman (safe haven).
Apabila ini terjadi, maka mata uang dunia (tidak hanya euro) akan melemah. Rupiah pun tidak terkecuali, sehingga investor perlu hati-hati.
Sentimen ketiga adalah harga komoditas, khususnya minyak. Ada potensi harga si emas hitam akan kembali berada di jalur pendakian.
Faktor pendorong harga minyak sepertinya masih sama, yaitu kekhawatiran terhadap pasokan dari Iran. Pekan lalu, harga minyak dunia naik ke level tertinggi sejak 2014 gara-gara sentimen ini.
Kemungkinan kekhawatiran investor masih berlanjut, karena sejumlah perusahaan minyak di berbagai negara mulai mengurangi bisnisnya dengan Negeri Persia, Teranyar, perusahaan minyak asal China, Sinopec, mengurangi pembelian minyak dari Iran karena khawatir dengan sanksi AS.
Mengutip Reuters, beberapa sumber mengatakan Sinopec mengurangi pembelian minyak dari Iran sebanyak 50%. Sumber itu tidak menyebutkan angka, tetapi berdasarkan kontrak antara Sinopec dan National Iranian Oil Company (NIOC), jumlah yang dikurangi mencapai 130.000 barel/hari.
Jika semakin banyak perusahaan yang menerapkan langkah serupa, maka pasokan minyak Iran akan kian langka. Akibatnya, pasokan di pasar global akan berkurang sehingga mendongkrak harga.
Sentimen keempat adalah dari dalam negeri yaitu rilis data inflasi. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan secara bulanan atau month-to-month (MtM) terjadi deflasi 0,02%. Sementara secara tahunan atau year-on-year (YoY) akan terjadi inflasi 3,055% dan inflasi inti tahunan berada di 2,86%.
Apabila realisasi sesuai atau tidak jauh dari ekspektasi, maka data ini bisa menjadi sentimen positif. Sebab, masih terjadi inflasi secara tahunan dan lajunya tergolong sehat karena masih dalam rentang target Bank Indonesia yaitu 2,5-4,5%. Tidak ada pertanda pelemahan konsumsi dan daya beli, juga tidak ada sinyal kenaikan harga yang terlalu berlebihan.
Hingga akhir kuartal III-2018, dan kemungkinan sampai akhir tahun, memang belum ada tekanan inflasi yang signifikan. Seperti beberapa tahun sebelumnya, sepertinya 2018 pun tidak akan terlalu mengalami masalah dengan inflasi.
Namun inflasi tetap harus dimonitor karena ada risiko dari depresiasi nilai tukar. Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 9% terhadap dolar AS. Dengan laju impor yang masih kencang, maka inflasi akibat depresiasi kurs akan semakin terasa, karena barang dari luar negeri menjadi tambah mahal.
Meski inflasi masih aman terkendali, tetapi Indonesia tetap harus hati-hati. Sebab, ada risiko inflasi bisa terakselerasi akibat rupiah yang terus melemah.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 0,31% secara point-to-point. IHSG yang terkoreksi selama 3 hari perdagangan awal mampu membalas dengan penguatan tajam pada 2 hari perdagangan terakhir dan akhirnya mampu mencetak kenaikan.
Sementara rupiah melemah 0,57% terhadap dolar AS secara point-to-point. Dolar AS kembali menembus level 14.900 untuk kali pertama sejak awal September.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 2,8 basis poin (bps) secara point-to-point. Harga pun turun 1,5 bps, pertanda bahwa instrumen ini sedang sepi peminat atau bahkan mengalami tekanan jual.
Pekan lalu, setidaknya ada dua sentimen besar yang mewarnai pasar. Pertama, dimulainya babak baru perang dagang AS vs China.
Pada 24 September, AS resmi mengenakan bea masuk 10% terhadap impor produk China dengan nilai total US$ 200 miliar. China pun membalas dengan pembebanan bea masuk 10% bagi impor produk AS senilai US$ 60 miliar, juga berlaku 24 September.
Pelaku pasar pun dibuat panik. Perang dagang AS vs China dikhawatirkan terus berlangsung tanpa upaya penyelesaian yang nyata.
Jika perang dagang terus berkobar, maka pertumbuhan ekonomi global dipertaruhkan. AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di bumi, sehingga ketika mereka saling hambat maka akan mengganggu rantai pasok global (global supply chain).
Sentimen kedua adalah rapat The Federal Reserve/The Fed yang hasilnya diumumkan pada 26 September waktu setempat atau 27 September dini hari waktu Indonesia. Investor mengambil posisi karena sudah ada perkiraan sejak lama bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan setidaknya 25 basis poin (bps).
Akhirnya yang ditunggu pun tiba. Jerome Powell dan kolega memutuskan untuk menaikkan Federal Funds Rate 25 bps menjadi 2-2,25% atau median 2,125%. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan laju perekonomian AS yang kencang agar tidak overheating.
Meski tujuan dasarnya adalah mengerem permintaan, tetapi kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di AS menjadi semakin menarik terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Investor berharap ada kenaikan imbalan seiring kenaikan suku bunga acuan.
Arus modal pun merapat ke dolar AS dan instrumen berbasis mata uang tersebut. Pasar keuangan Asia kehilangan pelanggan, transaksi sepi, dan koreksi pun berlanjut. Dolar AS dan obligasi pemerintah Negeri Paman Sam kebanjiran peminat sehingga menekan pasar valas maupun obligasi negara-negara lain.
Namun IHSG masih mampu membukukan penguatan karena ternyata pasar saham Asia masih laku di mata investor. Sebab, investor sudah memasukkan kebijakan The Fed dalam kalkulasi mereka. Sudah priced-in.
Sikap ambil posisi sudah diambil sebelum pengumuman suku bunga oleh The Fed. Ketika kebijakan itu diumumkan dan sesuai ekspektasi, hasilnya adalah investor malah berbunga-bunga dan semakin agresif. Bahkan berani mengambil risiko.
Dari Wall Street, tiga indeks utama bergerak variatif sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi 1,07%, S&P 500 melemah 0,54%, tetapi Nasdaq Composite mampu menguat 0,74%.
Seperti halnya di Asia, bursa saham New York juga terimbas sentimen perang dagang AS vs China. Indeks sektor industri di DJIA mengalami koreksi tajam, mencapai 1,54%. Pasalnya, emiten yang mengandalkan China sebagai pangsa pasar ekspor utama mereka tentu akan kesulitan ketika bea masuk dinaikkan.
Sepekan kemarin, saham Boeing turun 0,09%. Sementara Caterpillar amblas 2,49% dan 3M anjlok 2,59%.
Selain perang dagang, keputusan The Fed menaikkan suku bunga acuan juga menjadi beban bagi indeks sektor keuangan di DJIA, yang ambrol 3,09% selama pekan lalu. Saham-saham bank raksasa berguguran, seperti Citigroup (-3,25%), Wells Fargo (-4,42%), Bank of America (-5.06%), sampai JPMorgan Chase (-4,25%).
Kenaikan suku bunga acuan akan menaikkan bunga deposito, dan kemudian menular ke bunga kredit. Saat bunga kredit naik, tentu permintaan akan berkurang sehingga profitabilitas bank terancam.
Wedbush, sekuritas yang berkantor pusat di Los Angeles, memangkas proyeksi laba per saham (Earnings per Share/EPS) emiten-emiten perbankan. Penyebab utamanya adalah prospek pertumbuhan kredit yang suram.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan dari Wall Street yang kurang menggembirakan. Dikhawatirkan virus koreksi Wall Street bisa menular ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Kedua, investor perlu mewaspadai perkembangan di Eropa, khususnya Italia. Pemerintahan Italia yang populis mengesahkan anggaran tahun fiskal 2019, di mana target defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit anggaran Negeri Pizza akan bertahan di angka yang sama sampai 2021.
"Ini adalah anggaran untuk perubahan!" tegas Luigi Di Maio, Pemimpin Gerakan Bintang Lima, salah satu faksi mayoritas di parlemen bersama Liga.
Awalnya, pemerintah merancang defisit anggaran hanya 0,8% PDB pada 2019, dan bahkan mencapai anggaran seimbang (balance budget) pada 2020. Namun pemerintahan dan parlemen yang kini didominasi kelompok kanan-tengah ingin menambah subsidi pendapatan bagi rakyat miskin dan tunjangan bagi pensiunan.
Kini Italia harus siap menerima konsekuensi dari kebijakan ini. Pelaku pasar khawatir Italia bisa terjerumus dalam lembah utang seperti pada 2010. Perbaikan dan penyehatan anggaran yang sudah berjalan selama sewindu bisa rusak karena ambisi pemerintahan Perdana Menteri Guiseppe Conte.
Pada akhir 2017 utang pemerintah Italia masih sangat tinggi yaitu mencapai 131,8% PDB, itu pun sudah turun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 132% PDB. Jika pemerintahan Conte terus menerapkan kebijakan fiskal yang ekspansif, maka utang pemerintah bakal semakin menggunung dan bisa berujung pada krisis fiskal seperti 2010.
Perkembangan di Italia bisa memicu kecemasan di antara pelaku pasar. Investor kemungkinan akan menghindari Eropa untuk sementara waktu, sehingga mata uang euro akan cenderung melemah.
Selain itu, melihat ada risiko besar di Eropa yang bisa mempengaruhi pasar keuangan dunia, investor berpotensi untuk main aman dan enggan masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang. Gampangnya, investor akan kembali punya alasan untuk memburu dolar AS karena greenback dipandang sebagai salah satu aset aman (safe haven).
Apabila ini terjadi, maka mata uang dunia (tidak hanya euro) akan melemah. Rupiah pun tidak terkecuali, sehingga investor perlu hati-hati.
Sentimen ketiga adalah harga komoditas, khususnya minyak. Ada potensi harga si emas hitam akan kembali berada di jalur pendakian.
Faktor pendorong harga minyak sepertinya masih sama, yaitu kekhawatiran terhadap pasokan dari Iran. Pekan lalu, harga minyak dunia naik ke level tertinggi sejak 2014 gara-gara sentimen ini.
Kemungkinan kekhawatiran investor masih berlanjut, karena sejumlah perusahaan minyak di berbagai negara mulai mengurangi bisnisnya dengan Negeri Persia, Teranyar, perusahaan minyak asal China, Sinopec, mengurangi pembelian minyak dari Iran karena khawatir dengan sanksi AS.
Mengutip Reuters, beberapa sumber mengatakan Sinopec mengurangi pembelian minyak dari Iran sebanyak 50%. Sumber itu tidak menyebutkan angka, tetapi berdasarkan kontrak antara Sinopec dan National Iranian Oil Company (NIOC), jumlah yang dikurangi mencapai 130.000 barel/hari.
Jika semakin banyak perusahaan yang menerapkan langkah serupa, maka pasokan minyak Iran akan kian langka. Akibatnya, pasokan di pasar global akan berkurang sehingga mendongkrak harga.
Sentimen keempat adalah dari dalam negeri yaitu rilis data inflasi. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan secara bulanan atau month-to-month (MtM) terjadi deflasi 0,02%. Sementara secara tahunan atau year-on-year (YoY) akan terjadi inflasi 3,055% dan inflasi inti tahunan berada di 2,86%.
Apabila realisasi sesuai atau tidak jauh dari ekspektasi, maka data ini bisa menjadi sentimen positif. Sebab, masih terjadi inflasi secara tahunan dan lajunya tergolong sehat karena masih dalam rentang target Bank Indonesia yaitu 2,5-4,5%. Tidak ada pertanda pelemahan konsumsi dan daya beli, juga tidak ada sinyal kenaikan harga yang terlalu berlebihan.
Hingga akhir kuartal III-2018, dan kemungkinan sampai akhir tahun, memang belum ada tekanan inflasi yang signifikan. Seperti beberapa tahun sebelumnya, sepertinya 2018 pun tidak akan terlalu mengalami masalah dengan inflasi.
Namun inflasi tetap harus dimonitor karena ada risiko dari depresiasi nilai tukar. Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 9% terhadap dolar AS. Dengan laju impor yang masih kencang, maka inflasi akibat depresiasi kurs akan semakin terasa, karena barang dari luar negeri menjadi tambah mahal.
Meski inflasi masih aman terkendali, tetapi Indonesia tetap harus hati-hati. Sebab, ada risiko inflasi bisa terakselerasi akibat rupiah yang terus melemah.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data indeks Nikkei Manufacturing PMI Indonesia periode September (07:30 WIB).
- Rilis data inflasi Indonesia periode September (11:00 WIB).
- Rilis data indeks Manufacturing PMI Inggris periode September (15:30 WIB).
- Pidato Gubernur The Fed Atlanta Raphael Bostic (20.00 WIB).
- Rilis data ISM Manufacturing PMI AS periode September (21.00 WIB).
Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Panca Global Kapital Tbk (PEGE) | RUPSLB | 10:00 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
Inflasi (Agustus 2018 YoY) | 3.20% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q II-2018) | -3.04% PDB |
Neraca pembayaran (Q II-2018) | -US$ 4.31 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2018) | US$ 117.9 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular